Chapter 43

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

'You were lying next to me. I looked across and fell in love, so I took your hand back through lamp lit streets I knew.'

-Ed Sheeran-

Sentuhan hangat dari tangan besar yang melingkari pinggang terasa begitu menenangkan ketika aku terbangun lebih awal. Bergerak perlahan untuk menghadap si pemilik tangan tersebut setelah menyadari kami tak lagi di tenda, melainkan kamar besar nan mewah milik Andre. Kami berdua berada di ranjang yang sama, tanpa sehelai benang kecuali selimut yang menutup tubuh setelah percintaan panas semalam. 

Tentu saja pipiku langsung terasa panas membayangkan bahwa dia memenuhi diriku di bawah sana. Tubuh kami bagai dua medan magnet yang saling tarik-menarik. Aku membutuhkan Andre untuk melepaskan ketegangan di antara kami usai masalah-masalah datang tanpa henti. Dan dia juga membutuhkanku untuk penyerahan hati dan jiwanya padaku. Menyerukan bahwa hanya aku seorang yang bisa meluluhkan pendirian si pria kopi. Kami saling berpelukan, menyatukan diri dan tenggelam dalam nirwana yang dia tunjukkan hingga suara erangan rendahnya memanggil namaku. Begitu memabukkan melalui cumbuan sensualnya.  

Sekarang, bisakah aku memasukkan ke dalam daftar hobi kalau mengamati wajah Andre yang terlelap seperti ini menjadi sesuatu yang menyenangkan? Sungguh jika dia tertidur bagai melihat Andre versi dewasa muda. Kerutan di wajah lelakiku ini turut merenggang seiring pergerakan dadanya yang teratur menunjukkan kedamaian. Mungkin inilah dampak seorang pria ketika tidak ada segudang tugas menumpuk di depan mata, mereka cenderung lebih santai daripada bagai menikmati hidup. 

Tanganku terangkat untuk membelai rambut cokelat tembaganya yang mulai panjang. Perlahan turun hingga ke dagu meraba bakal-bakal janggut yang mungkin tumbuh subur beberapa hari lagi. Kemudian menyapa sebentar bibir tipis kemerahan dengan jempolku sebelum menghadiahi sebuah ciuman lembut. 

"Kurasa aku akan tertidur seperti ini supaya kau mau menciumiku, Lizzie," ujar Andre tiba-tiba tanpa membuka mata. 

Refleks tanganku memukul dadanya karena malu setengah mati. Bagaimana bisa dia membiarkanku mengagumi dirinya seperti wanita dimabuk asmara? Andre menarik tubuhku mendekat, melingkarkan kakinya ke kakiku, merasakan pusat tubuhnya menggesek perutku. Dia memagut bibirku lembut sebelum menjadi lumatan panas penuh hasrat seiring kejantanannya yang menegang. 

Dia bergerak sehingga kini posisiku di bawah tubuhnya saat Andre menunduk untuk menjilati leherku. "Kau menggodaku, Lizzie." 

Aku menggigit bibir bawah tanpa membalas rayuan si pria kopi. Namun, kakiku terangkat merengkuh pinggangnya, menahan agar posisi kami tidak berubah sementara jemariku menelusuri riak otot maskulin Andre, menghidu aromanya yang sama denganku. 

Andre tersenyum simpul, mengecup keningku seraya berkata lirih, "Aku tak menyangka jika kita melakukannya kemarin. Kukira aku tengah bermimpi."

Aku tergelak bukan makin. "Mimpi basah yang indah."

"Selama bersamamu, aku rela terlelap berjam-jam untuk mimpi basah," candanya mengelus rambut di bagian dahiku. "Apa kepalamu masih sakit?"

Aku menggeleng karena Andre adalah morfinku. Tidak akan ada rasa sakit yang menyerang jika kami seperti ini. Saling menjatuhkan hati dan memuaskan diri. Namun, ucapan manis dalam kepala sulit untuk diungkapkan karena aku tak pandai mengutarakan apa yang kurasakan bahkan kepada ibuku sekali pun. 

Tiba-tiba dering ponsel milik Andre berbunyi, mengejutkan kami berdua. Andre mengumpat pelan atas gangguan kecil itu lantas bergerak mengulurkan sebelah tangannya meraih ponsel di atas laci di sisi kiri tempat tidur. Beberapa saat kerutan di alisnya kembali muncul mengamati nama penelepon yang meruntuhkan suasana hati si pria kopi.

"Aku akan jawab panggilan penting dulu. Pergilah untuk mandi, Lizzie," pintanya terdengar serius lalu beranjak dari kasur. Mengapit ponsel di antara bahu kiri dan telinga seraya mengenakan celana pendek. Dia berjalan cepat keluar kamar, berkacak pinggang dan mengabaikan diriku yang masih memandangnya penuh tanda tanya. 

Lebih aneh lagi, entah ini pendengaranku atau bukan. Samar-samar kudengar beberapa kali dia menyebutkan CCTV, radar, dan GPS serta nama orang-orang yang tak kukenal. Aku tidak paham apa yang dia bicarakan dengan lawan teleponnya di sana. Apakah ini terkait atas insiden di Beauty Salon and Spa? Apa dia masih belum menemukan Billy?

Berat hati, aku bangkit dari kasur untuk membersihkan diri selagi Andre masih berbicara di balik pintu kamar. Menyalakan shower dan membasuh lapis demi lapis rambut hingga kulit kepala, merasakan air dingin membasahi setiap kulit seakan-akan meluruhkan segala rasa sakit yang mendadak muncul atas ketakutan terhadap sosok Billy. Bayang-bayang masa lalu ketika dia menyetubuhiku berputar-putar menimbulkan rasa mual.

Andai memiliki kekuatan, ingin sekali aku menghapus ingatan buruk ini agar tidak perlu mengenang kehidupan remajaku yang menyeramkan. Bagaimana tubuh ini pernah menjadi pelampiasan nafsu dan obsesinya akibat cinta bertepuk sebelah tangan dengan ibuku. Bagaimana dia begitu lihai memanipulasi semua orang agar menggantikan sosok George setelah kematiannya. Berpura-pura menjadi ayah tiri baik sampai menyematkan diriku sebagai anak gila karena melukai diri sendiri. Yang lebih menyakitkan, ketika jasad George ditemukan hanya berupa tulang-belulang setelah setahun dia menghilang tanpa jejak. 

Bulu romaku bergidik ngeri. Perutku makin bergejolak tak karuan manakala kenangan itu makin tampak nyata dalam benak. Menghantam tanpa ampun sampai-sampai aku merasa bahwa dinding-dinding kamar mandi menyempit hendak mengimpit paksa. Udara di sekeliling menipis dalam hitungan detik dan menyesakkan dada. Mendongakkan kepala, membiarkan air mengalir untuk menjaga kewarasan kalau semua itu sudah berlalu belasan tahun lalu. 

Aku tidak bisa!

Aku berjingkat kaget saat pintu kamar mandi terbuka dan Andre mendekapku dari belakang, menenggelamkan wajahnya ke bahu kananku. Membiarkan kami berdua hanyut dalam derasnya air yang mengucur dari keran shower. Pelukannya melenyapkan kenangan buruk tersebut, menetralkan kembali rasa takut yang sempat menguasai. Namun, entah mengapa cara dia memelukku menyiratkan sebuah kegelisahan.

Membalikkan diri menghadap dirinya kemudian menangkup wajah lelakiku, mencari-cari sesuatu yang dia sembunyikan dari iris biru samudra yang kini menggelap kehilangan pendar. Dia hanya menunduk tanpa mau membalas tatapanku, merapatkan bibirnya seperti menahan berbagai kalimat yang bakal muncul dari kepala. Jika dia resah seperti itu, aku ikut khawatir terutama buronan gila yang kapan pun akan hadir tanpa permisi. 

"Hei, are you okay?" tanyaku lirih.

Dia menggeleng pelan, masih enggan membalas kontak mataku. Dia memegang tanganku di pipinya, mencium penuh kelembutan bercampur putus asa. Kemudian dia berpaling, mengamatiku lurus di bawah pancuran air lantas berkata, "Jika kita tidak bertemu. Apa yang akan terjadi, Lizzie?"

"Apa maksudmu?" Aku makin tidak mengerti atas ucapannya yang terdengar omong kosong itu. Bukankah kami dipertemukan karena terikat oleh takdir? Bukankah dia menjadi pelipur laraku karena hatinya yang digerakkan Tuhan untuk mencintai tanpa syarat?

"Apa kau percaya padaku?" tanyanya penuh harap. "Kau percaya padaku kan?" 

Ada nada putus asa tersirat dari cara bicara Andre membuatku makin resah. Apa yang dikatakan si penelepon sampai membuat kekasihku seperti ini? Tuhan, kenapa Kau tidak memberikan jeda untuk kami bersenang-senang sebentar? Kenapa hanya penderitaan yang Kau kirim? 

Andreku ...

Priaku yang malang ...

Aku melenggut. Tentu saja aku percaya padanya terlepas dari sikapnya yang pernah menyentuhku tanpa ijin. Dia sudah membuktikan diri kalau dia pantas menerima diriku, cintaku, kepercayaanku. Lalu rahasia yang mana lagi yang mengubah pria itu menjadi murung?

"Apa kau menyembunyikan sesuatu?" tanyaku meragu. "Katakan padaku, Andre."

Andre tak menjawab melainkan mendorong tubuhku ke dinding, membungkam mulutku dengan mulutnya. Menyalurkan rasa frustrasi, marah, putus ada jadi satu. Aku menyambutnya secara sukarela, melingkarkan lengan ke lehernya, menahan kepala Andre untuk tetap memagut bibirku melepaskan ketegangan yang menjalari pria itu. 

Tangannya menggoda tiap jengkal tubuhku. Bermain-main di puncak dada hingga tanpa sadar aku membusung untuknya. Membiarkan dia mengambil alih saat Andre menunduk untuk memuja dengan lidahnya. Semakin merambat turun menggoda inci demi inci kulit hingga berhenti di kewanitaanku. Bibirku mengerang sementara pusat tubuhku berkedut dan makin terasa lembap. Pikiranku sudah buram dan kini dipenuhi oleh sentuhan-sentuhannya yang menghanyutkanku lagi.

"Andre ..." erangku dengan pandangan berkabut. Jantungku berdentum-dentum merasakan dirinya makin liar bermain di bawah sana. Perutku menegang dan aku membutuhkannya lagi sebesar dia menginginkanku untuk menyatukan diri kami.

Dia berdiri, mengangkat sebelah kakiku melingkar di pinggangnya dan merasakan dirinya mulai memasukiku seraya berkata lirih, "I need you to trust me, Lizzie."

Di ambang kenikmatan tanpa batas yang dia hadirkan, aku hanya pasrah. Membenamkan kukuku di bahu kekarnya merasakan dia makin mengobrak-abrik pertahananku lagi. Aku telah mempercayainya sebagaimana kuserahkan diriku padanya. Kekasihku. Lelakiku. Aku percaya padanya. 

"I trust you ... I trust you ..." racauku di antara penyatuan menuju surga dunia. 



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro