Chapter 41

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

'You got me floating away. Lose my self to you, when we're alone it's all I want.'

-Ashlee-

Aku melihat George berdiri di ujung ruangan serba putih sekaan-akan tak memiliki batas lalu mengedarkan pandangan dengan alis menyatu. Menundukkan wajah mengamati kaki telanjang yang terasa ringan bagai menapaki gumpalan awan kapas. Sementara hatiku begitu damai, tenang, dan hanya diselimuti kebahagiaan yang tidak kumengerti. Perasaan macam apa ini?  Apakah ini nyata atau sekadar mimpi belaka? Aku di mana?

Mencoba menggerakkan tubuh, ternyata di luar dugaan. Seluruh anggota tubuhku terasa kaku seperti terperangkap dalam kotak sempit sehingga aku hanya bisa berdiri di sini seperti orang bodoh. Berusaha memanggil nama George tapi tidak ada suara yang bisa keluar. Aku memukul-mukul pembatas tak kasat mata yang memisahkanku dengan ayahku, berteriak bahwa aku ingin berlari ke arahnya dan bertanya di mana kami, mengapa kami di sini, dan mengapa dia muncul. 

"Kau hanya harus bertahan, Lizzie. Ada banyak orang yang sayang padamu," ujar George bagai bisikan namun menggaung jelas di telinga seolah-olah dia ada di hadapanku sekarang. 

Aku menganga mendengar kalimatnya lalu menjerit apakah dia paham arti bertahan? Apakah dia bisa merasakan penderitaanku saat ini? Lantas dia begitu mudahnya mengatakan padaku untuk bertahan? Tidak! Aku tidak bisa!

"Aku hanya ingin berada di pelukanmu, Dad!" pekikku akhirnya bisa bersuara. "Aku lelah! Aku benar-benar lelah!" 

Mata George berubah sayu dan tak lama aku bisa melihatnya menangis dalam diam. Dia hanya terpaku di sana ketika aku menunjuk diriku sendiri bahwa kehidupan di dunia sudah membuatku gila. Bahwa obsesi Billy padaku telah menumbuhkan rasa trauma begitu dalam. George tidak pernah tahu bahwa anaknya mengalami mimpi buruk setiap malam dan harus ketergantungan obat agar tidak dihantui bayang-bayang mengerikan itu. 

Aku menangis sesenggukan, putus asa, dan menyadari kalau tidak akan ada orang yang bisa memahamiku. George tidak mengerti. Ayahku tidak bakal mengerti kondisiku. 

Anehnya, ada perasaan hangat nan nyaman menjalari punggungku hingga aku langsung membalikkan badan. Sosok itu berdiri di sana, mengulurkan tangan dengan mata biru samudranya yang meneduhkan jiwa. Bibir tipisnya menerbitkan seulas senyum yang menyiratkan masih ada secercah harapan di hari esok. Dia menaikkan alisnya, menyuruhku untuk menggenggam erat tangannya untuk keluar dari tempat ini. 

"Pegang tanganku, Lizzie," tawar Andre. "Aku bersamamu. Aku akan ada di sampingmu, Lizzie. Kau hanya harus percaya padaku, oke?"

Kalimat terakhir Andre terdengar berulang-ulang seperti pengeras suara, menggetarkan dinding tak kasat mata yang menahanku di sini. Jemariku tergerak hendak meraih tangan Andre, tapi aku ragu lantas berpaling untuk melihat ayahku. Dia masih berdiri di ujung sana, wajahnya kini tampak datar tak menunjukkan ekspresi apa pun. Apakah dia marah akibat ucapan kasarku?

"Come with me." Andre meyakinkanku lagi. 

Tanganku terkepal kuat manalagi George ikut mengulurkan tangan kanannya dan mendadak sosoknya makin dekat denganku. Kini aku berada di antara dua pilihan yang sulit. Aku ingin bersama ayahku dan hidup bahagia dengannya, namun aku juga ingin berada di samping si pria kopi. Bertemu dengannya membuat hidupku tak lagi dinaungi mendung yang selalu membuatku menangis. 

"Dad, ada di sini, Nak," ujar George seraya menatap penuh kerinduan. "Dad, bisa melindungimu."

"Lizzie," panggil Andre. "Do you trust me? I love you no matter what."

Mengamati dua pria itu secara bergantian dan penuh pertimbangan. Aku ingin ikut George, meraih tangannya yang terasa dingin di kulit, namun sebelah tanganku ditarik paksa oleh Andre. Anehnya, tangan Andre begitu hangat dan nyaman sebagai tempat pulang. Selanjutnya iris mata birunya mengirimkan sebuah keseriusan di sana, bahwa dia akan melakukan apa pun untukku. 

Tak lama kemudian, air matanya mengalir membasahi pipi lalu dia bertekuk lutut di depanku, memohon agar aku tidak pergi darinya lagi. Dia mendongak seperti anak-anak tengah merajuk kepada orang tua mereka, membuatku mengerutkan alis dan bertanya-tanya dalam hati. 

Apa yang dia lakukan?

"Jangan tinggalkan aku lagi, Elizabeth. Aku ... aku mencintaimu," ujarnya. "Selamanya mencintaimu. Aku ... menerima masa lalumu, Lizzie. Aku mau menerimamu."

Perasaanku bergemuruh bagai badai yang memorak-porandakan kota. Rasa marah, bingung, sedih, bahagia bercampur jadi satu membentuk pusaran yang menghanyutkan masa lalu dan masa depan menuju sesuatu yang tak pasti. Namun, aku menangkap ada sebuah ujung menyilaukan di mana ada dua orang tengah berdiri dan bergandengan di sana dan tak lama ada dua anak kecil saling berkejaran mengitari pasangan itu.

Apakah itu masa depan kami?

Apakah itu impiannya?

"Aku mencintamu, Lizzie," ucap Andre lagi. "You're my life."

Tanpa sadar mataku ikut barkca-kaca dan tak lama kemudian pertahananku runtuh seketika. Aku melepaskan genggaman tanganku dari tangan George, berjongkok menghadap Andre dan mendekap lelaki itu seraya berbisik, "Aku juga mencintaimu."

Ditarik paksa oleh benda raksasa, nyawaku melayang begitu cepat dan terisap kuat menuju lorong gelap hingga menghantam sesuatu membuat mataku terbuka lebar. Napasku terengah-engah seperti baru saja jatuh dari ketinggian beratus-ratus meter, tidak hancur tidak pula mati. Tidak ada George yang mengamatimu dengan wajah datarnya, tidak ada badai kencang yang menerbangkan diriku ke tempat tanpa batas, tidak ada dinding transparan yang membatas pergerakanku. Semuanya tergantikan oleh alat-alat medis di sekitar termasuk suara bip dari monitor. Mengangkat tangan kanan di mana ada selang infus menancap di sana entah sejak kapan. 

Rumah sakit lagi, batinku.

Aku mendesis merasakan pening di kepala sembari mencari-cari sisa ingatan mengapa tubuhku ada di sini. Sayang, sebesar apa pun usahaku untuk memikirkannya, aku tidak menemukan jawaban selain bertanya apa yang telah terjadi. Andre yang tampak terlelap mendadak terbangun dan wajahnya panik seakan-akan mendapatiku baru bangun dari tidur panjang. Dia membelai rambutku lalu tatapannya terhenti pada gulungan perban yang ada di kepalaku lalu berkata, "Maafkan aku." 

Ada guratan penuh penyesalan terpancar di wajah itu. Bibirnya terkatup rapat menahan kalimat lain yang hendak meluncur dari sana. Aku menggeleng pelan, walau tidak memahami apa yang sebenarnya terjadi. 

"Bagaimana aku bisa di sini?" tanyaku lirih. 

"Clara menemukanmu tergeletak bersimbah darah saat dia akan menaruh barang di gudang." Andre mengusap wajahnya gusar bercampur marah. "Bodohnya aku tidak memasang CCTV di  dalam gudang, Lizzie. I'm so sorry."

Gudang?

Kepalaku makin pening ketika Andre menyebut kata gudang berbarengan potongan-potongan bayangan lelaki mendatangi seorang perempuan di dalam sana. Aku tidak yakin mereka siapa, namun mengapa sekujur tubuhku ikut gemetaran? Mengapa dentum jantungku menjadi tak karuan? 

Sayup-sayup aku mendengar suara yang tak asing lagi. Suara penuh obsesi yang selalu mengancam untuk menyingkirkan orang-orang dariku. Suara itu makin lama makin jelas hingga mencapai titik tertinggi yang menciptakan dengung menyakitkan gendang telinga. Aku merintih, rasanya ruangan ini tiba-toba menyempit dalam hitungan detik. Tubuhku berpeluh keringat dan mataku melotot ketika berkas ingatan itu tergambar makin jelas. 

Billy! Uncle Bill telah kembali!

"Lizzie! Lizzie!" panggil Andre panik melihatku tersengal-sengal seperti mengalami serangan asma. "Hei, hei ... are you okay?"

Aku meremas dadaku sendiri, mengabaikan pertanyannya dan  memukul-mukul dadaku berharap bongkahan batu yang ada di dalam sana keluar. Namun, yang ada malah suara Billy makin keras dan sentuhannya membuatku makin mirip seperti jalang. Aku menjambak rambutku, mencoba menghilangkan ingatan buruk tersebut sampai Andre menahan kedua tanganku. 

"Listen to me!" seru Andre mengguncang bahuku kuat-kuat.

Aku terisak dan makin histeris. Bagaimana mungkin Billy bisa menemukanku semudah itu? Bagaimana bisa dia menyelonong masuk tanpa ketahuan orang lain? Bagaimana dia bisa menipu daya kami semua? Bagaimana bisa?

"Kau ada bersamaku, Lizzie," ujar Andre membawaku ke dalam dekapannya. "Aku akan--"

"Billy kembali menemukanku, Andre!" seruku memberanikan diri menyebut nama pria gila itu. Kudorong tubuhnya menjauh, mencabut paksa selang infus di tangan hingga darah merembes mengotori seprai dan lantai. "Di sini aku tak pernah aman! Sudah kubilang bukan jika aku lebih aman di Florida?"

Untuk beberapa detik Andre tercengang bukan main bahwa pelaku penyerangan diriku adalah Billy. Dia mengacak rambut cokelat tembaganya sambil menggerutu pelan, kemudian dia mengambil tisu dari atas meja dan menghentikan pendarahan di tangan lalu berpaling kepadaku. "Tapi kau aman bersamaku, Lizzie. Kau―"

Aku menarik tanganku darinya dengan perasaan campur aduk. Aku takut jika berada di sini lebih lama, Billy akan mengejarku dan bisa-bisa dia akan membunuhku selagi terlelap dalam mimpi. Sekarang, semua manusia tidak ada yang bisa ditebak. Mereka akan menggunakan berbagai cara untuk mendapatkan apa yang menjadi obsesi dalam hidup. Dan aku adalah umpan terbaik ketika berada di Manhattan.

"Dia selalu menemukanku di saat kau tak ada!" seruku dengan badan menggigil ketakutan. "Aku harus bagaimana? Mengikutimu sepanjang hari? Dikawal seperti orang lemah? Atau berdiam diri di rumahmu? Jelaskan padaku Andre, aku harus bagaimana?" racauku sambil menangis sesenggukan.

Andre terdiam seribu bahasa seperti memikirkan sesuatu, membuka mulutnya namun tak ada kalimat yang meluncur dari sana. Tatapannya hanya tertuju padaku meski wajahnya menyiratkan banyak kekhawatiran atas insiden mengerikan tersebut. Nyatanya aku memang benar, berada di dekatnya atau tidak, nyawaku jelas-jelas terancam. Bahkan ... petugas keamanan gedung tempatku bekerja atau polisi pun bakal susah melacak di mana keberadaan Billy. Sekarang, aku hanya bergantung pada keberuntungan apakah Tuhan masih membiarkanku bernapas sampai besok atau tidak. 

"Kau harus tetap bersamaku, oke? Aku sedang berusaha mencari bajingan itu, Elizabeth," tukas Andre hendak menyentuh tanganku lagi. 

"Kau sudah melakukannya, tapi apa? Dia masih ada di sekitar kita, Andre," ujarku putus asa. Sungguh aku tidak mengerti siapa yang membuat bajingan itu ada di kota ini. Bukankah seharusnya dia dipenjara seumur hidup akibat melakukan tindakan pelecehan padaku dan pembunuhan terhadap George? Apakah manusia sudah kehilangan kewarasannya dengan membiarkan Billy keluar secara bebas besyarat?

"Aku sedang berusaha. Maka dari itu, tetaplah dekat denganku. Aku akan mencari segala cara untuk mengetahui keberadaannya, oke?" Andre meraih tanganku dan memelukku erat, memberikan satu kecupan penuh kasih sayang di puncak kepalaku. 

"Aku benar-benar tidak aman, dia membunuh ayahku, Andre," lirihku membuat detak jantungnya mendadak cepat. 

"Ayahmu?" ulangnya dengan bola mata membesar. 

"Ya. Dia adalah pembunuh George ketika kami masih di Texas. Teman baik yang menjadi bumerang untuk keluargaku."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro