Chapter 45

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

'Frozen inside, without your touch, without your love, darling. Only you are my life among the dead.'

-Evanescence-

Kepingan mimpi buruk yang berusaha aku lupakan tiap malam, nyatanya kini hadir tanpa aba-aba. Udara di sekitar menipis dalam hitungan detik seiring pria lusuh di sana mendekat, sebelah kakinya diseret seperti orang cacat. Bibir tipisnya menyeringai seraya memanggil namaku begitu lirih. Suara bagai bisikan tersebut nyatanya menggema dan menggetarkan tiap sel saraf tubuh. Membuka kembali lapisan demi lapisan masa kecil yang benar-benar tak ingin kuingat. Bagaimana dia memperlakukanku seperti budak seksnya, menunjukku anak gila yang sering melukai diri sendiri, dan ancaman demi ancaman untuk membunuh ibuku terngiang-ngiang begitu menyakitkan. 

Tentu saja, dewi batinku menjerit, menyuruh untuk segera pergi atau melempar apa pun agar dia tidak menyentuh sejengkal pun. Sial sungguh sial. Bukannya menuruti perintah hati, tungkaiku kaku bukan main seperti diberi perekat super. Manalagi leher serasa dicekik sampai tidak bisa berpikir jernih bahwa seharusnya aku kabur secepat mungkin. 

"Hei, Lizzie ..." sapanya makin menepis jarak. "Do you miss me, little bitch?"

Come on, Lizzie! Sadarlah! Kau harus lari! Berteriaklah!

Sekuat mungkin, memaksa kaki untuk kabur dari kamar ketika dia menarik tangan kanan dan mendekapku dari belakang. Mendorongku ke dinding selagi tangannya mencekik leher seakan-akan ingin menghentikan aliran udara di tenggorokan. Aku gemetaran bukan main. Sentuhannya membuatku menggigil ketakutan manalagi dia mengendus bahuku begitu liar seperti menemukan berlian di tengah gelapnya gua terdalam. 

"Kau gila, Uncle Bil!" makiku mencoba melawan dengan menusuk iganya dengan siku.

Dia mengaduh kesakitan memegangi tulang rusuknya. Buru-buru aku mengambil benda apa pun di dekatku dan memukul kepala pria gila itu sekeras mungkin. Aku tidak peduli jika nantinya dia tewas akibat perdarahan otak dan dijadikan tersangka pembunuhan asalkan Billy, lelaki manipulatif yang menghancurkan keluargaku segera ke alam baka. Dia kembali berteriak ketika vas bunga mengenai kepalanya hingga hancur berkeping-keping, melempar umpatan dan sumpah serapah kepadaku. 

Matilah kau!

Secepat mungkin aku lari, berusaha meminta pertolongan, berlari sekuat tenaga menghampiri kamar Emilia. Bola mataku membesar melihat pintu kamarnya terbuka dan seketika aku bergerak mundur mendapati gadis itu tergeletak di lantai. 

"Em!" pekikku mendatangi Emilia.

Dia pingsan!

"Em! Bangun, Em!" teriakku mengguncang bahunya namun tidak ada respons. "Sial!"

Aku keluar kamar ketika Uncle Bill berjalan tertatih-tatih sembari memegangi kepala. Ada rembesan darah mengalir dari sela-sela rambut keriting pria itu. Dia meringis tapi tak menyurutkan tatapan nyalang bercampur nafsu sementara sebelah tangannya memegang pecahan vas. 

"Pikirmu aku akan membiarkanmu hidup setelah memenjarakanku, Lizzie?" ucapnya serak. Napasnya terdengar berat saat menerbitkan senyum miring penuh kebencian. "Kita bersenang-senang, Sayang, bukankah kau juga menyukainya? Menjadi jalang kecil yang memuaskanku?"

Dia menjilat darah yang mengotori tangan kanannya membuatku bergidik ngeri. Matanya berkilat-kilat seperti monster siap memangsa korbannya. Bagaimana bisa manusia tak punya hati seperti Billy hidup? Kenapa Tuhan tidak mencabut nyawanya saja? Kenapa Tuhan malah mengorbankan nyawa George yang baik hati untuk seorang bajingan seperti Billy? Kenapa?

Tak lama kemudian suara tembakan terdengar dan tepat mengenai lengan kanan Billy. Pria itu jatuh terjerembap, memekik merasakan peluru panas bersarang di sana. Aku melihat Maxx--salah satu pengawal yang dipercaya Andre untuk berjaga di sini--berjalan terengah-engah seraya menodongkan pistol. Dari penampilannya yang berantakan, Maxx seperti baru saja memenangkan pertempuran sengit. 

Tubuh besarnya tertatih-tatih, peluh keringat membanjir wajah berahang tegas, sementara iris mata ambernya menggelap namun tak menyurutkan senyum miring karena berhasil mengetahui siapa pembuat onar. Dia tampah tak memedulikan hidungnya yang berdarah dan lebam di sudut bibir, kemudian mengalihkan pandangan kepadaku seraya menyiratkan untuk pergi. 

Billy beranjak dari posisi, mengumpat kasar lalu berbalik ke arah Maxx dan berseru, "Kau mau membunuhku?"

"Kenapa tidak?" ucap Maxx. 

"Dan kau akan menjadi mayat selanjutnya," sahut seorang pria mendadak datang dari belakang Maxx seraya mengarahkan senjata. 

Astaga!

Aku bergerak mundur dan terjungkal kakiku sendiri melihat seorang pria berbaju serba hitam lengkap dengan penutup wajah tengah mengancam hidup Maxx. Keadaan makin memanas manakala orang itu mengacungkan pistol tepat di kepala belakang Maxx. Walau rambutnya tertutup topi hitam, tapi pandangan pria tinggi nan kurus tersebut tertuju kepadaku dan seketika membuatku menggigil ketakutan. Tatapan yang sama persis seperti yang dilayangkan Billy. 

Ekor mata Maxx melirik ke kiri seperti mencari sela-sela kesempatan untuk bisa melumpuhkan lawannya. Dia mengeratkan genggaman pistol lantas berbalik dan menyerang tepat di tangan pria asing berbarengan suara tembakan melubangi langit-langit penthouse. Aku menjerit, menutup kedua telinga merasakan gendangnya ingin pecah. Mereka berkelahi, saling memukul dan meninju hingga Maxx menabrak dinding. Kepalanya dibenturkan begitu keras namun dibalas tendangan tepat di dada si pria asing. 

"Ms. Khan!" seru Maxx.

Pria asing tersebut menendang punggung Maxx sampai menabrak dinding membuat pistol yang digenggam jatuh. Hitungan detik berikutnya, si pria asing mengeluarkan pisau dari dalam saku bajunya dan menusuk perut Maxx. Seketika Maxx langsung tergeletak di lantai dengan darah mengucur deras dari balik bajunya.  

"Apa kau masih lama?" tanya pria itu kepada Billy masih memegang pisau yang meneteskan darah Maxx.

Kenapa aku tidak asing dengan nada suaranya?

Billy terbahak-bahak sambil menggeleng pelan, kemudian bergerak tuk memungut pistol Maxx lantas mengacungkannya padaku. "Wanna play with me?"

Dia menembak tepat di bahu kanan, aku meraung kesakitan merasakan peluru panas menembus daging dan berputar-putar di sana. Darah langsung merembes keluar tanpa henti, sedangkan Billy kini berjalan tertatih-tatih menghampiri sambil terus menodongkan senjata api tersebut. 

Aku terkapar tak berdaya, menangis pun percuma karena kami berada di posisi yang kalah. Maxx tampak tak jauh beda denganku. Pria asing tersebut berdiri tanpa rasa bersalah telah menghancurkan malam penuh kedamaian ini. Semuanya salahku. Aku penyebab mereka menyerang atas obsesi Billy dan balas dendam yang sampai saat ini masih tidak kupahami. 

"Kau benar-benar mirip ibumu. Kecuali matamu, Lizzie," lirih Billy berjongkok di sampingku. Dia memiringkan kepala membelai wajahku seraya memerintahku berhenti menangis. "Menyetubuhimu tidaklah cukup. Membunuhmu juga tidak akan bisa memuaskanku. Aku hanya ingin kau tahu bahwa ... aku menyukaimu, Lizzie. Haruskah aku menitipkan benihku lagi di tubuhmu, Sayang?"

"Kill me, Bill! Kill me!" teriakku frustrasi. "Kau buatku gila."

"I do." Billy tertawa di atas penderitaanku. "Tapi, tidak sekarang. Ada waktunya, ketika ... Andre mencariku. Katakan padanya, Lizzie, aku juga tidak sabar melihatnya murka."

###

Polisi dan ambulans datang tak lama selepas Andre pulang dan mendapati Betty tergeletak di ruang tamu dan Maxx pingsan bermandikan darah. Dia makin panik saat mengetahui aku juga Emy menjadi korban serta mengamati sekeliling kami yang tampak berantakan. Termasuk lubang peluru di atas langit-langit lorong lantai dua. 

Refleks tangisku pecah ketika dia mendekap dan melihat luka menganga di bahu. Kukatakan padanya bahwa aku ingin pulang. Semua orang di sini akan mati jika Billy terus mengejarku dan menyakiti orang-orang yang kusayangi. Bahkan aku tidak bisa membayangkan bagaimana kondisi Emilia, Betty, dan Maxx. Darah-darah yang keluar dari tubuh mereka adalah kesalahanku. Bayang-bayang pria asing berbaju hitam juga kedatangan Billy di sini adalah kesalahanku juga. Jikalau aku tidak di sini, pasti tidak akan ada insiden menyeramkan ini. 

Mendapatkan perawatan medis untuk mengeluarkan peluru yang masih setia bersarang di bahu, kuceritakan padanya bahwa Billy datang lagi dengan suara gemetaran. Andre mengumpat. Suaranya menggelegar tiap sudut penthouse mengetahui bahwa pelaku membobol CCTV dan sistem keamanan sehingga mereka begitu mudah masuk tanpa diketahui. 

"Apa pelaku bersama orang lain, Nona?" tanya polisi. 

Aku mengangguk pelan. "Tapi, aku tidak bisa melihat siapa dia. Hanya saja .... aku merasa suaranya tidak asing."

Alis Andre menyatu. Beberapa saat bibirnya terbuka seperti ingin mengeluarkan kata-kata tapi tidak ada kalimat yang meluncur dari sana. Dia mengusap wajahnya gusar bercampur gelisah juga murka. Menggerutu bahwa ini juga salahnya yang tidak segera pulang karena ada urusan mendadak di kantor. 

"Ada kebakaran kecil di kantorku, jadi aku langsung turun tangan untuk melihat penyebabnya," jelas Andre kepada polisi. "Sialnya, ada seseorang yang sengaja membakar gudang. Tidak ada saluran listrik yang korsleting. Aku curiga ada hubungannya dengan ini semua."

"Berarti Billy dibantu orang lain lagi?" tanya polisi. "Kami akan mencari kamera pengawas lain di sekitar gedung ini dan saksi-saksi yang mungkin melihat orang mencurigakan."

"Bagaimana kondisi tiga korban lain?" tanyaku. "Mereka baik-baik saja kan?"

"Anda tidak perlu khawatir, Nona, mereka telah ditangani petugas medis," kata polisi melempar senyum tipis berusaha menenangkanku. "Sementara waktu, jangan beraktivitas sendirian apalagi di rumah. Mengingat kejadian ini sudah terjadi beberapa kali dan kami masih kesusahan menangkap buronan itu."

"Lalu tugasmu apa kalau tidak bisa menangkap Billy? Kalian bisa bekerja sama dengan FBi atau lembaga keamanan lain! Ini bukan hanya satu nyawa yang terancam, tapi tiga nyawa lainnya!" seru Andre kesal. "Dan ... semestinya kalian segera melacak--"

"Mungkin Anda kira menangkap pelaku pelecehan seksual dan pembunuhan adalah hal mudah ketika dia pandai sekali menyamar dan memanipulasi bukti," sela polisi. "Kami sedang mempelajari pola pelaku ketika menyerang dan kami menyimpulkan bahwa dia datang selalu menggunakan sesuatu untuk menyamarkan identitas."

"Maksudmu?" tanya Andre. 

Mendadak aku teringat dengan penyerangan pertama kali di acara penggalangan dana di penthouse milik keluarga Jhonson. Waktu itu penampilan Billy benar-benar jauh berbeda dari apa yang kulihat tadi. Walau saat itu aku dalam kondisi mabuk dan sempat tak sadarkan diri, tapi ingatan akan dirinya tidak bisa hilang begitu saja. Kerutan yang seharusnya tercetak jelas waktu itu benar-benar tidak ada, seolah-olah Billy tengah mengenakan toping kulit elastis yang bisa mengubah fitur mukanya. 

"Apa dia memakai sejenis topeng?" sahutku sesenggukan. "Ini hanya spekulasi, tapi ... melihat wajahnya tadi benar-benar berbeda dibanding ketika dia menyerangku saat acara penggalangan dana kala itu."

"Benar. Itu kesimpulan kami saat ini, sangat sulit untuk mendeteksi wajah-wajah baru yang mungkin dia kenakan selama buron," ujar polisi. 

Andre termangu cukup lama, tapi dari air mukanya aku bisa menangkap betapa resah dirinya saat ini. Sama sepertiku, aku juga resah dan benar-benar seperti pembawa sial. Semua orang kini terancam akibat ulah Billy. Namun, satu pertanyaan yang menggelayuti benakku, siapa orang yang mendampingi bajingan itu? Siapa yang berani-beraninya membantu Billy keluar dari penjara dan menjadi buronan polisi Amerika?

"Bisakah kita bicara di luar?" timpal Andre kepada polisi. "Ada sesuatu yang perlu kukatakan," lanjutnya membuatku penasaran. 

Tanpa melihatku lagi, Andre bergegas keluar bersama polisi yang membuntutinya. Aku mengerutkan kening mengabaikan rasa nyeri di bahu. Apakah Andre mengetahui sesuatu? Kenapa dia harus berbicara berdua seakan-akan ingin merahasiakan satu hal dariku?

Apa yang dia rahasiakan lagi?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro