Chapter 42

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

'You were lying next to me. I looked across and fell in love, so I took your hand back through lamp lit streets I knew.'

-Ed Sheeran-

Andre tak banyak mengeluarkan kalimat setelah kami berbincang dengan dokter yang menanganiku. Dia hanya mengangguk dan meminta maaf karena tidak langsung lapor atas perdebatan kecil kami tadi sehingga darah yang mengalir dari pembuluh darahku akibat selang infus yang dicabut paksa kini telah mengering. Aku menengahi dan berkata jika itu semua kesalahanku dengan alibi terkejut karena tiba-tiba berada di rumah sakit. 

Tentu saja dokter tidak langsung percaya, tapi dia buru-buru menjelaskan kalau hasil MRI kepalaku tidak menunjukkan gejala serius. Hanya amnesia ringan, katanya. Dia menambahkan kalau aku bisa melanjutkan perawatan di rumah. Alhasil, Andre mendadak mengajukan penthouse miliknya sebagai tempat perawatanku nanti. 

Tak sempat menolak, dokter berkacamata itu langsung mengiyakan seperti menaruh kepercayaan penuh kepada Andre. Kemudian, tanpa menoleh kepadaku, lelaki itu bergegas keluar mengekori dokter untuk membicarakan sesuatu yang sepertinya dirahasiakan kepadaku. 

Aku mengembuskan napas, begitu lelah menghadapi ini semua. Masalah satu belum benar-benar selesai, selalu muncul masalah lain. Apakah Tuhan memang suka mempermainkan hidupku atau Dia sedang menyiapkan kejutan di masa depan?

Andre masuk ke kamar lagi lalu berkata, "Kau akan menginap di tempatku."

"Aku ingin pulang, Andre, please," ujarku memelas. "Di sini bukanlah tempat yang aman."

"Apa di perjalanan menuju Florida membuat nyawamu terjamin?" Andre melempar pertanyaan kepadaku. Sorot matanya tajam berselimut sesuatu yang tidak bisa kubaca. Berulang kali rahangnya mengetat bagai menahan gelombang emosi yang bisa meledakkan dirinya. "Setidaknya biarkan aku melakukan apa yang seharusnya kulakukan, Lizzie."

Menimang tawarannya cukup lama, akhirnya aku mengiyakan ajakan Andre. Lagi pula hari sudah gelap dan tidak mungkin ada penerbangan malam ke Florida ditambah bus yang membawaku sampai ke rumah juga tidak ada. Andre langsung mengambil tasku dari dalam laci dan memungut ponselku di atas meja dalam diam. Lagi-lagi wajahnya tampak kalut seperti memikirkan banyak hal daripada diriku sendiri. 

Apakah karena aku memberitahunya kalau Billy membunuh ayahku? 

"Kau akan dijaga oleh orang-orangku selama seharian penuh. Aku sudah menyuruh asistenku untuk mengecek keamanan di rumah supaya kita berdua tenang," lanjut Andre lalu mencium keningku dengan sayang. "Laporan kasusmu di kantor polisi masih dalam tahap penyelidikan, kuharap mereka segera menemukannya."

"Apakah mereka akan mendatangiku?" tanyaku. 

"Tentu. Kau adalah saksi sekaligus korban, Lizzie. Mereka membutuhkan ciri-ciri Billy saat menyerangmu," ujar Andre. "Hei, kuharap dia bisa ditangkap secepatnya. Aku tidak ingin kau hidup dalam bayang-bayang lelaki itu. Oke?"

"Kenapa kau melakukan semua ini?" tanyaku dirundung penasaran.

"Untuk melindungimu," jawabnya. 

Kutatap bola matanya dalam-dalam, membuka lapis demi lapis rahasia yang sedang dia sembunyikan. Namun, tetap saja tidak kutemukan jawabannya seakan-akan Andre membentengi dirinya dengan baja tebal. Jika seperti ini terus, ke mana aku harus mencari benang merah atas semua ini? Emilia juga pernah berkata kalau dirinya kesusahan mencari informasi tentang keluarga Jhonson dan Billy Jenkins. Yang aku takutkan adalah dia memiliki keterkaitan di masa lalu dan aku tidak sanggup untuk menghadapinya nanti. 

"Istirahatlah, Lizzie, jangan memikirkan apa pun. Biar aku yang mengurusnya," tandas Andre menggandeng tanganku keluar dari kamar rawat inap. "Tidurlah selagi di perjalanan. Aku akan membangunkanmu nanti."

###

Sayup-sayup mendengar suara riuh mesin kendaraan serta aroma jagung bakar yang menggoda hidung, aku terbangun setelah tertidur pulas di mobil. Sambil menguap lebar, aku terperanjat kaget mendapati diriku berada di dalam sebuah tenda berukuran cukup besar. Diserang rasa panik sampai mengabaikan rasa nyeri di kepala, aku pun bergegas keluar untuk mencari pertolongan. Namun, suaraku tertahan di kerongkongan manakala menangkap punggung bidang Andre berdiri tak jauh dariku sembari membakar jagung. Ya jagung!

Lelaki itu hanya mengenakan celana panjang longgar dan kaus tipis, sesekali dia bersiul tak menyadari bahwa aku sudah terbangun. Dari belakang, dia benar-benar menawan walau diselimuti banyak rahasia yang belum terkuak. Jika seperti ini, Andre hanyalah pria biasa yang sedang dimbauk cinta. Lihat saja rambut cokelat tembanganya terkena pantulan cahaya lampu-lampu dari gedung-gedung di sekeliling kami, bergoyang-goyang mengikuti arah angin yang berhembus. 

Aku juga ingin merasakan kehidupan normal seperti ini. Duduk berdua menikmati malam tanpa rasa khawatir akan hari esok bersama orang terkasih. Aku bisa saja melakukannya, hanya saja ... selalu ada perasaan mengganjal setiap aku bersama Andre. Bagai dua sisi koin yang berlawanan, satu sisi aku merasa nyaman tapi sisi lainnya aku juga waswas. Siapakah dia? Apa hubungannya dengan Billy? Dan mengapa dia sampai melakukan semua ini hanya demi aku?

Tentunya itu bukan cinta kan? Benar kan?

Atau aku yang mengartikannya salah?

"Hei," panggilku menghampiri pria itu.

Andre berpaling. "Hei. Kau baik-baik saja?" tanyanya meletakkan dua jagung bakar di atas piring. "Sorry, mungkin aku membuatmu terbangun."

"Ini kencan kita?" Aku menghirup dalam-dalam aroma mentega yang meleleh di atas arang panas, mengabaikan kalimat terakhirnya. Sepertinya ini ide bagus untuk camilan di saat udara tak terlalu panas juga tak terlalu dingin ditambah segelas kola dingin. "Kau membawaku sampai ke atas penthouse-mu?" 

"Untuk mencari suasana baru," ujarnya sambil terkekeh. "Apa kepalamu masih sakit?" Dia mengulurkan sebelah tangannya untuk menyentuh perban di kepalaku. 

Aku menggeleng pelan seraya mengedarkan pandangan mengamati betapa gagah puncak Empire States berhias kerlap-kerlip penerangan bangunan kecil di sekelilingnya. Suara klakson mobil maupun kendaraan roda empat lain bersahutan menciptakan melodi di tengah sibuknya Manhattan. Ya, kota industri yang tidak pernah mengenal kata lelah ini selalu bekerja keras setiap menit dan setiap detik sampai menyuguhkan kemewahan di tiap-tiap sudutnya. Asap-asap membumbung tinggi menyatu dengan udara dan lenyap tanpa jejak. Orang-orang berwajah serius berjalan begitu cepat dan tak sabar sambil sesekali menggerutu akan hari yang melelahkan. 

Kemudian menengadahkan kepala melihat langit malam bertabur kelap-kelip bintang dan sinar rembulan tampak indah di sana. Walau begitu, aku dibuat jatuh cinta pada kota ini seperti menjatuhkan perasaan kepada pria tampan di sampingku. Hiruk pikuk di bawah sana yang berdesakan di setiap ruas jalan sama persis dengan aliran darah di tubuhku setiap kali berdekatan dengan Andre. Berdenyut tak karuan akibat rasa gugup bercampur malu. Namun sensasi ini juga yang berhasil membuatku mabuk kepayang. 

"Kau lapar?" tanya Andre membuyarkan lamunanku.

Aku melenggut dan menerima satu piring jagung bakar yang menggiurkan dan beberapa tampak gosong nan berkilau akibat olesan mentega. "Darimana kau mendapatkan jagung-jagung ini?"

"Betty membelinya tadi pagi dan seharusnya kita bisa menikmati ini lebih awal, Lizzie," jawab Andre mematikan arang api dengan air setelah selesai membakar lima jagung yang diletakkan dalam wadah besar. "Duduklah di sana. Aku sudah menyiapkan kola dan es batu."

Aku tertawa tak menyangka jika dia benar-benar menyiapkan ini semua seorang diri. Apakah ini sebuah kencan dadakan seperti yang dia katakan beberapa waktu lalu? Ide bagus juga, pikirku. 

"Dan tenda itu?" Aku menunjuk tenda di belakang kami.

"Oh, itu. Itu hadiah dari Dad ketika pertama kali aku masuk SMA. Tenda tua yang menjadi saksi ketika para pria berpetualang," ucapnya sambil mengerlingkan mata dan membawa wadah tersebut ke depan tenda. "Sebenarnya aku ingin mengajakmu berkemah akhir pekan ini, tapi setelah melihat insiden yang menimpamu, kurasa itu ide buruk yang terlintas di pikiranku." Wajahnya mendadak masam seperti menelan sebongkah kekecewaan.

"Begini saja sudah cukup bagiku, Andre. Terima kasih." Aku mengekorinya seraya menggigit jagung. Manis dan gurih berpadu menjadi satu di lidah dan makanan ini ... aku membayangkannya jika kami duduk di pinggir pantai melihat ombak bergulung-gulung diiringi pesta kembang api. Pasti lebih menyenangkan. 

Kami mendudukkan diri dan makan jagung sambil bertukar cerita tentang kehidupan masa lalu seperti orang normal lainnya. Dari sini aku baru tahu jika Andre suka dengan hal-hal yang berbau ekstrem seperti mendaki, panjat tebing, dan balap mobil. Saat usianya 20 tahun, Andre pernah mengalami patah tulang di bagian lengan dan paha akibat tergelincir saat panjat tebing di Rock Odyssey. Aku bergidik ngeri tidak bisa membayangkan bagaimana orang-orang mengevakuasi Andre dari sana. Mengapa kebanyakan pria selalu menguji nyawa dengan hal menyeramkan tersebut? 

"Aku merindukan saat-saat itu," tambahnya menuang kola ke dalam gelas kemudian menenggak cepat sambil geleng-geleng kepala. "Berkelana bebas tanpa memikirkan pekerjaan."

"Pasti banyak perempuan yang menghiburmu saat itu, Mr. Jhonson," sindirku tanpa sadar sudah melahap jagung kedua hingga habis. Aku berdeham sebentar lalu meraih gelas ketika Andre menuangkan kola untukku. "Thanks!"

"Hubungan panas antara pria dan wanita adalah hal lumrah, Lizzie. Kami masih muda saat itu, masih mencoba-coba hal baru yang ... tidak dimengerti orang dewasa seperti kita sekarang," ujar Andre. 

"Termasuk seks?" tanyaku membuat senyum di bibirnya menghilang. 

Dia mengangguk pelan. "Maafkan aku."

"Aku tidak munafik bahwa kehidupan masa muda memang menyenangkan, tapi ... untuk hal itu kurasa dunia kita berbeda. Aku tidak tersinggung," ucapku meneguk kola untuk meredam rasa panas yang menjalari tubuh. "Di saat kau bergelut dengan warna-warni duniamu, aku terjebak dalam masa laluku yang kelam. Dan ... pada akhirnya ketika di kampus, Emilia membantuku mengenalkan hal-hal baru dan yeah ... aku mulai mengerti bagaimana rasanya menjadi manusia normal."

"Tapi, kau menjaga jarak dari pria, aku bisa memahami."

"Itu benar. Berkat Emilia."

"Seperti cara bicaramu?" tunjuk Andre dengan nada mengejek.

Aku tertawa dan memukul lengannya. "Memangnya kenapa?"

"Kau sangat pintar bicara. Kukira kau seorang introvert. Biar kutebak, INTJ?"

"Maybe. Tapi ... hanya denganmu aku bisa begini," ucapku malu-malu mengamati gelasku tuk menyembunyikan betapa merah dan panas wajahku sekarang. Jantungku bertalu-talu bagai menabuh genderang bahwa mungkin terdengar gila bagi Andre selama kami saling mengenal. Ah, Tuhan, bisakah Kau menormalkan kembali detak jantungku yang tak karuan ini? Mengapa semuanya menjadi begitu canggung? Selain itu, bisa jadi kan Andre bakal besar kepala jika mengetahui kalau aku diam-diam bisa berbaur dengan baik selama bersamanya. Walau kami sering berdebat.

Pria itu mengamatiku cukup lama sebelum akhirnya tawa Andre meledak tak karuan. Aku makin salah tingkah dan merutuk diri sendiri kalau tak semestinya mengatakan kalimat tersebut. Sial, tidak bisakah aku memutar waktu lagi?

"Tidak ada yang lucu kenapa kau tertawa?" dengusku kesal.

"Kau begitu menggemaskan juga, Lizzie. Aku sangat tersentuh," candanya membuat pipiku makin bersemu merah. "Oke, tunggu di sini, aku mau mengambil gitar." Dia beranjak dari tempat duduknya dan masuk ke dalam tenda beberapa saat.

"Kau bisa main gitar?" teriakku padanya. 

Andre keluar dari tenda lalu berkata, "Kau meremehkanku?" 

Mengedikkan bahu sambil menjulurkan lidah, bertopang dagu untuk melihat sejauh mana si pria kopi ini menunjukkan keahliannya. Dia memetik senar gitar sembari mengatur bagian pemutar di headstock gitar. Tak lama dia mulai melantunkan sebuah lagu dari Justin Timberlake yang mewakilkan hatiku agar jangan takut untuk jatuh cinta pada pria, terutama dirinya. Andre menampilkan bahwa akulah perempuan yang pantas bersanding dengannya dan segala cinta yang dia berikan. Dia mengerlingkan mata membuat darahku kembali berdesir begitu cepat. 

Cause baby you're worth it

So don't act like it's a bad thing to fall in love with me
Cause you might fuck around and find your dreams come true with me
Spend all your time and your money just to find out that my love was free
So don't act like it's a bad thing to fall in love with me,
Now how about I be the last voice you hear tonight?
And every other night for the rest of the nights that there are
And every morning I just wanna see you staring back at me
'Cause I know that's a good place to start

Atmosfer seolah-olah mendukung ketika gemintang di langit makin benderang dan rembulan makin memantulkan cahayanya yang menawan. Aku terlena. Sungguh terpukau oleh semua sikap manis yang ditunjukkan Andre padaku. Bibirku tak dapat menahan senyum lebih lama, hatiku membuncah mendengar tiap bait yang dia nyanyikan untukku.

Sensasi nyeri di kepala, sakit di hati, dan mimpi buruk yang menyergap di benak perlahan-lahan reda sebelum akhirnya menipis ditelan angin malam. Berganti perasaan senang bagai ledakan endorfin dalam tubuh bahwa momen langka seperti ini tak akan bisa terulang lagi di masa depan dan aku bersedia merekamnya di kepala sampai kapan pun. Mendapati Andre seperti ini makin menumbuhkan rasa cinta kalau dialah pria yang kuinginkan selama sisa hidupku nanti.

Dia mendekatkan dirinya padaku, menepis jarak yang tersisa lalu membelai lembut rambutku yang terurai dibelai angin, menyingkirkannya ke belakang telinga dengan sorot mata penuh kasih sayang. Dia tersenyum begitu tampan, meluruhkan segala kegundahan yang selalu membelenggu. Dalam hati, aku bermunajat kepada semesta bahwa saat ini hentikanlah waktu dan rotasi bumi, agar aku bisa berlama-lama dengan Andre. Pujaanku. Sebagai manusia, aku juga ingin merasakan secuil kebahagiaan seperti ini untuk beberapa menit ke depan. 

"You know i love you, right?" lirihnya menatap lurus ke dalam bola mataku. 

Aku mengangguk pelan tak mampu membalas ucapannya ketika Andre memiringkan kepala untuk menyapa bibirku, memberikan ciuman lembut yang tidak bisa ditolak. Tentu saja kusambut dirinya dengan sukarela, membelai bibirnya merasakan pagutannya yang terasa manis. Mencecap penuh damba dan penuh harapan sekaligus tuntutan bahwa kenangan seperti ini jangan sampai terlupakan. Lidahnya memuja diriku, memberikan perasaan sekaligus membuktikan diri bahwa cintanya hanya untukku.

Dia meletakkan gitar di sisi kiri, membiarkan benda itu menjadi  saksi bisu kami kemudian menarik tubuhku ke dalam pangkuannya, sementara aku melingkarkan lengan di leher Andre. Membenamkan jemariku ke dalam rambut tebalnya, menyesap kuat dirinya, menikmati aroma tubuhnya yang menjadi candu baru bagiku. Aku mendongak, merasakan gelora membakar setiap pembuluh darahku ketika ciumannya kini merambat ke ceruk leher mengirimkan sensasi lain yang begitu menggetarkan seluruh sel saraf. Kini tidak ada lagi rasa sakit di kepala akibat benturan keras yang menimpaku. Smeua berganti euforia menenangkan melebihi morfin. 

Aku menyukainya!

Bibirku terbuka, eranganku tertahan di kerongkongan saat tangannya bergerilya di balik blusku. Menangkup gundukan di dadaku dan memainkannya. Aku membusungkan dada, meminta Andre untuk melakukan hal yang lebih jauh karena tergila-gila oleh sentuhan sensualnya. Pikiranku sudah tak bisa menemukan akal sehat sebagaimana Elizabeth Khan yang cuek dan menjaga jarak. Pikiranku sudah buram akibat dipenuhi oleh bayangan Andre bagaimana dia akan mengantarkanku ke puncak kenikmatan yang belum kujamahi. 

Pinggulku bergerak gelisah menuntut sesuatu di balik celana kekasihku. Aku menarik paksa kaus putihnya, membalas ciuman Andre dengan lebih kasar bahwa malam ini hanya ada kami. Bahwa malam ini hanya kami yang bisa membakar gairah tanpa seorang pun yang akan mengganggu. Dia meracau pelan ketika aku menjilati telinga dan mengigitnya pelan. 

"Sentuh aku, Andre," lirihku dengan pandangan berkabut. 

Wajah Andre mendadak tegang dan aku tahu itu karena terkahir kali bercinta karena dia terpancing emosi. "Kau yakin?" tanyanya ragu. "Terakhir aku melakukannya, kau meninggalkanku sendirian."

Aku melenggut mantap, melepas kancing blusku dan mempersembahkan tubuhku untuknya. "Lakukan. I trust you."

Andre tersenyum tipis, menggendong tubuhku masuk ke dalam tenda dan menanggalkan satu persatu pakaian yang masih melekat di badan. Dia membaringkanku dan mengurungku seakan-akan melindungiku dari segala sesuatu yang akan menyakitiku. Aku membelainya, menciumnya, memeluknya penuh kasih sayang. Sedangkan dia menciumiku, memuja tiap inci kulitku dengan lidahnya yang lihai, Bermain-main di puncak dadaku sebelum akhirnya memuaskan diri di pusat tubuhku yang lembap. 

Pikiranku makin kalut oleh kenikmatan yang dia berikan. Bibirku tak bisa mengeluarkan kalimat lain selain memanggil namanya. Andre meruntuhkan pertahananku, menggoda pusat tubuhku sampai berkedut memohon-mohon agar dirinya segera menyatukan diri denganku. 

"Please ..." pintaku dengan suara serak. 

Dia merangkak naik, menundukkan diri untuk mencumbu bibirku seraya menyatukan diri kami ke dalam jurang kenikmatan. Aku melingkarkan kaki ke pinggulnya ketika dia bergerak menghunjam diriku makin cepat dan dalam. Merasakan dirinya begitu memenuhi diriku. Jemariku mencakar punggungnya, merasakan pelepasan itu akan segera datang. 

Andre membenamkan wajahnya di ceruk leherku, meninggalkan jejak-jejak kemerahan sambil sesekali berbisik bahwa aku adalah miliknya. Aku meneriakkan namanya ketika dia berhasil membawaku terbang menuju langit tanpa batas, merasakan dirinya yang hangat memenuhi diriku yang mencengkeram dirinya di sana.  

Kami berpeluh keringat dengan napas beradu cepat. Andre mengecup keningku dengan sayang tanpa melepas penyatuan kami seraya berbisik, "Terima kasih malam ini, Lizzie. Aku mencintaimu."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro