Chapter 35

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Dia pasti gila! Atau mungkin efek obat antidepressan itu membuat kepalaku dipenuhi halusinasi?

Oke, tolong siapa saja yang bisa membantu untuk mencari kapan tepatnya aku mengatakan bersedia menjadi calon istri si pria kopi? Aku menggeleng keras mengelak pertanyaan Emilia yang terdengar lebih mirip desakan atas perubahan sikapku hanya karena sebuah janji manis itu. Tidak! Ayolah, aku bukan perempuan yang seperti kalian pikirkan. Apa kau akan percaya dengan janji yang diucapkan Andre setelah dia menghancurkan kepercayaanku? Tidak kan?

"Sudah kuduga. Untung aku tidak menendang adik kecilnya supaya ketika kalian bercinta kau tidak menemukan junior Andre membengkak," kata Emilia cukup kencang membuatku langsung membungkam mulut tak sopannya itu. Kurasa ibu mendengar suara teman yang tahu situasi ini kala dia mendadak muncul dengan wajah tercengang hampir menggelindingkan bola matanya. 

"Kurasa lebih baik kita pergi keluar, Em, kita bisa membahasnya tanpa sepengetahuan ibuku," bisikku lalu menyeretnya keluar. 

###

Kami berdua duduk di salah satu kedai es krim dekat pusat perbelanjaan yang dipenuhi orang-orang tengah duduk-duduk di kursi di area cafe-cafe bersamaan dengan denting gelas dan musik-musik memekakkan telinga. Musim panas seperti ini semua kedai akan menjajakan minuman yang bisa mendinginkan dan menyegarkan tubuh juga berbagai konser akan digelar sepanjang sampai menjelang musim gugur. Jangan lewatkan juga, pantai-pantai akan disesaki orang-orang yang ingin menggelapkan kulit.

Bedanya, aku datang ke mari tuk menyendok es krim vanila dengan topping stroberi dengan marshmallow sekadar menyejukkan kepala. Jujur saja otakku sudah mengeluarkan kepulan asap hitam mendengar kalimat demi kalimat yang dilontarkan Emilia tentang pertunangan yang tidak pernah aku setujui. Mata biru cerahnya terlihat antusias, lantas menunjukkan berita utama yang menjadi trending topic di Twitter maupun Instagram dari ponselnya. 

'Akhirnya Alexandre Jhonson bertunangan!'

"Kau seperti berlian yang ditunggu jutaan orang, Lizzie," kata Emilia nyaris menggelindingkan bola mataku membaca judul artikel itu. Bagaimana bisa mereka menulis berita tanpa konfirmasiku dulu? Atau ini hanya akal-akalan si pria kopi agar tidak mendapat penolakan dariku?

Sialan!

"Oke, sekarang giliranmu. Apa yang terjadi malam itu sampai kau di sini?" tanya Emilia lagi sebelum aku memberikan komentar terkait gosip yang sudah tersebar luas seantero Amerika. Kuharap setelah kami keluar dari sini tidak ada paparazzi atau seseorang yang menyeret dan menenggelamkanku ke laut karena merebut pria pujaan hati mereka. 

Atau aku sedang menggali lubang kematianku sendiri dengan berada di tengah keramaian?

Sendok yang akan masuk ke dalam mulutku langsung mundur begitu Emilia mengulang pertanyaan itu lagi. Kuletakkan sendok keperakan ke dalam gelas es krim seolah nafsu untuk menghabiskannya sudah lenyap begitu saja. Kemudian menyandarkan punggung ke kursi seraya menyapu pandangan ke sekitar sembari membatin kalau makan es krim tidak bisa menenangkan perasaanku yang terlanjur campur aduk. Haruskah aku naik roller coaster sampai muntah agar keresahan ini pupus?

Sebenarnya ada secuil ketakutan yang masih enggan pergi dari hati tapi rasa itu hilang timbul ketika bayangan Andre muncul. Kau tahu? Membayangkan wajahnya saja seolah ada seberkas sinar yang menyilaukan tengah menyorot agar kegelapan yang menaungi diriku lenyap. Cahaya itu berganti dengan uluran tangan kekar dan senyum tulus penuh cinta dan iris mata biru samudra yang menghangatkan hati. Seperti dua sisi mata uang, lidahku terasa sulit mengatakan detail kejadian malam itu meski sel-sel dalam otakku sudah dipenuhi oleh jutaan kalimat yang siap dirangkai menjadi sebuah cerita.  

Ada perasaan ragu bercampur resah seakan jika aku mengatakan kepada Emilia bakal menjadi bumerang yang bisa saja membunuh tanpa memberi kesempatan mengucapkan kata-kata terakhir. Ini di tempat umum dan aku tidak ingin menggila di sini. Kenangan itu terlalu menyeramkan melebihi nenek sihir yang ingin mengubahku menjadi monster berlendir. Bahkan ... jemariku mulai gemetaran sampai-sampai terpaksa memeluk gelas es krim agar Emilia tidak memergoki kalau panick attack itu mulai datang. Sayangnya, sosok Emilia yang kadang tak sabar melotot padaku untuk menuntut jawaban sampai menaikkan sebelah alisnya. 

"Seseorang datang ke apartemen kita waktu itu," kataku memulai cerita, mengetatkan remasan di gelas. Oh, bisakah Tuhan memberiku kekuatan sedikit saja? Lihat! Jantungku sudah berdebar tak karuan, keringatku bermunculan sebesar biji jagung. Aku tidak mau mempermalukan diri sendiri atau mereka mengataiku gila. Tidak!

"Siapa?" tanya Emilia penasaran. "Kau berkeringat, Lizzie. Apa kau baik-baik saja?"

Aku menggeleng cepat. "Aku takut setiap kali membayangkan kejadian itu."

"Aku mengerti hanya saja ... aku tidak ingin kau memendam ini semua sendirian, Lizzie. Andai saja aku bisa membantu--"

"Bi-billy," selaku dengan nada bicara gemetaran. Aku benci ini. 

Emilia langsung menggenggam tanganku erat memberi kekuatan bahwa aku bisa mengatakan yang sebenarnya. "Dia menggedor pintu menyuruhku untuk melakukan apa yang dia pinta. Tapi ..."

Ah, kenapa di sini mendadak terasa sesak? Aku mendongak gelagapan seperti ikan yang menggelepar kehabisan air di bawah terik matahari. Membuka mulut dan menarik udara sebanyak mungkin untuk tetap waras. Setidaknya sampai lima belas menit ke depan. Kupegang erat tangan Emilia ketika gelombang rasa itu muncul membuatku cemas. Gadis itu panik dan buru-buru pindah tempat duduk di samping kananku sambil berkata, 

"Sudah, hentikan jika kau tak sanggup bercerita, Lizzie. Aku minta maaf."

Air mataku mendadak mengalir deras, lantas kupeluk Emilia seerat mungkin. "Andre menolongku, itu benar. Tapi ... pada akhirnya ... dia ... aku tidak tahu apa yang merasukinya waktu itu sampai teganya dia mencabuliku, Em."

"Astaga, sudah, Lizzie, aku sudah tahu. Oke, maafkan aku sudah memaksamu mengatakan hal menyakitkan ini."

Dia menangkup wajahku, menghapus jejak air mata lalu mengecup kening dengan sayang. Emilia ikut menangis seperti merasakan apa yang kurasakan waktu itu. Ini bukan masalah bercinta biasa, melainkan harga diri yang diinjak-injak dan kepercayaan yang dihancurkan. Beruntung aku tak sampai mengakhiri hidup karena tahu mungkin Tuhan tak mau menerima nyawaku selagi tubuh ini masih kotor. 

"Lantas, bagaimana bisa dia melamarmu dan membuat kehebohan seperti ini? Apakah dia sedang memancing Billy keluar?" tanya Emilia.

Aku menggeleng tak tahu yang jelas sampai kapan pun Andre tak bisa dimaafkan begitu saja. Tuhan, bisa Kau tenggelamkan dia ke laut agar tahu bagaimana rasanya terhanyut dalam lautan terdalam berisi keputusasaan?

"Sekarang aku tanya padamu, Lizzie. Apa kau mencintainya sebelum malam itu?" 

Aku terdiam, sesenggukan mengatur napas sambil menyeka air mata dengan tisu di atas meja. Mendapat pertanyaan itu seketika sisa lain dalam diriku membuka lemari brankas berisi ratusan kenangan bersama si pria kopi. Senyumnya, perlakuan manisnya, bahkan kecupan-kecupan yang diberikan bagai pelangi yang menerangi awan mendung. Dadaku berdebar begitu juga desiran darah yang mengalir begitu cepat hingga menimbulkan sebuah sensasi aneh dalam perut. Meski raga Andre tak ada, brankas tentangnya mampu mengeluarkan aroma khas tubuhnya bersamaan suaranya yang menggema makin lama makin keras. 

"Wajahmu memerah," kata Emilia.

"Aku ..."

"Kau mencintainya, Lizzie," terka Emilia. 

Aku menggeleng ragu apakah ini cinta atau sekadar suka karena ada lelaki yang begitu memesona walau kadang sikapnya berubah menjadi bajingan kelas kakap. 

"Aku tahu ini mungkin tak dapat kau terima," ucapnya," Andre mencintaimu dan ingin melindungimu dari dia. Tapi, cara yang diberikan tidak dapat kau terima karena melewati batas yang kau ciptakan kan?"

"Iya, benar. Em, aku tidak yakin kami akan bertahan hanya karena saling cinta. Bahkan aku juga tak percaya apakah Andre benar-benar melakukannya atas dasar cinta. Kau tahu tidak ada perempuan yang bisa bertahan lama dengannya, Emilia. Aku sadar diri, oke."

"Lalu kenapa dia dengan kegilaannya bisa membuat berita heboh jika tak ada rasa? Lizzie, tidak ada lelaki yang rela melakukan hal sejauh ini hanya untuk membuat kehebohan. Kau tahu, dia adalah pusat perhatian tapi dia menjadikanmu pusat perhatiannya, Lizzie. Dan menurutku ... ada baiknya jikalau kau menerima kembali hatinya sebagai bentuk perlindunganmu dari Billy."

"Maksudmu?" Sekarang aku tidak mengerti apa yang dikatakan Emilia. 

"Billy menghampirimu karena kau terlalu bebas hidup sendiri di apartemen, tapi jika kau bertunangan dengan Andre dan pindah ke penthouse yang sialan mewah itu. Kau akan aman. Kau tahu kan dia memiliki pengawal pribadi?" kata Emilia terasa berapi-api. "Dan aku yakin dia juga memiliki koneksi dengan para petugas keamanan kota."

"Em ... aku tidak bisa ..."

"Aku tidak memaksamu hanya memberimu sedikit peluang," ujarnya mengerlingkan mata.

###

Di sini ramai tapi kenapa dalam bola mataku semua terasa sepi? Padahal di depanku Lily sedang bernyanyi lagu I Have A Dream milik Westlife seraya membawa sendok sup sebagai microphone imitasi, sementara ayah tiriku bertepuk tangan bersama ibu. Emilia malah merekam mereka melalui ponsel sambil sesekali mengarahkannya padaku. Satu kursi di bagian kiriku kosong, seharusnya jika Andre masih menginap di sini maka dia akan menempati kursi kayu itu. 

Lalu muncul bayangannya tengah menikmati hidangan yang dimasak ibu sambil memandang antusias ke arah Lily. Bibirku ikut tersenyum tipis kala sebelah tangannya membelai wajah dan menyuruhku untuk bernyanyi. 

I have a dream ...

A song to sing ...

Hatiku mendadak bergetar lagi, sesuatu dalam perut itu membumbung hingga ke diafragma, mendesaknya sebentar sebelum keluar menjadi jutaan kupu-kupu pembawa kasih sayang. Lantas alam bawah sadarku berteriak bahwa aku bodoh masih egois tidak mengakui jikalau memiliki secuil rasa untuknya. Seberkas bayangan diriku mengenakan gaun putih pengantin lalu menerima kecupan bibirnya menari-nari di kepala. 

"Aku mencintaimu," gumamku memandang ke arah kursi kosong itu. 

"Kau bilang apa, Lizzie?" Emilia mengernyitkan kening membuat Lily berhenti bernyanyi. 

Dunia seolah kembali berdetak, aku gelagapan bukan main ketika Emilia menepuk pundakku cukup keras. 

"Aku sudah tahu jawaban yang kau tanyakan tadi siang," kataku pada Emilia. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro