Chapter 32

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


'I love you and I hate to see you go. I still see you through the window.'

-Gavin James-

Menyusuri lorong rumah sakit sambil menguap lebar dan membawa segelas kopi di tangan kanan, rasanya tubuhku seperti dipukul banyak orang padahal ..., ah aku menggeleng sambil menahan dentuman rasa yang mendadak bermunculan di dada. Debaran yang bisa membuncah dan meledak seperti kembang api mengingat semalam aku tertidur di samping Andre dan memeluknya erat. Bodohnya aku setelah menangis seharian malah jatuh terlelap di sampingnya tanpa dosa.

Sebenarnya kemarin ibu sudah menawari diri untuk menjaga Andre, tapi aku menolak sebagai orang bersalah. Selain itu, ibu memberikan ponselnya kepadaku sekadar berjaga-jaga kalau ada sesuatu yang terjadi tiba-tiba. Dia juga menyayangkan diriku yang membuang ponsel ke tempat sampah saat perjalanan ke Florida. Ibu menasihati kalau sesedih apa pun jangan pernah membuang barang seolah mereka memiliki kesalahan terbesar.

Dan masalah pekerjaanku pun, ibu tidak banyak protes kala tahu aku resign melalui email Mr. Lawren juga Mr. Jhonson. Aku yakin saat ini banyak email masuk yang mungkin protes atas kinerja buruk seorang Elizabeth Khan atau menghujat karena keluar-masuk kerja seenak jidat.

Tubuhku terpaku menangkap sosok pria itu tengah duduk membelakangi dan menatap ke luar melalui jendela kamar. Tangan yang memegang kenop pintu mengetat seperti tak yakin untuk menghadapinya saat ini. Tapi sol sepatu yang kukenakan ini tidak bisa berpindah tempat seolah ada magnet yang menahanku untuk tetap berdiri di ujung pintu. Lidah pun rasanya begitu kelu untuk mengucapkan apakah dia sudah baik-baik saja setelah pingsan kemarin? Apa yang dirasakannya saat ini? Atau ... ke mana arah hubungan ini selanjutnya?

"Apa kau akan terus berdiri di sana?" suara Andre membuyarkan lamunan panjangku.

Dia menoleh dengan raut pucat walau jejak matahari memeluk dirinya dengan hangat.

Aku mengernyit seperti ada yang berbeda. Detik berikutnya aku berseru, "Kau mencabut infusmu!" lalu bergegas menghampirinya dan meletakkan gelas kopi di atas nakas.

Benar saja, selang infus menggantung tak berdaya dan ada bercak darah berceceran di seprai dan lantai, sementara dia mematung tanpa merasa kesakitan. Segera kupencet tombol untuk memanggil perawat dan berkata kepada si pria kopi, "Apa kau gila? Kau masih sakit, Mr. Jhonson!"

"Kukira kau tak peduli denganku," desisnya dingin.

Rahangku rasanya menyentuh lantai mendengar penuturan tak sopan yang dilontarkan oleh Andre. Bukannya berterima kasih atas apa yang terjadi, lelaki itu malah menohokku dengan kalimat sindiran.

"Ya, aku tak peduli! Uruslah dirimu sendiri!" gertakku hendak pergi tapi dia berhasil mencegatnya.

"Jangan, kumohon--" ucapannya terhenti kala seorang perawat berkulit hitam masuk dan melihat selang infus Andre terlepas.

"Kenapa infusnya bisa terlepas, Tuan? Anda masih membutuhkan beberapa obat melalui suntikan," omel perawat itu tapi nadanya masih terdengar ramah di telinga.

Jika aku menjadi seorang perawat dan mendapat pasien seperti Andre, pasti sudah kumarahi habis-habisan. Perawat itu menyuruh Andre berbaring lantas mulai membersihkan tangan kirinya yang terkena darah yang telah mengering dengan kapas alkohol. Setelah selesai dia pun berkata, "Aku akan melaporkan perkembangan Mr. Jhonson ke dokter, jika dia memang bisa makan dan minum secara mandiri mungkin terapi melalui selang infus tidak dibutuhkan."

"Ya, apalagi ada dia," ujar Andre melirikku yang dibalas dengan senyuman manis di bibir perawat. Sontak saja aku berpaling ke arah jendela untuk menghindari pandangan penuh harap darinya, menyembunyikan genderang di dada yang takut didengar olehnya.

Aku berdeham, apakah pipiku memerah atau tidak?

"Baiklah, akan kutinggalkan kalian berdua selagi menunggu petugas cleaning service."

Setelah perawat itu pergi aku menyindirnya, "Kau sudah membuat hidupku semakin rumit, Mr, Jhonson."

"Pikiranku juga rumit karena terlalu banyak memikirkanmu," balasnya menimbulkan desiran aneh di tubuhku. Dia bangkit dan duduk di pinggiran kasur, mengulurkan sebelah tangan padaku. "Haruskah aku sekarat seperti ini baru kau mau bicara padaku, Ms. Khan?"

"Kau yang membuat dirimu menderita bukan aku," jawabku tanpa menerima uluran tangannya. "Jika kau sudah sehat, maka aku akan pulang. Ibuku akan datang menggantikanku."

"Aku membutuhkanmu. Banyak hal yang perlu kita bicarakan," tegasnya masih setia mengulurkan tangan. "Apa kau membiarkan tanganku seperti ini terus? Padahal sebelumnya kau mau menyentuhku."

"Kau yang menyentuhku!" geramku kesal lalu bersandar di tembok sambil melipat tangan di dada. "Berapa hari kau tak makan?"

"Sejak aku datang kemari," jawabnya mengunci tatapan padaku, "aku merindukanmu."

Hanya satu kata itu saja, tubuhku rasanya meremang. Dia berdiri dan mendekat tuk menepis jarak yang ada, mengangkat tangan kanannya tuk membelai rambutku. Seketika itu juga memejamkan mata saat kilasan malam itu kembali datang.

"Aku minta maaf atas semua yang kulakukan padamu, Lizzie," lirihnya penuh penyesalan, "aku ... jika kau ingin memukulku sekarang, aku akan menerimanya sampai kau mau memaafkanku."

"Kenapa malam itu kau ... melakukannya?" tanyaku gemetaran. "Kau bilang bahwa kau akan melindungiku, Mr. Jhonson, tapi kau--

"Tatap aku, Ms. Khan," pintanya menyela pembicaraan.

Aku membuka mata, bertemu pandang dengan iris mata biru yang diterpa jejak matahari. Dari dekat, guratan wajah itu menampakkan kalau dia memiliki banyak beban di punggungnya sampai-sampai kantung matanya tercetak jelas di sana. Alis tebal Andre bertaut, mengisyaratkan banyak pertanyaan dalam kepalaku.

"Aku hanya terpancing malam itu," lanjutnya dengan ragu-ragu. "Ada seseorang yang menelepon dan mengirim beberapa foto yang awalnya kukira itu dirimu."

"Foto?" Aku mengulang kata itu tak mengerti.

Andre mengangguk. "Foto ... ya kau tahu maksudnya kan..."

Foto telanjang?

"Tidak mungkin, Mr. Jhonson!" elakku. "Kau tahu aku bukan perempuan sembarangan. Apa yang meneleponmu itu Billy Jenkins?"

Andre menggeleng pelan. "Aku tak yakin karena suaranya berbeda dan ... malam itu pikiranku terlalu kacau akibat keberadaannya yang sangat sudah dilacak dan semakin kacau saat aku menyakitimu, Elizabeth Khan," katanya dengan mata berkaca-kaca. "Aku merasa ... bahwa kau adalah milikku, kau harus kulindungi, kau tanggung jawabku tapi nyatanya aku gagal ... aku membuatmu pergi dariku, meninggalkan Manhattan, dan pekerjaanmu. Aku berharap kau akan kembali ke sana."

"Tidak!"

"Tidak?"

Aku mengangguk. "Tidak ada yang perlu kita perbaiki lagi di sana, Mr. Jhonson. Aku sudah terlalu banyak mengalami hal tak menyenangkan dan di sini, di rumahku ... aku aman bersama keluargaku termasuk darimu."

"Aku minta maaf sudah membuatmu seperti ini."

Aku menggeleng sambil tersenyum nanar.

"Kau terlihat jauh lebih kurus," ucap Andre.

"Aku hanya memikirkan bagaimana caranya mati. Lagi pula, kau jauh lebih mengerikan Mr. Jhonson, apalagi kau tak mandi beberapa hari," ejekku.

Dia tergelak meski bibirnya masih terlihat pucat. Satu senyum saja sudah membuat wajahnya kembali bersinar. "Kalau begitu baskom dan waslap yang kau siapkan subuh tadi akan berguna sekarang." Andre mengerlingkan matanya membuatku memukul dada bidang itu dengan kepalan tangan. "Hei, aku masih sakit, Nona."

"Kupikir kau sudah sangat sehat mengingat mulut pintarmu sudah pandai berargumen denganku," dengusku. "Pergilah mandi, baumu seperti sapi."

Baca lebih cepat di Karyakarsa ya di sana udh Vol 18 (bab 37-38)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro