Chapter 30

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

'So if I did something wrong please tell me. I wanna understand cause I don't want this love to ever end.'

 –Blue-

"Dia bisa mati," ujar dokter Margaretha berdiri di sampingku, menatap si pria kopi yang masih setia di sana meski terik matahari menerpa kulit sedikit tan itu. "Dan ... " dia berpaling melihat puluhan kertas berserakan. "Apa dia memberimu surat-surat itu?"

Aku mengangguk pelan, menyorot ke arah lelaki yang berlagak bak seorang demonstran yang tak lelah memegang kertas bertuliskan 'forgive me to hurt you'. Lalu menoleh ke arah dokter Margaretha yang kini memungut satu kertas dari Andre yang dititipkan oleh Lily maupun ibuku. Tak satu pun dari surat itu menarik perhatian dan yakin kalau isinya hanyalah pernyataan maaf. 

Maaf tak akan mengubah segala yang sudah dikacaukannya. Kepercayaan. Aku bukanlah perempuan yang mudah membangun rasa percaya pada orang lain. Dan ketika fondasi itu mulai terbentuk, Andre malah merobohkannya tanpa rasa bersalah. Kini dia berdiri seperti orang gila yang memohon ampun walau tahu aku tak pernah bisa memberinya pengampunan.

Setelah mengunjungi makam George, akhirnya ibu dan dokter Margaretha tahu apa yang terjadi padaku. Mereka memeluk dengan penuh kasih sayang dan memberi petuah kalau aku bisa melewati ini seperti sebelumnya. Ya itu benar, aku bisa melakukannya walau akan membutuhkan waktu lebih lama lagi untuk menjahit luka batin yang sudah dikoyak oleh Andre. 

Selain itu, mungkin sebagian orang, bercinta adalah sesuatu yang bisa menimbulkan ikatan perasaan yang kuat. Atau mungkin ada pendapat kalau bisa satu ranjang dengan pemimpin perusahaan yang sialan kaya seperti Alexandre Jhonson adalah anugerah. Tapi, semua itu tidak berarti untuk gadis yang pernah mengalami pemerkosaan sepertiku. One night stand yang lebih mirip seperti kutukan terlebih tidak ada cinta di sana melainkan nafsu semata. 

"Kuyakin dia menderita. Maksudku ... kalian menderita," kata dokter Margaretha kembali berada di sampingku seraya memberikan secarik kertas. "Dia menuliskan betapa besar penyesalannya, Elizabeth."

"Dan dia menunjukkan padaku betapa bajingan lelaki itu seperti Billy Jenkins, Dok." Aku menatap tajam dokterku tanpa menerima surat itu. "Semenjak bertemu dengannya hidupku semakin rumit."

"Tapi kau tak pernah menolak kehadirannya bukan?" tanyanya.

Aku menyunggingkan seulas senyum tipis kemudian menggeleng pelan. "Itu dulu sebelum dia menghancurkan kepercayaanku."

"Aku tahu jika kau menjunjung tinggi sebuah kepercayaan, Nak. Tapi apa salahnya jika kau memberinya kesempatan kedua?"

Aku berpaling menatap tak suka atas pendapat yang dilontarkannya. Itu adalah opini terburuk, setidaknya bagiku. Dalam kamus kehidupan Elizabeth, tidak ada yang namanya kesempatan kedua. Tuhan saja hanya memberikan satu kesempatan pada manusia untuk hidup, lantas kenapa aku harus memberikan Andre kesempatan lain?

"Dan membiarkanku disakiti untuk kedua kalinya? I don't think so," sambarku ketus. 

Dokter Margaretha tak menanggapiku sampai kami tenggelam dalam pikiran masing-masing. Mataku beralih pada gumpalan kapas putih di langit yang berarak perlahan menuju arah selatan. Matahari sepertinya terlalu bersemangat menyinari tanah Amerika, sementara angin berhembus cukup kencang menggoyangkan dedaunan tempat lelaki itu bernaung di bawahnya. 

Menarik napas panjang, lagi-lagi iris mata kami bertemu. Penampilan Andre yang biasanya rapi dan perfeksionis kini lebih mirip seperti gelandangan. Aku tidak tahu apakah dia ... tidur atau setidaknya minum karena cuaca panas yang bisa membuatnya tiba-tiba pingsan. 

Jangan pedulikan dia, Lizzie!

Ah, suara batinku memprotes sampai menimbulkan debaran di dada untuk kesekian kali. Entah mengapa, aku merasakan akan ada hal buruk. Tapi apa? Tidak mungkin kan kesialan itu menimpaku sebagai korban?

"Cobalah bicara padanya," usul dokter Margaretha dengan pelan tapi terkesan memerintah. "Aku yakin dia memiliki alasan, Lizzie."

"Alasan untuk membuatku gila?" Aku masih bersikukuh dengan pendirian. Silakan kalian mengolokku gadis jahat yang tidak tahu diri, tapi lihatlah ke belakang, siapa yang sudah membuat Elizabeth menjadi seperti ini. "Sampai mati pun aku tidak akan mengampuninya."

###

Usai membersihkan diri, aku mengendap-endap keluar rumah untuk mencari udara segar. Menggunakan midi dress kuning tanpa lengan dengan detail kerut di bagian rok membuatku merasa cukup cantik. Selain itu, aku juga perlu membiarkan kulit pucatku terkena sinar matahari setelah hampir dua minggu aku berada di dalam kamar terus. Melangkahkan kaki menuju dapur yang berbatasan langsung dengan teras belakang serta kebun kecil yang dibuat Will saat kami pertama kali pindah ke sini. 

Dari dulu ibu memang suka sekali berkebun meski kadang bukan media tanah yang digunakannya. Terbukti di teras belakang yang biasanya digunakan untuk duduk sembari melihat jemuran kering, ada beberapa botol berisi air dan tanaman hias yang ditempel di dinding. Lalu, dari kejauhan pula, sosok ibu yang mengenakan celemek biru tengah menyirami tanaman kesayangan seperti memandikan anak sendiri. Dia menoleh dan melambaikan tangan kanannya sambil tersenyum.

Aku bergerak mendekati ibu dan tercengang mendapati tanaman cherry yang berbuah dan terlihat menggiurkan. Seingatku terakhir kali ke sini, kami tidak memiliki tanaman itu. Ah, ternyata ... waktu berjalan terlalu cepat sampai-sampai aku tidak sadar kalau ibu memiliki pohon cherry. Dia berjinjit sedikit, memetik beberapa buah kemerahan yang manis kemudian diberikannya padaku. 

"Aku senang kau sudah mau keluar rumah, Nak," ujarnya. "Bagaimana? Enak?"

Aku mengangguk antusias. "Sejak kapan kita punya pohon cherry?" Menggigit buat kemerahan yang terasa manis di lidah dan seketika menenangkan jiwa. 

"Saat tahun keduamu di kampus. Lily berkata kalau dia ingin punya pohon ini agar bisa membuat pie cherry setiap saat." Ibu memetik buah itu lagi dan memberikannya padaku. "Apa kau ada ide untuk mengolah buah ini?"

"Cookies cherry atau cherry truffles? Ah, es krim cherry? Sepertinya cocok dimakan saat musim panas seperti ini, Bu," saranku mengamati garis wajahnya yang diterpa sinar mentari meski sudah mengenakan topi motif bunga. 

Walau bibirnya mengulum senyum, aku bisa merasakan ada kesedihan yang mendalam yang disiratkan ibu dari mata sayunya. Kupeluk tubuhnya dengan sayang sambil berkata, "Maafkan aku yang sudah membuatmu sedih."

Dia mengecup keningku. "Tidak ada orang tua yang ingin anaknya menderita, Lizzie. Semua orang tua di dunia ini ingin anaknya bahagia."

"Walau keadaanku seperti ini?"

Ibuku menganggut. "Kau satu-satunya kenangan yang ditinggalkan George, terutama matamu yang mirip dengannya."

"Walau kau menikahi Will?"

"Hidup itu harus berlanjut walau kau jatuh berulang kali. Sama sepertiku yang menikah untuk ketiga kalinya. Ibu berharap kalau ini adalah yang terakhir sampai mati. Will adalah lelaki baik seperti George."

Tak sempat membalas ucapannya mengenai Will yang dinilai seperti malaikat, pandangan matanya terpaku ke belakangku dan mengikuti arah tatapan tajam ibu. Seketika itu pula tubuhku membeku mendapati sosok tinggi nan lusuh tengah berdiri tak jauh dari kami. Semilir angin menggoyangkan rambutnya yang memanjang sebatas tengkuk.

Dari sini, tersirat ekspresi Andre yang dipenuhi oleh rasa bersalah. Dia juga terlihat begitu kurus seperti manusia yang tidak makan berhari-hari. Sinar di matanya redup layaknya tak ada tujuan hidup. Andre masih memegang kertas itu membuat bibirku gemetaran dan tangan mengepal kuat. Aku bergerak mundur saat dia mulai berjalan ke arah kami. 

"Masuklah ke dalam, Bu," pintaku tak dapat melepas pandangan dari sosok Andre. 

"Apa kau yakin? Aku tidak ingin panic attack-mu kambuh, Lizzie."

Aku memandang ibu penuh keyakinan bahwa anaknya bisa menghadapi sumber masalah yang sudah mengacaukan semua impian. "Sudah saatnya aku menghadapi Andre untuk pergi dari hidupku. I can do it."

"Are you sure?"

Melenggut yakin sambil melempar senyum getir. Pada akhirnya ibu pergi membawa kembali perlengkapan berkebunnya dan berpapasan sebentar dengan Andre yang berbisik entah apa. 

Aku membalikkan badan untuk mencari privasi yang sedikit jauh dari rumah. Untungnya di belakang rumah ini ada tanah lapang milik seorang pejabat kota. Di depan, ada sebuah pohon besar dengan ayunan buatan yang biasanya digunakan anak-anak bermain di sore hari. 

"Lizzie?" teriak Andre. Aku berhenti bergerak menahan gejolak dalam dada untuk tidak berteriak ketakutan. "Hukum aku apa saja asal jangan menghindariku seperti ini."

Aku meremas pinggiran baju sambil menggigit bibir bawah dan menengadahkan kepala,  mengamati desiran angin yang kini bercumbu mesra dengan dedaunan yang disaksikan oleh langit biru. Sialnya, mataku justru berkaca-kaca dengan dentuman di dada yang menyesakkan diri. Berbarengan dengan semua hal yang dulu kami lewati bersama kemudian berganti dengan peristiwa malam itu.

Aku takut!

"Sungguh tidak ada niat buruk dalam diriku untuk menyakitimu hingga seperti ini. Aku sangat menyesal saat kau menghilang dari New York dan meninggalkan begitu saja pekerjaan impianmu."

"Lantas apa kau tidak menyesal saat memperkosaku seperti kesetanan?" pekikku melempar tatapan nyalang padanya. 

Kenapa dia berkata seolah manusia paling menderita di dunia dan melupakan aku sebagai korban. Apakah dia tidak berpikir kalau malam itu mengakibatkan trauma yang kumiliki semakin parah. Oleh karenanya aku selalu mendapat mimpi buruk dan tidak bisa tidur selama berhari-hari. Bayangan wajah dan kilatan mata Andre kala itu seperti cambuk yang menjadikanku layaknya orang gila. Lantas, apa dengan dirinya mengatakan menyesal dan meminta maaf seperti ini dapat mengembalikan semuanya? Bukankah dia lebih kejam?

"Aku mencintaimu, Elizabeth."

Cinta? Dia meminta maaf dengan dalih atas nama cinta? Persetan!

Sekuat tenaga kutampar pipi kanan Andre hingga kulit telapak tangan terasa panas. "Cinta? Tahu apa kau tentang cinta? Maaf dan cinta tak bisa membuatku kembali padamu!" geramku. "Maaf dan cinta bisa membuatku kembali menderita lagi, Mr. Jhonson!"

Dia berusaha meraih tanganku namun berhasil kuhindari. Dia bergerak maju dan aku berjalan sebaliknya. 

"Please, come back to me."

"We are nothing!" teriakku.

"But you are everything for me!" serunya tak mau kalah. 

"For you? Not for me, Andre!" tunjukku padanya. "Bertemu denganmu adalah bencana! Aku sudah mengatakannya berulang kali padamu, kan?"

"Bertemu denganmu membuatku berhenti mencari wanita, Elizabeth."

"Kau bohong!"

"Tidak!"

"Kau hanya sedang merayuku."

"Hanya ini usahaku agar kau kembali."

"Aku tidak bisa."

Dia pun bersimpuh lalu menarik tangan dan memeluk pinggangku sembari menenggelamkan wajahnya di perutku. Aku berusaha berontak namun dekapannya malah semakin erat. Menutup wajah dengan kedua tangan saat kami menumpahkan air mata bersama. 

Apa kami terlalu bodoh mengartikan sebuah perasaan? Dia mencintaiku dengan caranya yang membuatku menderita dan memaksa diri ini menghadapi rasa trauma berulang kali. Sedangkan aku mengartikan bahwa perasaan itu sama dengan sebuah kepercayaan yang tidak boleh dihancurkan sama sekali. Karena sekali rasa itu hancur maka akan sulit mengembalikannya seperti dulu. 

Membiarkan diri kami tenggelam dengan penyesalan dan kemarahan yang bercampur menjadi satu. Tak ada yang menyela juga tak ada yang mengakhiri selain derauan angin yang agak kencang menggoyangkan dedaunan dan rambut. Kami hanya membiarkan air mata mengalir deras hingga yang tersisa rasa sesak di dada. Aku merasakan Andre mencium perutku dan melepaskan pelukannya. 

"Tatap aku, Lizzie," pintanya menarik tanganku. "Please!"

Aku kalah, walau penampilannya cukup buruk namun tidak menurunkan tenaga sebagai pria. Dia berhasil menangkap betapa buruknya wajahku saat menangis seperti ini. Andre menangkup wajah dan mencium kening turun ke mataku dan terakhir kedua telapak tangan. Aku menghentikan isak tangis ketika dia membelai tanganku yang masih dibalut perban akibat pecahan kaca jendela beberapa hari lalu. 

"Kenapa kau menyakiti dirimu sendiri?" tanyanya. "Kau bisa menyakitiku semaumu, Lizzie."

"Jangan buat aku semakin bingung dengan sikapmu," jawabku menarik diri. "Dan jangan memanggil Lizzie seolah kita dekat."

"Aku ... ingin memulai dari awal dan maaf jika malam itu aku terpancing oleh sesuatu karena..." Dia tidak melanjutkan kalimatnya membuatku menaikkan sebelah alis. Andre memilih mengatupkan rahang sambil menggerutu pelan.

"Kenapa?"

Dia menggeleng. "Aku tidak ingin membuat luka baru lagi. Sudah cukup kemarin aku membuatmu pergi dariku."

"Tapi aku tetap tak bisa pergi denganmu walau kau mengatakan ratusan kali kata cinta padaku."

Dia membuka mulutnya seakan ingin protes namun tidak ada kalimat yang meluncur dari bibir tipis itu. Sayang, detik berikutnya tubuh besar itu ambruk di pelukanku. 

"Andre!"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro