Chapter 34

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

'When I'm lost in the rain, In your eyes I know I'll find.'

-Christina Aguilera-

"Kau pasti mabuk!" tandasku tak memercayai apa yang barusan kudengar. "Menjauhlah!"

"Tidak!" Dia makin mendekap kuat seakan ingin meremukkan tubuh. "Aku tidak mabuk dan aku tidak ingin menjauh darimu."

"Kau gila, Mr. Jhonson! Aku tidak bisa bernapas!" 

"Aku bisa memberimu napas buatan!"

Sontak saja kugigit hidung lancipnya itu membuat si lelaki keras kepala mengerang kesakitan. Akhirnya dia merenggangkan rangkulan erat yang bisa saja menghambat aliran darah, terlebih bisa saja dia mendengarkan betapa hebat debaran di dada saat ini. Sejujurnya, aku sendiri tidak mengerti mengapa tiba-tiba hatiku melompat-lompat kegirangan seperti baru saja mendapat jackpot. 

Aku kembali bangkit untuk keluar kamar tapi Andre menarikku untuk berbaring di sebelahnya, memeluk tak terlalu erat dan berkata, "Aku serius ingin menikahimu, Elizabeth Khan."

"Lamaranmu terdengar  tak masuk akal di telingaku, Mr. Jhonson dan tak romantis sama sekali."

Dia menyunggingkan senyum tipis melempar kerlingan mata yang menggoda. "Jadi kalau aku mengadakannya secara romantis seperti di film, kau akan menerimanya?"

"Tidak! Astaga, apa sih yang ada di dalam kepalamu sekarang?"

"Kau dan aku."

Bibirku rasanya menganga sampai menyentuh ujung jari kaki mengetahui betapa santai Andre mengungkapkannya terutama tentang pernikahan. Bagiku menikah bukanlah hal mudah, bercermin pada pernikahan ibuku hingga ketiga kali walau dia dengan bangga mengatakan kalau William adalah pelabuhan terakhir. Selain itu, aku juga tidak siap berkomitmen dengan seseorang seumur hidup, melahirkan seorang bayi, juga harus berkutat dengan deretan urusan rumah tangga. Semua terasa pelik, aku masih ingin berkelana tuk menemukan apa yang benar-benar kuinginkan di masa depan, apalagi usiaku juga masih 22 tahun sementara dia ... 36 tahun. Jarak usia yang begitu terbentang bagai sungai Niagara antara kami. 

"Jangan terlalu banyak berkhayal, mungkin kau perlu menghidrasi ulang otakmu yang kering itu, Mr. Jhonson. Dan--" 

Dia mengecup bibirku, mematahkan semua barisan kalimat sarkasme yang ingin kulontarkan padanya. Hanya sentuhan bibir tipis yang terasa manis itu menyapa, menimbulkan ratusan gelembung-gelembung yang menggelitiki perut atasku. Iris matanya yang biru tampak menggelap di bawah remang lampu kamar tapi bisa kurasakan betapa dia memesona saat ini. 

Sisi lain diriku seketika menjerit tuk menyadarkan pikiran yang sudah dihipnotis oleh pesona si pria kopi kalau aku tidak boleh terlena begitu saja. Apakah dengan sebuah kecupan manis di bawah sinar rembulan bisa meluluhkan seorang Elizabeth yang kemarin digaulinya? Bahkan dia juga tidak benar-benar meminta maaf kan? Atau akulah yang mulai bodoh karen terus berdekatan dengan si bencana ini?

"Aku mencintaimu," ucapnya tulus. "Aku minta maaf dan aku mencintaimu."

Dia mengatakan hal itu seolah di dahiku saat ini terpampang jelas ukiran bertuliskan 'kau adalah pembohong sialan!'. Sayangnya,  aku tidak bisa membalas ucapan semanis kembang gula, melainkan hanya mengamati garis wajah yang tidak lekang oleh waktu. 

Di usia yang menginjak empat puluh, jujur saja Andre terlihat lebih muda daripada kebanyakan pria yang kubayangkan. Tidak ada tanda-tanda uban yang mengintip malu-malu di rambut cokelat tembaganya, tidak banyak kerutan halus yang tampak, kalaupun ada mungkin sebagian orang tak akan menyadari. Tubuh kekar dengan dada bidang ini tidak menunjukkan adanya penumpukan lemak di perut menandakan dia benar-benar menjaga bentuk tubuh. Aku yakin si pemimpin perusahaan Jhonson Corp ini sangat rajin menghabiskan waktu untuk melatih otot-ototnya di gym. 

Aku memunggungi Andre tanpa menjawab apa yang dinanti oleh lelaki itu. Memilih tuk menidurkan diri sementara lengannya kini mendekap tubuhku lagi dan berbisik, 

"Aku mencintaimu."

"Kenapa kau melakukannya?" tanyaku.

"Menikahimu? Agar kau tidak hilang lagi," jawabnya santai," hanya cara ini yang bisa mengikatmu denganku."

"Kau kira aku sapi?" dengkusku sedikit meliriknya kesal. 

"Kau kemarin juga memanggilku sapi," katanya sambil terkekeh membuat seulas senyum langsung terukir di bibir. "Bukankah ini adil?"

"Tidak."

"Kenapa?"

"Karena aku tidak menjawab lamaranmu dan tidak memaafkanmu," kataku. "Kau memaksaku."

"Aku tahu dan itu memang yang sedang kulakukan. Daripada kau mencintai orang lain di masa depan yang tidak jelas ke mana arahnya lebih baik kau belajar mencintaiku saja sekarang."

"Jangan berhalusinasi."

"Tidak."

"Kau gila."

"Memang."

Berdebat dengan Andre sampai ayam jantan bertelur pun tak akan selesai. Dia selalu bisa membalas ucapanku dengan mudah dan tanpa melewati proses penyaringan di dalam otaknya, apakah keputusan yang dia buat itu sudah matang atau tidak. Di saat seperti ini, aku menemukan hal baru kalau dia bisa menjadi seorang yang gegabah dan berbeda dengan di perusahaan. Apakah urusan cinta bisa membuat orang rela melakukan segalanya? 

"Lizzie, apa kau tidak keberatan jika kupeluk begini?"

"Kau tahu tapi masih menanyakannya?" Aku menepis tangannya di pinggangku. 

"Oke, baiklah. Aku minta maaf, tidurlah ..."

Dia beranjak dari tempatnya dan pergi begitu saja tanpa mengatakan apa pun lagi. Setelah pintu tertutup, aku bangun dan menatap lurus jejak Andre yang sudah menghilang di balik pintu menyisakan aroma tubuhnya. Mendadak di sini terasa hampa padahal belum ada beberapa menit. Aku menghela napas, memutar ulang lamaran tak terduga yang diajukannya sambil meremas dadaku yang terasa bercampur aduk. 

Dalam hati, sebenarnya apakah aku pantas menerima sebuah perasaan darinya? Selama ini aku selalu berpikir kalau lelaki hanya bisa memanfaatkan tubuh perempuan tuk memuaskan hasrat mereka. Aku meragu dengan apa yang dia ucapkan, takut kalau dia mengecewakan seperti kemarin di saat kata maaf belum terucap untuknya.

Ah, ada apa denganku? Kenapa aku merasa terombang-ambing hanya dengan janji yang belum tentu ditepati?

"Jangan mudah terbawa suasana,  Lizzie. Ingat, dia sudah menyetubuhimu tanpa ijin," gumamku. "Dia membolak-balikkan hatimu seperti telur dadar. Ingat!"

###

"Hallelujah!" seru Emilia kala mendapatiku baru terbangun hampir tengah hari.  "Apa kabarmu, sobat?"

Masih mengumpulkan sisa-sisa mimpi semalam, entah kenapa tidak ada kejadian buruk yang menelusuk masuk di sana.  Selain itu,  untuk pertama kalinya aku bisa tidur senyenyak bayi tanpa dosa sampai bisa kesiangan seperti ini.  Ini rasanya aneh sekaligus perubahan besar setelah insiden di rumah Jhonson sampai aku menghilang dari New York. 

Apakah ini berarti terapi dan obat yang diberi dokter Margaretha berhasil? Atau ... tunggu!

Seberkas ingatan semalam saat tidur sepertinya bakal menaikkan desiran darahku. Sosok lelaki berambut tembaga itu kembali ke kamar tengah malam dan tidur di sampingku setelah membisikkan sesuatu.  Aku tidak seberapa ingat apa yang bicarakan mengingat kemarin adalah hari yang cukup melelahkan.  Lantas,  dia memelukku, membiarkan tubuh atletisnya menjadi sandaran ternyaman. 

"Hei, mukamu memerah!" Emilia menepuk bahuku sampai aku hampir terkesiap. 

"Em!" seruku. "Astaga,  sejak kapan--"

"Sejak kau melamun dan tidak menjawab sambutanku tadi," ketusnya menyela ucapanku.  "Kau tidak mau memeluk pasangan lesbianmu ini?"

Aku tertawa, bangun dan mendekap tubuh si gadis blonde yang ceria penuh kerinduan.  "Maaf aku belum mandi."

"Tidak apa-apa, kau masih wangi," pujinya sambil tertawa terbahak-bahak. "Jadi,  katakan padaku."

"Apa?" aku melepas pelukan kami dan menatapnya dengan penuh tanda tanya.  Entah kenapa hatiku berdegup kencang seperti seseorang sedang memberiku sesuatu yang buruk. 

Emilia memutar bola matanya. "Kau. Kenapa kau bisa menerima lamarannya di saat kalian bertengkar hebat kemarin? Apa dia sudah sinting?"

What?

"Aku?"

"Iya,  kau. Siapa lagi,  Lizzie? Jangan bilang kau tidak sadarkan diri saat menerima pinangannya," ucap Emilia. "Karena tadi sebelum ke kamarmu,  aku sudah menghajar kemaluan Mr. Jhonson dengan lututku."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro