Chapter 46

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

'You say you're tired of keeping score. Trust me, you're not only one going through this.'

-3 doors down-

Sejak kejadian itu, Andre menambah penjaga untuk memastikan aku aman di penthouse dan menempatkan CCTV yang berukuran lebih kecil di temat-tempat yang tidak bisa dilihat oleh orang lain. Bahkan dia tidak mengatakan padaku di mana letak kamera pengawas tambahan itu. Andre benar-benar tidak mengizinkan pulang ke rumah orang tuaku dan menganggap bahwa di sini masih lebih aman daripada di sana tanpa pengawasannya. Aku tidak terima, bahkan ketika dia tidak ada dan mengandalkan Maxx, tetap saja tempat kami berlindung dibobol juga oleh Billy sampai-sampai kami mendapat perlakuan kekerasan. 

Selain itu, luka tembak yang diberikan Billy di bahuku rasanya tidak terlalu menyakitkan lagi dibanding kondisi Maxx yang harus menjalani perawatan intensif di rumah sakit selama beberapa hari. Ditambah kondisi Emilia dan Betty juga tidak jauh berbeda. Ternyata mereka pingsan akibat dibius oleh seseorang. Aku sangat yakin kalau orang yang mereka maksud adalah pria berbaju hitam yang menyerang Maxx secara membabi buta. 

Saksi-saksi telah dipanggil polisi untuk dimintai keterangan. Emilia keluar dari ruang interogasi dengan wajah lesu membuatku khawatir tentang apa yang dia pikirkan. Apakah dia resah karena Billy menemukan lokasiku? Atau dia masih gelisah atas masalah percintaannya?

"Em?" panggilku menyentuh bahunya. 

Dia tersentak kaget. Wajah yang biasanya tampak ceria kini setegang kawat. Bola mata biru seterang langit itu mendadak menggelap ketika pandangannya beralih padaku, seperti tengah mengasah pisau tajam yang siap menusuk dada. Sesaat kemudian, Emilia berkaca-kaca dan bibirnya gemetaran menahan untaian kata yang tak biasa dia ucapkan. 

Aku merengkuh tubuhnya dalam dekapan, manakala Emilia menumpahkan air mata yang tidak bisa dia tahan lebih lama lagi. Walau banyak pertanyaan yang berputar-putar dalam benak tentang apa saja yang dia bicarakan dengan petugas polisi, aku tidak berani mengajukannya. 

"Ada aku di sini," ucapku lirih. "Apa perlu kita sekamar lagi?"

Emilia melepas pelukannya seraya menggeleng. Dia tertawa nanar, menghapus jejak basah yang menggenangi pipi seperti sedang menertawakan masalahnya sendiri. "I'm okay."

"You're not, Em," kataku. "Apa yang kalian bicarakan di dalam? Apa mereka tahu sesuatu yang tidak kuketahui?"

Ada jeda cukup panjang terjadi di antara kami ketika Emilia membisu dan menundukkan wajah tak berani menatapku. Hanya helaan napas panjang yang terdengar dari bibirnya seolah-olah beban dan rahasia yang dia tanggung sebesar gunung hingga tidak ingin dia bagi kepada siapa pun. Ini semua membuatku makin gelisah. Sebenarnya apa yang dia bicarakan di dalam? Kenapa sahabatku bisa sampai seperti ini? 

"Jika kau sakit, maka aku sakit. Jika kau senang, maka aku senang. Aku takkan membiarkan orang lain membuatmu menderita, Em. Kumohon, katakan padaku, oke?"

Dia menggeleng, menggigit bibir bawahnya. "Aku takut, Lizzie. Aku tidak yakin jika ini benar, maka ..."

"Maka apa?" tanyaku makin tak sabar sampai kuraih dan menggenggam tangannya erat untuk meminta kepastian. "Em? Kau tahu aku tidak suka ada rahasia di antara kita."

Dia memilih bungkam. Aku memicingkan mata kemudian menebak,

"Apa kau tahu sesuatu dari kejadian malam itu?"

"Jika itu benar, aku tidak ingin kau tahu, Lizzie. Aku tidak ingin merusak persahabatan kita hanya karena satu orang," ujarnya. "Maaf, kali ini aku harus pergi lebih dulu. Kau hati-hati di jalan."

Gadis itu melangkah pergi di atas sepatu kets Adidas yang pernah kubelikan tahun lalu sebagai hadiah ulang tahunnya. Tanpa menoleh, Emilia terus berjalan cepat mengabaikan diriku yang mematung atas ucapannya. Kepalaku makin pening seakan-akan mereka semua ingin menjebloskanku ke dalam labirin tanpa jalan keluar meski diberi clue sekali pun. Aku tidak paham, benar-benar tidak mengerti mengapa Emilia harus merahasiakannya hanya karena takut merusak hubungan pertemanan kami. Bukankah kalau seperti ini justru membuat sebuah jurang lebar di antara kami?

Ada apa dengannya?

###

"Hei," panggilku melalui sambungan telepon lalu berpaling ke arah pria berkepala plontos yang menanti dengan tak sabar bahwa kami harus kembali ke penthouse. "Kurasa, aku harus menginap di apartemen lamaku. Ada sesuatu yang ingin kubicarakan dengan Emilia."

"Kenapa kau harus ke sana? Apa kau tidak tahu kondisimu saat ini sangat berbahaya jika keluar seorang diri!" ketus Andre tidak terima. 

"Aku bersama ..." Aku berbalik mengisyaratkan lelaki itu untuk menyebutkan namanya. 

"Ernest Carey, Nona," tandas pria tersebut menerbitkan seulas senyum tipis dan kaku. 

"Iya, aku bersama Mr. Carey. Kau tak perlu khawatir," lanjutku. "Besok pagi, mungkin aku kembali ke tempatmu. Emilia--"

"Sampai kapan kau memedulikan orang lain di saat kau sendiri sedang tidak baik-baik saja, Elizabeth! Jesus! Kau keras kepala sekali, Lizzie!" pekiknya. "Lagi pula sudah kubilang bukankah kau harus hati-hati dengannya? Apa kau tidak tahu, penjahat paling rapi adalah orang yang kau anggap saudara, Ms. Khan!"

"Jadi, kau menuduh temanku?"

"Memang!" jeritnya.

"Andre!" seruku seperti Andre tengah menusukku dengan belati panas tepat mengenai jantung.

"Sekarang siapa lagi orang lain yang bisa membobol rumahku seperti itu, hah! Kau pikir aku sebodoh itu, Elizabeth!" seru Andre masih saja melempar pendapat tak masuk akalnya padaku.

Debaran di dada masih enggan untuk berhenti setelah mendengar penuturan Andre seperti itu. Tidak mungkin kalau Emilia menjadi salah satu oknum yang membiarkan pelaku masuk dan menyerang kami di tengah malam. Lagi pula, dia juga korban kan. Mana mungkin ...

Bukankah itu bisa jadi alibi? 

Sisi lain dalam diriku berbisik membenarkan kalimat Andre, sementara hatiku mengatakan sebaliknya. Aku masih percaya bahwa Emilia tidak akan melakukan hal keji tersebut untuk membantu pria berbaju hitam atau pun Billy. Mereka tidak saling mengenal dan aku tahu Emilia sangat membenci Billy karena telah melecehkanku di masa lalu. 

Refleks aku memutus sambungan telepon dan meminta Ernest untuk mengantar ke apartemen lama dan menemui Emilia. Aku ingin mendengar secara langsung apa pun yang dia katakan kepada polisi tanpa ada satu hal yang disembunyikan. Mana mungkin pertanyaan-pertanyaan yang diajukan para detektif itu berbeda?

Dadaku benar-benar sesak. Air mataku mengucur deras ketika mobil yang kutumpangi melaju cepat di sepanjang 5th Avenue. Jam rasanya berjalan begitu lamat sedangkan jarak yang seharusnya tidak jauh ini mendadak terasa sangat panjang. Pikiranku benar-benar berkecamuk atas tuduhan Andre pada teman baikku. Kenapa dia begitu mudahnya menuduh Emilia tanpa bukti? Apa yang sebenarnya dia bicarakan kepada polisi malam itu?

Tak lama, ponselku berdering menampilkan nama kontak ibuku di sana. Ah, sial! Dia pasti tahu anaknya menjadi trending news di berbagai saluran berita dan tentunya ibu makin panik mengetahui pelaku adalah mantan suami yang telah menghancurkan masa depan putrinya. Menghapus jejak air mata di pipi, aku menjawab panggilan ibuku dan mendengar suaranya memanggil namaku. 

"Aku ingin pulang, hanya saja Andre tidak memberi izin," ucapku lesu seraya memijit kening. 

"Memang apa hak dia, Lizzie! Kau lebih aman bersama kami, Billy keparat tidak akan tahu di mana lokasimu, oke!"

"Aku harus menemui Emilia dulu, nanti kutelepon lagi. Maaf, membuatmu khawatir, Mom," ujarku manakala mobil kami sudah mendekati area gedung apartemen. Ernest mematikan mesin mobilnya kemudian aku langsung bergegas turun seraya berkata, "Apartemenku nomor 307 lantai tujuh!"

"Tunggu, Nona!" teriak Ernest keluar dari mobil. "Nona!" teriakknya lagi tanpa kupedulikan. 

###

"Em!" panggilku begitu berhasil membuka kombinasi sandi pintu apartemen kami. "Em!"

Aku berjalan cepat menuju kamarnya dan mendapati gadis itu tengah meringkuk di atas kasur dengan tisu-tisu berceceran di lantai. Kamar yang biasanya rapi dan wangi kini tak lebih dari penampungan sampah, bahkan baju-bajunya juga berantakan. Tubuhku lemas seketika mengetahui temanku benar-benar tak baik-baik saja. Lantas, bagaimana bisa Andre menuduh Emilia melakukan sesuatu yang kejam terhadapku?

"Em!" seruku menghampiri gadis itu. Aku membaringkan diri di sampingnya, memeluk gadis itu dan mengabaikan rasa nyeri di bahuku. Kami menangis bersama seperti anak kecil yang baru saja kehilangan hadiah dari santa, saling mendekap berbagi kesedihan tanpa tahu kapan harus berhenti. Aku benar-benar menyesal atas apa yang terjadi pada kehidupan kami yang tenang tanpa ada orang yang berusaha memecah belah hubungan yang sudah terjalin hampir enam tahun ini. Pikiranku kalut bercampur takut. Aku tidak bisa membayangkan apa yang dikatakan Andre akan terjadi. Tidak! Emiliaku bukan tipikal wanita seperti itu! Emiliaku adalah perempuan setia yang tidak akan mengorbankan apa pun demi keselamatan temannya.

"Ka-kau harus jujur, Em," ucapku terbata-bata. "Aku ... aku ..."

Emilia mengangguk cepat. "Aku tahu, Lizzie. Hanya saja ... ak-aku ... takut. Aku takut, Lizzie."

Kuhapus genangan air mata yang membasahi wajah cantik Emilia lalu menangkupnya untuk menemukan sesuatu yang dia sembunyikan padaku. "Tolong, katakan apa pun yang kau lihat malam itu, Em. Katakan bahwa kau tidak mungkin--"

"Tidak!" serunya menyela ucapanku. "Aku tidak akan pernah melakukan hal keji itu padamu, Lizzie!"

"Lalu?" Aku mendesaknya di batas kesabaran. "Kenapa kau--"

"Sam."

"Sam?" Aku mengernyit tak mengerti. 

Emilia melenggut lagi dan kini bibirnya makin bergetar hebat serta tangisnya makin pecah. 

"Sam ... dia anaknya Billy, Lizzie!" seru Emilia sesenggukan. "Sam ... Sam adik Andre ... dia..." gadis itu tak sanggup melanjutkan kata-katanya lagi ketika jantungku serasa dicabut dari rongga dada. 

"Sam?" lirihku kini bisa melihat jelas siapa pria di balik masker dan topi hitam malam itu. Pria yang menatap begitu dingin seperti ingin menembakku dengan pistol di tangannya tanpa memedulikan bahwa aku adalah kekasih kakaknya sendiri. 

Napasku terasa sesak mengetahui sebuah kenyataan pahit bahwa Sam adalah anak Billy. Lalu, siapakah Andre? Siapakah kakak-beradik itu? Kenapa mereka bisa menjadi keluarga Abraham Jhonson? Atau jangan-jangan ...

Jadi, selama ini ....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro