Chapter 38

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Siapa yang tidak tergoda dengan pesonanya? Kulit sedikit tan itu tampak eksotis manalagi lipstik merah di bibir sensual nan penuhnya mengembang membalas sambutan orang-orang. Rambut blonde yang terurai panjang juga bahu telanjang di balik blus biru bermotif vertikal yang dipakainya menampakkan betapa mulus kulitnya itu. Dia berdiri menjulang tinggi bagai bunga mawar yang hadir di tengah-tengah rerumputan tuk mengundang banyak kupu-kupu hanya untuk menghisap nektar. Mungkin sebutan itu cocok untuk Angelina Smith. Perempuan yang sialnya adalah mantan kekasih Andre. 

Sejak kapan Andre memiliki hubungan jangka panjang? batinku kesal. Maksudku, selama ini info dari berbagai berita di media sosial menjelaskan kalau Alexandre Jhonson bukan tipikal lelaki yang bisa bertahan dengan satu perempuan sampai akhirnya memutuskan bertunangan denganku. Bodohnya, kenapa aku melewatkan nama perempuan satu ini? Dia adalah model majalah yang sudah melalang buana di negara-negara Eropa, namanya saja menyiratkan kalau Angelina wanita berkelas yang tidak dapat diabaikan begitu saja oleh ratusan pasang mata, termasuk Andre. 

Jangan olok aku kalau ada rasa cemburu yang datang. Tidak! Aku tidak cemburu sama sekali. Untuk apa memendam amarah pada lelaki yang tidak bisa dipegang ucapannya? Lagi pula aku hanya sebal saja mengapa Andre masih memberikan kesempatan pada Angelina Smith untuk bekerja sama. Bukankah sebagai mantan kekasih seharusnya mereka saling menjaga jarak? Selain itu, kenapa Andre tidak menceritakan padaku kalau Angelina akan datang?

Ingin rasanya aku mencolok mata Andre dengan ujung heelsku!

Aku dan Clara hanya mengamati dari jauh. Dadaku rasanya bergemuruh seperti ombak yang mengamuk di tengah lautan dan mampu membalikkan sebuah kapal besar. Cih! Tidak ada yang menyambutku semanis Angelina Smith padahal aku manajer baru mereka. Kulirik Clara yang tersenyum-senyum sendiri melihat pesona Angelina Smith sampai wajahnya merona. Oh ayolah ... apa aku harus pulang dan meringkuk dalam kamar?

Merasa diperhatikan, mata biru terang yang nyaris sama dengan warna yang dimiliki Andre berpaling ke arahku. Dia melambaikan tangan lantas bergegas mendekatiku dengan langkah panjang di atas stiletto hitam. Tentu saja secara 'terpaksa' demi reputasi seorang Elizabeth Khan melempar senyum ramah ke arah perempuan itu. Ketika Angelina Smith berdiri menjulang tinggi di depanku, auranya langsung membekap seperti tidak memberi ijin untuk bernapas sebentar. Aroma tubuhnya yang semanis permen terendus di hidung bagai sepiring cupcakes.

Aku menelan ludah. Entah kenapa merasa minder dengan gadis itu. Api yang menggebu-gebu dalam diriku seketika padam berganti sesuatu yang membisikkan bahwa pesona Angelina Smith tak akan bisa kukalahkan. Dia adalah mantan Andre yang 'normal' tanpa masa lalu pahit sepertiku. 

"Selamat siang," sapanya dengan suara begitu lembut menyalami tanganku.

"Selamat siang, Nona Smith," kataku nyaris saja meleleh. Tuhan, tangannya lembut sekali. Apakah semua model akan memiliki kulit sehalus pualam?

"Kuucapkan selamat atas pertunanganmu. Sayang sekali Andre tidak mengundangku ke pesta kalian." Dia menatapku sejenak ddengan tarikan tipis di sudut bibirnya. "Padahal dulu kami begitu dekat bukan?"

Dia tertawa diikuti orang-orang yang mengelilingi kami. Seolah-olah ucapan itu menekankan bahwa ada sesuatu yang istimewa yang telah terjadi di antara mereka. Selain itu, aku merasa dia mengatakan kalimat tadi seperti ingin mengejek dan melempariku dengan sebongkah kotoran sapi. Hanya saja caranya begitu halus seperti nada gurauan di dalamnya membuat orang-orang tak sadar bahwa Angelina Smith tengah memainkan peran antagonis. Aku melepas jabatan tangannya merasa kesal dan ingin menangis.

Jangan kalah dengannya, Lizzie! Kau bisa membanggakan Andre di depan mantannya kan?

"Karena Andre ingin pesta secara private untukku. Maaf kami tak sempat mengundangmu walau kau sangat dekat dengan tunanganku," balasku mengunci tatapan kami.

Skak mat!

Bibir sensual Angelina langsung terkatup rapat. Beberapa saat dia memandang lurus seakan ingin menusuk mataku dengan garpu. Kalau tidak dibalas seperti tadi, pastinya aku akan menjadi bahan bualan di tempat asing yang benar-benar ingin kutinggali. Manalagi dua perempuan yang berpapasan di lantai tiga tengah berkusu-kusu entah membicarakan apa. Apakah mereka memihak Angelina? Atau sedang kagum dengan sikapku?

Angelina menyunggingkan seulas senyuman lalu terbahak-bahak padahal tidak ada yang lucu. Dia berkata bahwa dia memang tidak sempat datang karena ada pemotretan di Paris untuk beberapa koleksi baju musim gugur bersama beberapa model ternama lain. Kemudian dia merangkul tubuhku erat dan berbisik,  

"Dan aku tak menerima pertunanganmu, Elizabeth Khan."

Fuck! Kau punya rival, Lizzie!

###

Suara Andre seperti sekumpulan lebah yang berdengung di telinga ketika dia bercerita tentang Angelina Smith yang datang tanpa memberi kabar. Menggunakan alibi 'pertemanan dilandasi bisnis' Andre masih berceloteh tentang keuntungan yang didapat. Mengabaikan hot gossip yang merebak atas kedatangan Angelina Smith ke Manhattan dan mengunjungi spa milik si pria kopi. Ada yang menyebutkan kalau si cantik berdarah Spanyol-Kanada itu berhati mulai mau menerima kenyataan bahwa Andre sudah memilihku sebagai calon istrinya. Namun, di sisi lain ada berita yang menyudutkanku kalau Angelina Smith dirasa lebih pantas bersanding dengan si pria kopi.

Tentu saja kenyataan satu itu tidak salah. Angelina Smith dengan segala kesempurnaannya mana mungkin ditolak pria. Sementara aku? Lihat saja kondisi mentalku yang kadang naik-turun bagai roller coaster, belum lagi tubuhku tak sesintal sang model, jadi tak mungkin kan Andre bakal bertahan menyandang status sebagai tunangan Elizabeth Khan?

Atau dia ikutan gila sepertiku. 

"Suasana hatimu makin buruk, padahal cuaca cerah," ucap Andre melajukan Audi silver miliknya melintasi 5th Avenue. "Kau masih cemburu?"

Aku memilih menahan rentetan kalimat untuk tidak menyemburnya dengan omelan. Biarlah dia mencerocos sendiri daripada menanggapi dengan hati panas. 

"Kau cemburu," tandas Andre lagi.

"Kubilang aku tidak cemburu, Mr. Jhonson. Aku hanya tidak suka gadis itu menjadi model produkmu!" protesku tidak terima. 

"I see ... segelas es krim sepertinya cocok untuk mendinginkan kepulan asap di kepalamu, Lizzie," tukasnya sambil terkekeh membelokkan kemudi menuju E7th street di mana ada sebuah bangunan kedai es terkenal yang disebut Andre sebagai surga es krim. 

Tak lama sebuah bangunan ruko bercat putih pudar seperti tak terawat bertuliskan Van Leeuwen Ice Cream terlihat. Walau begitu kedai es krim yang katanya terenak di Manhattan ini tampak ramai. Beberapa orang tengah duduk di bangku kayu depan toko sementara di belakangnya dinding kaca juga memperlihatkan lelaki tua bersama dua anak-anak menikmati es krim yang terasa menyegarkan di tengah cuaca dan hati panas seperti sekarang. Andre menepikan mobilnya perlahan-lahan dan mematikan mesin ketika aku berpaling dan berseru, "Kubilang aku tidak mau ke sini!"

"Keluarlah, Lizzie." Dia memerintah tanpa menanggapi penolakanku, berjalan cepat untuk membukakan pintu mobil dan menyiratkanku keluar dari sana. "Jika kau tak menuruti perkataanku, aku bisa menyeretmu keluar. Berhentilah kekanakan!"

Cih!Bossy sekali!

Sudut bibirnya terangkat sedikit manakala akhirnya aku keluar sambil melempar tatapan sinis. "Bagus."

Mendahuluinya masuk ke dalam toko, aku disambut pemandangan klasik bagai diajak masuk ke awal tahun 2000-an. Setidaknya menurutku seperti itu. Kuris-kursi tinggi berpelitur cokelat dipadankan dengan meja bar. Sementara di sisi lain, ada kursi bercat kuning untuk orang-orang yang tidak ingin menikmati es krim berlatar depan jalanan padat. Tembok di sini juga bercat putih pudar nyaris mirip abu-abu, berhias beberapa papan tulis bergambar es krim Van Leeuwen sedang diskon khusus musim panas. Sebelah kananku ada dua mesin pendingin berisi cup es krim aneka warna dan rasa yang siap dikemas dan dimakan di rumah. 

Andre menarik lenganku menuju seorang perempuan berpotongan pendek dengan tindik hidung dan lipstik neon. Meski penampilannya nyentrik, wajahnya melemparkan ekspresi ramah dan menunjukkan beberapa menu populer maupun menu baru di papan besar yang memanjang di belakangnya. 

"Mungkin mau mencoba edisi khusus kami, Tuan? Ada Honeycomb ice cream with toasted walnuts and cone atau Bourbon vanilla apple crisp?"

"Keduanya saja," pinta Andre lalu menoleh kepadaku. "Aku sudah memesan untukmu, Lizzie." 

Aku mendengkus dan mengomel dalam hati. Bahkan dia tidak menanyakanku apa yang kuinginkan tapi ... ya sudahlah, aku sedang marah padanya tak perlu berbicara banyak juga kan? Toh semua es krim rasanya juga itu-itu saja. Mereka hanya dibedakan dari bahan dasar juga perisa yang menaikkan sensasi di lidah. 

Selesai membayar, Andre merangkul bahuku namun berhasil kutepis dan berjalan menuju salah satu sudut. Mendudukkan diri di kursi dan menyandarkan punggung sambil bersedekap. Enggan melihat dirinya yang menarik kursi tepat di sampingku. 

"Semakin kau marah, semakin aku ingin menciummu," ucapnya. 

"Dan semakin aku ingin menusuk matamu dengan garpu," balasku. "Kau sering ke sini?"

Dia menggeleng, melengkungkan bibirnya ke bawah. "Tidak. Ini pertama kali."

Aku menaikkan alis, menelengkan kepala. "Lalu tahu dari mana tempat ini?"

"Aku sering lewat saja. Lagi pula tempatnya cukup nyaman." Kedua mata birunya menatap sekeliling dan berhenti pada dua anak-anak tadi yang masih menikmati scoop es krim bersama lelaki tua. Dia menopang dagu dengan tangan kiri yang sialnya pemandangan di sampingku ini seperti sebuah mahakarya Tuhan yang ditunjukkan langsung padaku. Beberapa detik terhipnotis, dewi batinku memaki dan menyadarkan bahwa tidak boleh terlena dalam pesonanya yang menawan.  

Sadarlah bahwa kau masih marah padanya, Lizzie! Jangan terjebak ketampanan Andre!

Tak lama pelayan tadi datang membawa pesanan di atas nampan cokelat. Dia menaruh dengan hati-hati dua mangkuk es krim yang terlihat menggiurkan. Boleh jadi tempat ini klasik dan terasa hidden game, namun aku yakin rasanya pasti tak kalah saing dengan kedai terkenal lainnya. Manalagi potongan kenari juga siraman madu seperti bom fantastis di lidah. Aku penasaran dengan rasanya sekarang. 

"Selamat menikmati."

"Terima kasih," kataku menarik es krim itu. Eh, tadi apa nama menunya?

Begitu menyendok dan memasukkannya ke mulut, rasa es krim  ini langsung pecah. Manisnya terasa pekat namun seimbang dengan renyah kenari panggang yang gurih. Ditambah potongan apel yang segar ketika dikunyah. Pantas saja menjadi best seller, pikirku. Es krim ini langsung menaikkan endorfin dalam tubuh, mendinginkan sensasi panas dalam hati dan sejenak melupakan sosok Angelina Smith dalam kepala. 

"Jadi?" Andre menatapku sambil menyendok es krimnya.

"Apa?" tanyaku tanpa menatap dirinya. 

"Dirimu. Kenapa tiba-tiba marah padaku? Apa karena Angelina Smith?" tebak Andre langsung to the point. "Aku sudah menjelaskan bahwa hubungan kami sekadar teman bisnis. Aku butuh dia untuk menaikkan penjualan produkku. Dan dia butuh aku untuk ... kau tahu kan, panjat sosial di tengah persaingan?"

Aku terdiam mencoba mengalihkan pandangan ke luar dinding kaca memandangi jalanan lengang. Mendengar namanya disebut dari mulut Andre membuat perasaan kesal itu muncul lagi. Tapi sebenarnya, aku tidak tahu perasaan apa yang menggelayuti benak. Kenapa aku begitu merasa kesal saat melihat Angelina Smith padahal hubunganku dengan Andre pun tidak bisa dibilang manis. Selain itu, rasa dongkol yang menjalar menjadi kecemburuan sosial berdatangan ketika beberapa orang memperlakukan Angelina bagai ratu padahal akulah atasannya.

Sayangnya, tidak semua orang mau menerimaku seperti halnya di Jhonson Corp.

Aku menghela napas saat Andre menyentuh kulit jemari kiriku, menatap lekat menanti jawaban tak sabar. 

"Aku tidak apa-apa," kataku lirih.

"Dibalik tidak apa-apa itu ada apa-apa, Baby. Aku tahu itu, kau hanya harus jujur padaku," pintanya terdengar seperti tuntutan.

Aku menggeleng lalu menarik jemariku untuk menyendok es krim yang mulai meleleh.

"Aku tahu kau cemburu padanya. Tapi kau harus ingat bahwa aku hanya menyayangimu sepenuh hatiku, Ms. Khan," tandasnya tegas.

"Tapi sebelumnya kau dekat dengannya. Itu yang membuatku tak suka," ujarku sepelan mungkin. 

Ekspresi Andre sedikit terkejut bahkan kulihat mulutnya sedikit terbuka. Dia menutup bibirnya rapat namun menarik seulas senyuman yang begitu tipis. Ah, sial kau Lizzie! Apakah dia bakal mengartikan kekesalanmu menjadi sebuah tanda sayang? 

Jangan harap!

"Dengar, Mr. Jhonson. Aku hanya tidak suka orang-orang membandingkanku dengan mantan kekasihmu itu. Di internet, mereka membicarakan kalian berdua sebagai pasangan serasi seolah melupakan aku yang baru saja kau lamar beberapa hari lalu."

Tak terasa air mataku menetes. Dadaku terasa begitu sesak seperti terimpit sebuah batu besar bahkan untuk menghirup oksigen di ruangan ini pun kesusahan. Aku ingin berteriak di depan semua orang bahwa aku tidak suka dibandingkan dengan orang lain. Rasanya seperti menelan ribuan jarum hingga mulut berdarah. Aku tidak bisa menutupi kesedihan yang makin lama makin mencekik leher. Siapa yang tidak akan cemburu melihat orang-orang lebih antusias dengan masa lalu Andre? 

Aku menunduk memandangi mangkuk es krim tak berani memandangi Andre, sementara tanganku gemetaran untuk menyendok kenari juga potongan apel. Jika seperti ini, aku merasa diriku pecundang yang pantas dilempari telur. Seorang perempuan munafik yang tak mau mengakui kalau ada selipan perasaan yang telah tumbuh dan makin membesar. 

"Aku paham." Dia mulai bicara, menarik daguku dengan tangan kanannya dan menghapus jejak basah yang terlanjur membanjiri pipi. "Jangan dengarkan mereka yang tidak tahu apa pun tentang kita, Sweet cake. Yang perlu kau tahu, aku hanya jatuh cinta padamu, itu saja, Lizzie. Angelina hanya masa lalu yang tidak perlu kau gubris."

"Tapi kalian tetap saja memiliki masa lalu yang sama," timpalku terbata-bata.

"Setiap orang berhak memiliki masa lalu tak peduli itu kenangan manis atau pahit. Yang terpenting bagiku sekarang ada dirimu di depanku dan masa depan kita berdua."

Aku tertawa mendengar rayuannya itu. Buku mana yang dibacanya hingga dia bisa merangkai kalimat semanis madu?

"Maafkan aku, Baby. Maaf telah membuatmu cemburu." Andre tersenyum sambil jemarinya menyapu bibirku lembut. "Bagaimana jika besok setelah kerja kita kencan saja?"

"Ke mana?" tanyaku penasaran.

"Rahasia." Dia mengerlingkan mata sembari melempar senyum penuh arti.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro