Chapter 39

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Betapa menyenangkannya berendam air hangat dengan aroma stroberi juga musik klasik mengalun merdu memenuhi kamar mandi. Serasa memiliki dunia sendiri, aku mengamati langit-langit kamar mandi dalam diam dan menelaah kembali betapa kekanakan rasa cemburu yang sempat menguasai diriku. Dan jujur saja itu bukan benar-benar seorang Elizabeth Khan yang biasanya masa bodoh terhadap laki-laki sekali pun mereka jungkir balik sepanjang Central Park. Namun, bersama Andre, duniaku berotasi menemukan orbit tersendiri bahwa ada manusia seperti dirinya yang menganggap bahwa masa lalu hanyalah masa lalu yang tidak perlu diungkit kembali. Bahwa rasa cemburu yang ditangkapnya dari raut mukaku tadi seperti pesan sayang yang tidak akan dia lewatkan. 

Dasar aneh!

Sepanjang perjalanan pulang tadi, dia terus menekankan kalau hubungannya bersama Angelina Smith hanyalah sebatas rekan bisnis. Dia juga jarang bertemu mantannya karena Angelina lebih suka tinggal di Paris sebagaimana pekerjaan perempuan tinggi itu sebagai model papan atas. Gadis itu hanya terbang ke Amerika untuk urusan pekerjaan atau terkadang sekadar berlibur dari penatnya dunia entertainment. 

"Wah, betapa perhatiannya dirimu, Mr. Jhonson sampai hafal semua jadwalnya," ledekku makin kesal. "Sejauh mana kau memerhatikannya? Apa kau juga hafal apa yang dia sukai?"

Memijat pelipis yang terasa nyut-nyutan sambil mendecak kesal, harusnya aku tidak terlalu menunjukkan rasa dengki pada mantan Andre. Yang ada justru dia makin besar kepala jika tahu hati ini mulai terikat dengannya. Bahwa diri ini juga tertarik pada pesona Andre yang tidak bisa ditolak oleh wanita mana pun. Ah, mungkin aku harus lebih pandai menyembunyikan perasaan ini. Permainan tarik ulur yang kujalani ada baiknya juga untuk menilai sebera jauh dia serius mencintaiku. 

Aku tidak salah kan?

"Aku memang mulai gila," keluhku menenggelamkan diri pada bathup untuk mencari ketenangan. 

"Lizzie!" jerit Andre mengagetkanku dan buru-buru menarik badanku keluar dari air. "Astaga!"

Air tumpah ruah ke lantai bagai menghantam karang dan sialnya lubang hidungku tidak sengaja kemasukan air. Kontan saja aku terbatuk-batuk, mengumpat kepada Andre yang mendadak muncul tanpa permisi. Seraya menyilangkan tangan di dada, refleks indra pernapasanku masih berusaha mengeluarkan air sampai seluruh pembuluh di kepala rasanya menegang. Bagai ikan yang menggelepar karena kehabisan udara, aku mengambil oksigen sebanyak mungkin bak manusia serakah. Melempar tatapan nyalang ke arah wajah pria tanpa dosa itu. 

"Keluar!" teriakku murka mengetahui dirinya melanggar batas wilayah seraya menunjuk pintu kamar mandi yang terbuka.  "Apa kau tidak baca peringatan di kamarku, huh!"

Dia terdiam beberapa saat lalu berpaling ke belakang mencari sesuatu. "Secara teknis aku melihatnya dan mengabaikannya. Aku sudah terlalu lama menunggumu dan kupikir ... kau ..." Ekspresinya berubah khawatir bercampur rasa takut jika mendapatiku mungkin akan melakukan percobaan bunuh diri lagi.  

"Aku hanya ingin berendam dengan tenang dan tanpa gangguan, Andre, please!" elakku menepis anggapan buruknya. "Aku tidak akan menyiakan nyawaku lagi, oke. Berhentilah menjamah batasku, Andre."

"Semua tempat di sini adalah rumah kita, tidak ada larangan bagiku untuk menelusuk masuk ke sini," kilahnya seraya menyugar rambut setengah basah dan merapikan kembali kaus putih yang terkena cipratan air. 

Tentu saja sorot mataku langsung mengarah ke pahatan otot perutnya yang indah, ketika dia menyingkap sedikit untuk mengeringkan mukanya. Sial sungguh sial, pemandangan tersebut rasanya tidak ingin kuakhiri namun harga diriku terlanjur tinggi dan tidak mungkin aku menyuruh Andre melepas baju hanya untuk menikmati keindahan yang diukir Sang Pencipta. Aku menelan ludah, buru-buru membasuh muka dan berseru, 

"Rumahmu bukan rumahku, Andre. Keluarlah! Aku sedang berendam!"

"Baiklah-baiklah," tandasnya bergegas keluar tanpa menutup pintu. "Aku tunggu kau di sini, Lizzie!"

 Hilang sudah minatku untuk berelaksasi lebih lama. Aku paling tidak suka ditunggu karena itu bisa membuatku gugup. Tidak bisakah dia memberi ruang dan tidak menggangguku selama satu hari saja? Apakah dia ingin melihatku tanpa baju atau bagaimana? Dasar mesum!

"Pergilah!" teriakku. 

"No! Aku lebih suka berada di atas ranjangmu, Sayang!"

###

Betty--pengurus penthouse--yang pernah kutemui saat pertama kali berada di sini melempar senyum seraya menuang creamy bacon chicken pasta yang baru matang ke piring saji, ketika aku mendekatinya untuk membuat koktail di pantry. Sementara Andre duduk di kursi bar, bertopang dagu dan memuji masakan asistennya sambil mengamati diriku. Tanpa berkedip. 

Ya Tuhan ... 

Aku tak menanggapi ocehan lelaki itu karena masih kesal dia menerobos pintu kamar dan merusak suasa hati. Berendam adalah hal yang sangat ingin kunikmati dalam beberapa menit sampai satu jam karena setidaknya berada dalam air hangat mampu menetralisir semua pikiran negatif yang menghampiriku. Tapi, dia merusak semuanya dan itu benar-benar membuatku jengkel. 

Sorot mataku teralih pada menu makan malam yang diolah Betty. Mengingatkan akan hasil masakan ibuku di rumah lalu kami duduk di ruang makan sembari bersulang dengan gelas-gelas berisi wine. Kemudian dilanjut bercengkerama di ruang tamu di depan perapian yang menyelimuti kami di tengah cuaca dingin. Ah ... betapa menyenangkannya saat-saat itu. Walau ... sebagian besar senyum ibuku sekarang ini karena William yang memberikan cinta tanpa batas padanya. Dulu, aku sempat cemburu mengapa ibu begitu cepat melupakan ayahku. Tapi, sekarang aku paham bahwa ibu membiarkan luka dalam hatinya mengering dan menerima masa lalu yang pernah menimpa kami. 

Dia selalu berkata bahwa setiap badai datang akan selalu diakhiri pelangi?

Aku merindukan ibuku.

Aroma bacon dan keju parmesan terendus di hidung, meningkatkan rasa lapar yang meraung-raung. Mungkinkah rasa cemburu terhadap Angelina Smith bisa menguras energiku sebanyak ini? Sampai-sampai aku membayangkan setelah makan malam, mungkin memangku semangkuk pop corn atau kentang goreng yang dibaluri saus dan mayones adalah ide bagus. 

 "Kelihatannya enak," pujiku tulus.

"Hanya memadukan bumbu sederhana saja, Ms. Khan. Yang membuatnya terasa lezat adalah keju dan oregano kering," tandas Betty sambil mengibaskan tangan karena malu. "Anda membuat koktail?"

"Makan malam tanpa koktail rasanya hambar, ginger cocktail kurasa pas untuk makan malam hari ini," ucapku mengacungkan gelas koktail dari lemari penyimpanan. Beberapa saat alisku menyatu mengapa tanganku begitu hafal di mana letak barang-barang yang ada di sini seakan-akan sudah sering menginap. Apakah separuh jiwaku betah berada di penthouse milik si pria kopi?

"Saranku, tambahkan dark rums yang aroma karamelnya kuat dan sedikit perasan jeruk nipis," ucap Betty. "Pernah dengar minuman klasik Dark n Stormy?" 

"Betty ahlinya," sahut Andre sambil geleng-geleng kepala. "Kalian harus tahu bahwa aku tidak begitu menyukai bir jahe atau apa pun yang berbau jahe."

Aku memutar bola mata lalu bertanya kepada Betty berpura-pura mengabaikan kehadiran Andre di hadapan kami., "Apakah kau mendengar sesuatu?"

Betty melirik ke arah Andre sambil menahan senyum. 

"Tidak kan? Mau kubuatkan satu lagi, Betty?" tawarku. 

Perempuan paru baya yang rambutnya keperakan tersebut makin terpingkal-pingkal hingga pipinya kemerahan bagai apel matang. Dia mengangguk mengiyakan tawaranku lalu berkata, "Kalian seperti anak-anak saja."

"Baiklah, dua ginger cocktail," kataku mengambil satu gelas kaca lagi tak memedulikan komentarnya. 

"Aku tidak suka jahe, Lizzie." Suara Andre menyahuti dan merajuk seperti anak kecil.

Aku menoleh ke sekeliling. "Apa Anda mendengar suara aneh itu lagi?"

Andre memicingkan mata, mendengus kesal lalu beranjak dari kursinya ketika aku bergerak untuk mengambil bahan-bahan lain di lemari sebelah kulkas. Dalam hati, aku juga tertawa melihatnya merajuk seperti itu. Sangat lucu. Lihat saja mukanya ikut memerah dan lubang hidung yang membesar seakan-akan ingin menyedotku masuk ke dalam sana. 

Mendadak sepasang lengan kekar melingkari pinggangku tanpa aba-aba, membuatku memekik terkejut. "Andre! Lepaskan aku!" 

"Tidak mau! Kau membuatku kesal!" serunya. "Betty, perlukah aku menyeret gadis pembangkang ini ke ruang bawah tanah?"

"Betty! Tuanmu gila!" pekikku antara geli, malu, dan jengkel. Oke, Andre memang bisa membuat semua perasaan tercampur aduk menjadi satu. 

"Memang. Sudah tahu aku tidak suka jahe kenapa kau membuatkan minuman aneh itu?" elaknya membela diri.

"Bukan untuk dirimu, ini untukku dan Betty. Kau buat minumanmu sendiri saja," ketusku.

Dia tertawa lalu menggosok-gosokkan hidung lancipnya di bahu belakangku membuatku tertawa geli. Ya Tuhan ... kenapa dia begitu menyebalkan?

"Let me go, Andre. Ada Betty di sampingmu," tandasku menyerah.

"Aku tidak peduli, ini kan rumah kita," balasnya santai. 

"Akan kubiarkan kalian berdua di sini," timpal Betty salah tingkah.

Bibirku memanggil nama sang asisten rumah tangga dengan tangan menjulur ke depan tak rela dia pergi begitu saja. Sementara Andre makin mengeratkan pelukan dan memberikan ciuman lembut di puncak kepalaku. Dia berbisik bahwa tidak ada yang akan menganggu dan tidak akan memedulikan siapa pun yang lewat. 

"Kau kesal padaku bukan?" tanyanya terdengar bagai bisikan. 

"Kau tahu jawabannya," balasku merasakan tangan Andre membelai perutku. 

"Aku minta maaf, Lizzie," ucapnya menopang dagu di bahu kiriku. "Aku takut kehilanganmu, itu saja. Selebihnya ... aku minta maaf." Dia mencium leherku, mengirimkan jutaan gelenyar yang kini berputar-putar dalam lambung serta memunculkan jutaan kupu-kupu yang hendak keluar dari dalam sana. Tubuhku nyaris meleleh seperti lilin yang terlalu menerima banyak panas dalam waktu singkat. 

Bibirku terbungkam tanpa bisa membalas ucapannya, hanyut dalam sentuhan yang dia berikan. Jemarinya kini menumpu jemariku menyalurkan sebuah kehangatan yang mengalir di setiap pembuluh darah. Memejamkan mata, merasakan denyut nadi kami berirama ketika Andre mencium bahuku sambil berbisik membuat seulas senyum samar terbit di wajahku. 

"Aku mencintaimu."

Jika seperti ini bagaimana bisa aku menahan perasaanku? Bahkan rasa benciku perlahan memudar karena perasaanmu padaku.

Bahkan rasa cemburu itu ... menghilang...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro