Chapter 40

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

'You always act this way for how many times I told you. I love you for this is all I know.'

-David Archuleta-

Menjadi atensi bagi seorang introvert adalah hal yang paling tidak menyenangkan. Ratusan pasang mata masih saja mengarah padaku. Lebih tepatnya tangan kananku yang digenggam erat oleh si pria kopi manakala memasuki gedung Beauty Salon and Spa. Beberapa pegawai Andre menyapa dengan senyum merekah, tapi tidak dengan cara pandang mereka kepadaku. Terlihat palsu!

Semenjak Angelina Smith datang, sudah banyak desas-desus yang menghampiri telinga yang mengatakan bahwa Andre--pimpinan mereka yang sialan tampan itu lebih pantas bersanding dengan wanita normal. Bukan Elizabeth Khan si manusia pucat yang benar-benar tidak menarik dipandang. Entah dari mana sumber yang mereka dapat, mereka juga menambahkan kalau aku manusia sok suci yang tidak suka disentuh pria sebagai isyarat komunikasi terbuka. 

"Tapi, apa semua itu benar?" tanya Clara saat membantuku merekap beberapa laporan bulanan. "Kau--"

"Aku tidak mengelak. Memang itu kenyataannya," potongku kesal. "Meski begitu, kenapa aku yang lebih dipilih oleh bos kalian bukanya Angelina Smith yang jelas-jelas begitu memesona?"

"Tentu." Clara menaggukkan kepala salah tingkah. 

"Lebah tahu bunga yang memiliki banyak nektar sekalipun warnanya tidak mencolok, Clara," balasku. 

Andre berdecak kagum ketika kami sampai di ruang kerjaku yang tampak rapi dan sangat mencerminkan kepribadianku yang tertutup, katanya. Dia berjalan, masih tidak melepas genggaman tangannya sementara tangan kiri membelai permukaan meja berwarna senada dengan dinding. "Terkesan dingin," komentar Andre. 

"Itu warna-warna dari pemilik lama, jangan menyalahkanku seolah-olah kau mengenalku," ketusku. 

"Nyatanya aku memang mengenalmu sebagai wanita keras kepala, dingin, ketus, suka marah-marah," balas Andre kini bersandar pada pinggiran meja, merangkul pinganggku sambil menyingkirkan untai rambutku ke belakang. "Tapi, semua itu justru tampak menarik." 

"Tapi, orang memandangnya bahwa kau lebih cocok dengan mantanmu."

Andre tergelak lalu menangkup wajahku yang cemberut. "Kau cemburu?"

"Tidak. Kata siapa?" elakku mengalihkan pandangan. Sial! Kenapa pula lidahku terlalu berterus terang padanya? Apakah hati ini sudah tidak memiliki kendali lagi? 

"Aku akan merindukanmu, Lizzie," ucapnya lalu memberikan kecupan lembut di bibir. Membelai lidahku, menyalurkan hasrat yang tidak akan padam hanya dengan perdebatan kecil kami. Dia membuka dua kancing teratas blus pink yang kukenakan, menyingkapnya sedikit untuk meninggalkan jejak teritorial bahwa aku ini adalah miliknya. "Kau membuatku gila."

"Kau kekanakan," tandasku menepis tangannya dan merapikan penampilan sebelum dia membuatnya berantakan. Aku berdeham, menyembunyikan betapa cepat debaran dalam dada saat ini setelah mendapat pagutan erotis darinya. Bahkan aku masih bisa merasakan bibirku berkedut menerima gigitan Andre dan belaian lidahnya yang membuatku terlena untuk beberapa saat. 

Dan sialnya lagi, aku tidak bisa menolak!

Seketika dia tertawa lagi, menunjukkan bahwa ada kalanya dia bisa berlagak serius maupun tidak. Jika seperti ini, kurasa Andre jauh lebih muda ketimbang usia sebenarnya. Ya ... walaupun tidak bisa dipungkiri bagian kerutan di dahi lelaki itu menjelaskan kalau dia sering memikirkan beban-beban yang digantungkan di pundak. "Kenapa pria selalu serba salah?" tanya Andre. "Padahal aku ingin mereka tahu bahwa kau hanya milikku, duniaku, dan satu-satunya hal bisa kulihat, Cheese cake."

"Jangan merayu," protesku tak suka. 

"Itu fakta. Aku buta jika melihat perempuan lain selain dirimu." Dia menarik tubuhku lagi, menyilangkan kedua kakinya sehingga kini aku terperangkap dalam dekapan Andre. "Aku tak sabar untuk kencan," bisiknya begitu semangat seraya menggesekkan puncak hidunnya ke hidungku.

Dalam hati aku penasaran apa yang akan direncanakan Andre nanti. Apakah kami akan kencan keliling kota atau sekedar makan malam sembari menikmati lanskap Manhattan penuh cerita? Atau ... duduk di bawah pohon besar yang ada di Central Park sambil bermain gitar seperti waktu itu?

Dia mengecup kening lalu turun ke bibir seakan-akan ciuman tadi masih belum bisa membuatnya puas. Refleks tanganku terangkat hendak kupukul dada bidangnya. Namun, dia berhasil mencegah seperti bisa membaca isi kepalaku. Dasar cenayang!

"Padahal aku senang kau mengizinkanku menyentuhmu," kata Andre lirih sambil membelai lembut rambutku. 

"Aku memang tidak pernah mengatakannya," ucapku menatap lurus ke dalam iris mata biru samudra itu. 

"Karena kau tidak menolak," ucapnya terkekeh. "Apakah aku harus pindah ke sini saja?"

"Pergilah, Mr. Jhonson. Kita harus membuat ruang agar tidak terlalu mabuk akan khayalanmu," pintaku melepaskan diri dari pelukannya. "Kita akan bertemu sesuai rencanamu," tambahku mengerlingkan mata padanya. 

###

Tenggelam dalam banyaknya daftar tugas yang harus kuselesaikan sekaligus beradaptasi sebagai manajer baru di sini, membuat kepala terasa begitu pening. Seraya memijit leher yang terasa kaku akibat berjam-jam hanya mengutak-atik data, menelepon beberapa kolega, sampai mencatat ide-ide baru yang perlu didiskusikan bersama Clara. Kurasa secangkir kopi dan ekstra krim cocok untuk meredakan ketegangan. Aku mengangkat ganggang telepon dan meminta tolong di bagian office boy untuk dibuatkan kopi.

"Terima kasih," ucapku setelah mereka mengiyakan permintaan lalu memutus sambungan telepon. "Kenapa Andre tidak membuat organisasi yang lebih kompleks? Dia pikir bisnis seperti ini hanya bisa dikelola satu orang saja?" gerutuku kesal. 

Tidak berapa lama seorang pria bertubuh kurus dan berkulit tan datang membawa nampan berisi secangkir kopi panas yang mengepul. Membaurkan aroma menenangkan pikiran yang terendus di hidung. Pria bernama Terry itu melempar senyum kemudian meletakkan pesananku di atas meja lalu berkata, "Senang bertemu dengan Anda, Ms. Khan."

"Trims," kataku tulus. "Senang bertemu denganmu juga Terry."

Selepas dia pergi, aku langsung menyeruput kopiku lalu memeriksa beberapa email terkait pengajuan barang-barang yang kemungkinan habis berdasar data-data di excel. Beberapa saat, aku termangu, memiringkan kepala mengamati layar komputer yang menampilkan lembar barang-barang keluar dan masuk. Jika berdasarkan data di sana, terkadang tidak akan sesuai dengan lapangan. Apalagi di sini pengelolaannya masih berantakan. Alhasil, aku beranjak dan membawa beberapa catatan ke gudang setelah membalas pesan teks dari Andre. 

Lizzie : Aku akan menunggumu untuk kencan :)

Gudang yang letaknya di ujung lorong dekat dengan gudang khusus penyortiran kardus dan botol bekas yang akan dikirim ke pengolahan limbah anorganik, namun masih satu lantai dengan ruang kerjaku. Begitu masuk aroma wangi dari bahan-bahan yang disimpan di sini membelai lubang hidung berbarengan suhu dingin membelai kulit. 

Rak-rak besi berjejer rapi membantuk labirin, ada satu meja dan satu kursi di sisi kiri dengan beberapa tumpukan buku juga satu kalender. Di belakangnya ada satu lemari kaca berisi map-map yang mungkin tertulis transaksi jual-beli maupun retur barang. Aku berjalan, mengamati satu demi satu label produk dalam catatanku, menghitung antara data excel dan yang ada di gudang. 

Benar kan?

Ada beberapa yang tidak sesuai kenyataan. Apakah mereka lupa mencatat atau ada seseorang yang mengambil demi keuntungan sendiri? Kurasa aku harus melaporkannya kepada Andre bahwa sistem yang dia terapkan tidak berjalan baik. Membebankan tanggung jawab besar pada satu orang itu ide buruk. Sebagai manajer baru, aku perlu asisten dan penanggung jawab tiap bagian agar pekerjaan terasa lebih mudah untuk diawasi. Termasuk barang-barang yang lama tidak laku dan nyaris kadaluwarsa juga harus segera dijual bagaimana pun caranya.  

"Untung masih tiga bulan lagi," gumamku menata botol sampo dan botol creambath. "Mungkin harus diadakan flash sale kali ya? Setidaknya kalau dijual dengan harga murah bisa laku kan?"

Kontak aku menoleh ke sekeliling merasa aura gudang mendadak aneh tanpa sebab. Aku berbalik lalu mengalihkan pandangan ke arah mesin pendingin yang masih menyala lalu berjalan perlahan merasakan ada seseorang tengah mengintai. Apakah itu Clara? Bisa jadi kan dia masuk tanpa permisi untuk mengambil sesuatu? Atau therapist dari lantai bawah?

"Clara?" panggilku memenuhi tiap sudut gudang. Suaraku terdengar gemetaran sementara jantungku berdentum seperti menabuh genderang sampai-sampai rasanya sakit. Bahkan aku bisa mendengar setiap tarikan napasku yang berat seolah-olah oksigen di ruangan ini bakal diserap sampai habis.  

Layaknya dalam adegan film aksi, kakiku seperti melayang ketika berjalan begitu perlahan agar tidak menimbulkan suara. Seluruh indraku langsung sensitif dan memasang ancang-ancang terhadap hal sekecil apa pun. Entah mengapa, aku merasa parno dengan isi kepalaku sendiri tentang potongan-potongan film yang bakal membunuh korbannya tanpa jejak. Pelan-pelan, aku menghampiri rak di mana kardus berisi cat rambut aneka warna berada di sana.

"Clara? Apa kau di sana?" tanyaku lagi.

Menengadahkan kepala untuk melihat setiap sudut langit-langit gudang untuk memastikan ada CCTV atau tidak. Sial! batinku. Kenapa Andre tidak memasang kamera pengawas? Apakah dia gila? Pantas saja barang di gudang dan di data tidak seimbang, kemungkinan besar ada orang lain yang memanipulasi data untuk mencari keuntungan dari bisnis salon milik si pria kopi. 

Aku harus mencari kebenarannya!

Tiba-tiba terdengar suara benda jatuh membuatku membalikkan badan. Sayang, tak sampai melihat siapa yang membuat kegaduhan, mulutku dibungkam paksa oleh seorang pria berpakaian serba hitam berserta masker juga topi untuk menyembunyikan identitasnya. Mataku membulat, jantungku serasa lepas dari rongga dada manakala dia mendorong diriku ke dinding begitu kasar. Aku ketakutan setengah mati jika orang asing tersebut menyentuh bahkan membunuhku saat ini juga. 

Berusaha mengelak sekuat tenaga, namun dia ternyata lebih kuat, apalagi kedua tanganku digenggam erat dengan tangan kirinya. Menghentikan paksa aliran darah di tangan sampai terasa kebas. Sial sungguh sial! Aku salah apa? Kenapa tidak ada orang yang memergoki dirinya masuk ke gudang? Bukankah aku terlihat seperti pencuri yang ketahuan mengambil barang diam-diam padahal aku sendirilah pemiliknya?

Aroma sandalwood bercampur mint menyergap hidungku langsung membuka kotak kenangan pahit yang sudah kukubur dalam-dalam di hati. Bola mataku makin membesar, kepalaku langsung pening saat gambaran di masa lalu datang membelenggu tanpa permisi tidak bisa membayangkan bahwa orang itu datang. Ekor mataku berusaha menangkap siapa orang di belakangku ini. Sialnya, perawakan si penyusup tidak bisa kulihat.

"Halo sayang," bisiknya tepat di telinga. 

Kontan nyawaku serasa dicabut mendengar suara yang sudah lama tak kudengar secara langsung kini berada di belakangku. Menyentuhku dengan tangan kotornya!

Uncle Bill!

Aku makin memberontak dengan isak tangis tak ingin kejadian di masa lalu kembali terulang. Berusaha menjerit, namun dia malah mengeratkan bungkaman di mulut sampai terasa sesak. Cengkeraman tangannya di tanganku makin kuat seperti ingin menghentikan aliran darah di sana. Air mataku merebak dan mengucur deras tapi pia itu justru terkekeh kegirangan. 

Bulu romaku berdiri ketika dia menghirup rambutku dalam-dalam lalu kurasakan ada sesuatu yang basah menjalari daun telinga kananku. Dia menjilatku dengan lidahnya penuh nafsu. Aku makin histeris bagai orang kesetanan. Yang ada dia malah bahagia di atas penderitaanku, bahagia pula dia berhasil membuka luka lama yang sampai detik ini belum bisa hilang tanpa bekas.

"Ssst ... diam," bisiknya terkesan memerintah. "Jika kau diam aku akan membiarkanmu hidup, Lizzie."

Tubuhku gemetaran bukan main, tungkaiku sudah tak bertulang lagi menerima perlakuan tak senonohnya itu. Dia bergerak, melihat ekspresi wajahku lalu bertanya, "Kenapa menangis, Sayang? Apa aku menyakitimu, Lizzie? Uncle tidak pernah menyakitimu, Sayang. Uncle memberikan surga kepadamu, Sayang."

Aku menggeleng berusaha mengeluarkan kalimat umpatan padanya, namun suaraku tertahan dengan tangan besar yang tertutupi sarung tangan tebal. 

"Kau tahu betapa rindunya aku untuk tidak menyetubuhi dirimu, Eliza?" desahnya sambil menyeringai. "Ckckck ... bagaimana bisa kau begitu mirip dengan ibumu? Kecuali matamu yang mirip George itu? Aku tidak suka."

Dia mengendus rambutku yang basah karena keringat dengan hidung lancipnya, lalu merambat turun ke pipi kananku. Aku memejamkan mata menahan aroma alkohol bercampur rokok yang membuatku mual. 

Please! Lepaskan aku!

"Aku benci George. Dia merebut ibumu dariku. Sekarang aku membenci kekasihmu karena dia merebutmu dariku tapi..."

Belum sempat dia menyelesaikan kalimatnya, tiba-tiba suara ponsel berdering. Uncle Bill berdecak kesal sambil menggerutu tidak jelas tanpa menerima panggilan telepon itu. Mungkinkah itu isyarat? Apakah dia datang ke sini bersama orang lain dan mengawasi pergerakannya di luar?

"Waktuku habis. Aku akan menemuimu lagi, Eliza. Sejauh apa pun kau pergi dan bersembunyi, i'll find you."

Brukk!!!

Brukk!!!

Brukk!!!!

Tanpa ampun, dia membenturkan kepalaku ke dinding beberapa kali tanpa memberiku kesempatan untuk berteriak meminta tolong. Tubuhku merosot, ambruk ke lantai gudang dengan rasa nyeri di kepala. Merasakan ada cairan hangat keluar dari sela-sela rambut menuruni kening dan batang hidungku. Pandanganku mendadak buram ketika langkah kaki uncle Bill bergerak keluar dengan tergesa-gesa, menutup pintu gudang seolah-olah tidak terjadi apa-apa. 

Jemariku hendak meraihnya, namun kalah dengan sensasi hebat yang menggerayangi kepala. Bahkan untuk meraih rak barang saja tubuhku tidak kuat. Dadaku terasa begitu sesak hingga kini tak mampu berteriak meminta tolong. Mataku semakin berat sementara darah di kepalaku rasanya juga tidak mau berhenti. Aku menangis dalam diam, meratapi kenapa hidupku seperti ini.

Aku takut. Aku butuh Andre. Aku butuh ibuku. Aku butuh Emy. Tapi ... mereka tidak ada yang datang ke mari tuk menolongku.

Dad ... bisakah kau sampaikan kepada Tuhan jika aku lelah dengan kehidupanku?

Lalu semuanya tiba-tiba menjadi gelap.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro