Chapter 33

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

'You are everything i'm living for. If you go down, then we go down together.'

-Dove Cameron ft Khalid-

Apakah sekarang kami terlihat seperti keluarga utuh? Duduk bersama mengelilingi meja makan dengan masakan ibu yang terbilang cukup mewah. Ada meatloaf--daging giling panggang yang diberi gula merah, bawang merah, hingga susu dan dibentuk seperti roti, sup tomat kesukaanku, taco sayuran yang dibuat dari campuran zucchini, cabai hijau, dan tomat. Tak lupa pula green beans yang merupakan andalan ibu kala sedang diet padahal tubuhnya cukup ideal di usia 50-an. Semua makanan itu dipadu dengan gelas-gelas berisi saril--minuman kemerahan yang berasal dari tanaman rosella dan diberi jahe, cengkeh, serta madu. 

Selain pemandangan makanan yang pasti membuat perut penuh, lelaki bercambang yang tadi pagi sudah diperbolehkan pulang itu duduk di samping kiriku berhadapan dengan William. Walau wajahnya masih terlihat pucat tapi senyum manis bibir tipis Andre tak berhenti mengembang bagai seseorang terlalu menambahkan baking soda. Sinar di garis tampan yang kemarin sempat hilang kini muncul kembali sampai meninggalkan jejak merah di kedua tulang pipinya. Jika seperti ini, Andre tidak lebih dari seseorang yang pura-pura sakit. 

Dia dengan mudahnya bisa berbaur bagai bertemu teman lama, terutama William yang tampak antusias membicarakan pertandingan MotoGP tahun ini. Bahkan mereka berdua seperti sudah melupakan kalau ada tiga perempuan yang menatapnya tak mengerti. 

"Jika kau sudah menemukan nyawamu kembali, pulangkah ke New York!" usirku secara terang-terangan. 

"Dia baru saja sembuh," sahut William seperti tak rela jika berpisah dengan Andre.

"Dia punya perusahaan besar yang harus diurus, bukannya berlama-lama di sini seperti pengangguran," balasku ketus.

"Apa gunanya punya wakil direktur? Lagi pula mereka masih bisa mengirimkan berkas-berkas melalui email, jangan terlalu kolot." Andre mengunyah green beans seraya menaikkan sebelah alis tak terima dibilang orang tak punya pekerjaan. "Aku kaya raya, kau tak perlu khawatir. Dan ... apakah dia selalu seperti ini?" dia menatap satu-persatu keluargaku.

Aku memicingkan mata, sementara Lily yang duduk di samping kiri William menyahut, "Tidak, tapi dia berubah kejam dan penuh cinta sejak kau datang."

"Lily!"

"Apa? Kau menangis saat Mr. Jhonson tidak sadarkan diri, Sis!" balas Lily tanpa tahu kondisi kalau dia bisa membuat kepala Andre makin besar.

Ibu yang berada di sisi kanan suami ketiganya dan mendengar penuturan bocah kecil sok tahu itu malah menahan tawa. Aku merasa terpojok, sementara William menyuruhku untuk tidak terlalu keras pada semua orang. Kami adalah manusia yang diciptakan saling bersosialisasi bukannya hidup individualistis layaknya kau tak butuh seseorang untuk menemani makan malam. Andre menyetujui dan memberikan sepotong meatloaf di atas piringku sambil melempar kerlingan mata tanpa rasa bersalah.

"Kau harus banyak makan supaya punya tenaga untuk mengomeli kami," tandasnya yang dibalas gelak tawa. 

Dasar tidak tahu diri!

Tak berapa lama, dering ponsel milik ibu berbunyi. Buru-buru dia berdiri dan menjawab panggilan yang terdengar mendesak itu. Tak berapa lama, ibu memanggilku dan berkata kalau Emilia menelepon. 

Meninggalkan meja makan dan menerima telepon dari si gadis reporter, aku berjalan ke luar rumah untuk mencari privasi. Suara Emilia langsung menggelegar di telinga kala menyebut namaku dan berikutnya rentetan kemarahan yang menyeruduk tanpa henti seperti radio rusak. Aku mendudukkan diri di teras, menghela napas panjang mengamati mobil-mobil yang sesekali lalu lalang.

"Harusnya kau panggil aku, Lizzie!" gertaknya. "Kau ingatkan kan janjiku bahwa jika dia menghancurkan dirimu, aku bisa mematahkan batang kemaluannya!"

"Iya, aku tahu. Saat itu aku sudah kalut, Em, aku minta maaf," jawabku lirih. 

"Aku tidak menyangka kalau masalah ini semakin pelik, Lizzie, tidak seharusnya kita berdua menanggapi rayuan mereka." 

Aku mengernyitkan kening, mengulang kata terakhir Emilia dalam benak sementara ada jeda cukup panjang setelah dia melontarkan kalimat itu. Siapa yang dia maksud dengan mereka? Apakah dia juga memiliki masalah dengan Sam? Jika itu benar, dua bersaudara Jhonson layak diberi penghargaan sebagai lelaki pecundang yang tidak tahu diri. Mereka begitu gampang menarik hati kemudian menghancurkannya dalam sekejap mata layaknya hal itu bukanlah perbuatan dosa. Sayangnya, masih banyak orang-orang yang kepincut dengan pesona dua Jhonson bersaudara ini. 

"Jadi, kau ada masalah dengan adiknya?" tanyaku ingin mengalihkan topik. 

"Lupakan itu, mari fokus pada si bajingan Alexandre, Lizzie," ucap Emilia. "Besok aku akan ke sana, mumpung bos memberiku libur beberapa hari setelah lembur."

"Kau tidak menjawab pertanyaanku, Emilia, kau ada masalah kan dengan Sam?" tanyaku sekali lagi yang membuatnya membisu beberapa saat. 

Tak berapa lama, derit pintu terdengar kemudian sosok tinggi yang mengenakan kaus putih itu bertemu tatap denganku. Menggerutu pelan kenapa pula dia harus muncul, kenapa tidak beristirahat di kamar tamu seperti layaknya orang sakit. Aku beranjak dari tempat duduk, menjauhinya sejenak sambil berbisik,

"Bagaimana jika kita makan es krim bersama dan saling menceritakan masalah?"

"Kenapa suaramu kecil sekali? Aku tidak mendengarnya, Lizzie!"

Sebelum mulutku melontarkan kalimat yang sama, mendadak Andre berseru,

"Dia akan mengajakmu makan es krim berdua agar kalian bisa saling curhat!"

"Su-suara siapa itu? Si Jhonson keparat? Serius!"

Melempar tatapan setajam pisau yang baru diasah kepada lelaki yang justru melempar senyum simpul sambil bersedekap dan bersandar di pilar rumah bergaya klasik ini. Lantas dia bergerak mendekati, merangkul pinggang dari belakang dan refleks saja aku menjerit kaget. 

"Shit! Di mana bajingan itu!" Suara Emilia masih saja terdengar seolah dia benar-benar ingin menelan Andre bulat-bulat. 

Yang disumpahi merebut ponsel ibu paksa dan berkata, "Aku di sini. Kau tidak tahu kalau aku hampir mati?"

"Kau layak mati, Jhonson!" umpat Emilia. "Lihat saja besok!"

Sambungan telepon terputus, Andre terpingkal-pingkal seperti ancaman Emilia sungguh tidak berarti baginya. Aku berusaha melepaskan diri, tapi dia malah mempererat rangkulan. Sampai akhirnya siku kiriku menyikut ulu hatinya, dia mengaduh dan mundur beberapa langkah. 

"Enyahlah dari pandanganku, Mr. Jhonson!"

###

Berada satu rumah dengan Andre rasanya telingaku panas, dia benar-benar sudah mengulitiku di depan orang serumah. Setelah makan malam, Andre bersedia membantuku mencuci piring sambil menyanyikan lagu Aerosmith yang menjadi soundtrack film Armageddon. Harus diakui, suaranya tidak buruk tapi lirik yang dinyanyikan seolah mewakilkan perasaannya alih-alih dia meminta maaf seperti kemarin. Aku tidak tahu apa yang di dalam kepalanya sampai lelaki itu berubah melebihi 360 derajat. 

Mungkin dia terlalu banyak menerima paparan sinar ultraviolet yang mengeringkan akal sehatnya, Lizzie, abaikan dia!

"Watch you smile while you are sleeping, wellyou're far away dreaming. I could spend my life in this sweet surrender. Andjust stay here lost in this moment forever." Andre melantukan bait lagu,"Well, every moment spent with you is amoment I treasure. I don't wanna close my eyes, I don't wanna fall asleep causeI'd miss you babe and I don't wanna miss a thing."

Selesai mencuci, kami duduk di ruang tamu menikmati siaran TV yang biasanya menyajikan film-film musim panas seperti adaptasi novel Nicholas Sparks atau animasi anak-anak , tapi Lily memilih bermain game daripada harus melihat orang berciuman yang menjijikkan. Sedangkan aku hanya duduk dengan bibir mengerucut tak nyaman harus berlama-lama berdampingan dengan si pria kopi. Dia benar-benar tidak mengizinkanku tuk pergi dan merajuk bak anak kecil yang disetujui ibu. 

Perempuan yang kini mengenakan midi dress merah menyala yang sangat tidak cocok untuk sore hari seperti ini menyiratkanku untuk duduk manis. Aku menggerutu. Ada apa dengan sikap ibu? Ke mana dirinya yang murka kepada si Jhonson sampai menamparnya keras kemarin? Kenapa hari ini lelaki yang berlagak seperti orang sakit itu dibela mati-matian?

"Selama di New York, dia sama sekali tidak mau kusentuh, bahkan saat menciumnya malah pingsan," timpalnya kala melihat adegan Channing Tatum sedang mencium Rachel McAdams dalam adaptasi kisah nyata yang berjudul The Vow.

Sontak saja ibu dan William tertawa, sedangkan Lily menahan diri untuk tidak terbahak-bahak mendengar kakak tirinya dihujat oleh si pria kopi. 

"Aku menyukai apa yang ada pada putrimu, Mrs. Hawkins," ucap Andre entah jujur atau tidak. 

Aku pura-pura menguap, sungguh pembicaraan ini tidak penting bahkan drama romantis yang biasanya membuatku menangis mengharu biru kini tak bisa melekat di hati. "Aku akan tidur, hari ini sangat lelah."

Tanpa menunggu jawaban mereka, aku beranjak begitu saja daripada ibu mengolesi lem super di pantat agar anaknya tidak ke mana-mana. Selain itu, aku juga tidak betah berlama-lama berada di sebelah Andre yang sok kenal sok dekat dengan keluargaku. 

"Hei."

Andre menarik lengan kiriku saat kaki sudah menaiki anak tangga, seketika mataku membeliak dan berseru, "Kenapa kau mengikutiku?"

"Aku juga lelah," jawabnya.

"Kau hanya mengopi ucapanku, Mr. Jhonson, tidak kreatif!" Aku melongok ke arah ruang tamu dan berbisik, "Kau jangan aneh-aneh di rumahku, oke. Lagi pula kamarmu bukan di lantai dua!"

"Aku perlu bicara sesuatu," bisiknya tegas dan mengunci pandangan lantas menarik lenganku naik ke lantai dua. "Di mana kamarmu?"

Aku berusaha mengelak, sialnya cengkeraman tangan besarnya begitu kuat seperti menghentikan paksa aliran darahku. Dia berbelok ke kiri setelah di ujung tangga, memilih sebuah kamar bercat putih gading dengan hiasan awan biru lalu membuka begitu santai bak tuan rumah. Kenapa dia bisa tahu di mana kamarku padahal dia tidak pernah ke sini?

"Aku memilih secara acak jika kau penasaran," sahutnya tahu isi pikiranku dan melepaskan genggaman tangannya lalu mengunci kamar. 

Aku mendelik sambil bergerak mundur kala pandangan lelaki itu terasa mengintimidasi. Atmosfer yang panas di sini semakin panas walau suhu pendingin sudah bekerja semaksimal mungkin. Otakku tiba-tiba tidak bisa memberi perintah apa yang seharusnya dilakukan untuk menghadapi kemungkinan terburuk. Tapi, seberani itukah Andre padaku di rumah ini? Bahkan setelah kami menyelamatkan nyawanya kemarin?

"Tidurlah," pintanya yang terkesan memerintah. 

"Mau apa kau?" Suaraku gemetaran bercampur rasa takut yang pasti sudah kentara. Aku berdeham, berusaha melawan gelombang yang bisa saja berubah menjadi kepanikan. Kata orang, jangan tunjukkan kegelisahanmu pada lawan walau hatimu sudah lari tak karuan. Jika kau menunjukkannya, maka lawanmu akan mudah menyerangmu dalam hitungan detik. 

"Aku bilang tidurlah, Lizzie, kau lelah." Andre bergerak maju dan aku semakin mundur sampai tak sadar tubuhku terjatuh dan mendarat di atas kasur. "Aku tidak akan melakukannya lagi jika itu yang kau takutkan."

"Lantas? Kau akan mencekikku sementara keluargaku sudah menyeretmu dari lubang kematian? Inikah rasa terima kasihmu, Mr. Jhonson?"

"Kenapa kau berpikiran seperti itu?"

"Nyatanya begitu kan?"

Dia mendudukkan diri di sampingku tapi aku langsung berdiri. "Kenapa kau menjaga jarak denganku? Mendekatlah."

"Kau bencana. Aku tidak mau dekat dengan bencana."

"Lantas obati aku sebagai bencanamu, Ms. Khan. Kita adalah sepasang yang saling membutuhkan."

"Kau salah! Jangan berharap tinggi padaku. Masih banyak perempuan lain yang bisa kau ganggu seumur hidup, Mr. Jhonson. Sekalipun kau berlutut memohon kepadaku agar kembali ke New York, jangan harap!"

"Kalau begitu ..." Andre berpikir sejenak lalu berdiri menghampiri dan mendekap erat, membawa tubuhku ke kasur. 

"Apa-apaan kau ini! Lepaskan aku, Andre!" 

"Menikahlah denganku, Ms. Khan!"

Detik berikutnya, duniaku serasa berputar-putar dan ucapannya mendadak menggaung di telinga. Bahkan iris mataku yang hanya disinari oleh terangnya rembulan tidak bisa bersembunyi dari tatapan penuh harap itu. Entah apa yang ada di otak Mr. Jhonson. Yang pasti saat ini dia sudah di luar nalar. 

Dia gila!

Yang enggak sabaran menanti bab selanjutnya bisa mampir di Karyakarsa . Di sana udah bab 40-an.

Cerita adult romance lain yang bisa kalian nikmati :

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro