Chapter 47

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

'I'm trying to escape. I yelled back when I heard thunder. But I'm down to one last breath.'

-Creed-

Apakah aku sedang menggali kuburanku sendiri?

Pertanyaan itu kini memenuhi kepala, berputar-putar membentuk pusaran yang bisa jadi akan menghilangkan sebagian besar kesadaranku. Mengetahui Andre adalah anak Billy, pria kejam yang telah merenggut harga diriku, membunuh George hanya karena cintanya bertepuk sebelah tangan dengan ibuku, menjadi sebuah mimpi buruk yang tidak ingin aku ulangi. Sialnya, mimpi buruk ini tidak kunjung berakhir sebesar apa pun usahaku untuk bangun. 

Dadaku makin terasa sesak seperti dipenuhi bebatuan bersamaan ratusan pisau tajam yang baru diasah tengah menancap punggung. Sakit. Rasanya benar-benar sakit mengetahui pria itu adalah anak Billy. Kekasihku adalah anak dari pria yang membuatku gila. Andre. Kenapa harus dia? Kenapa harus aku? Kenapa harus kami?

Mobil yang kutumpangi melalui bangunan pencakar langit dan dihiasi kendaraan dan lengkingan teriakan orang-orang yang tak sabar untuk mencapai tujuan tak lagi berarti di telinga. Tatapanku bertemu dengan Ernest yang sedari tadi membisu, namun dia mengambil kotak tisu yang disimpan dalam dasbor. Dia memperlambat laju mobil saat di persimpangan jalan, lalu berbalik memberikan tisu itu kepadaku. 

"Maaf," kataku sesenggukan menerima tisu itu. 

Ernest hanya tersenyum simpul, tapi dari sorot matanya yang teduh, aku tahu dia ingin bersimpati atas apa yang terjadi. Sementara air mataku tak mau berhenti sekali pun, makin mengucur deras sampai-sampai mataku terasa pedih. Kupukul dada berusaha untuk mengeluarkan bebatuan yang mengganjal dan berharap kenyataan tersebut sebatas ilusi.

"Bisakah kita berhenti di suatu tempat yang sepi? Aku ingin menepi sejenak," pintaku pada Ernest dengan suara gemetaran. Aku membutuhkan satu ruang di mana tidak ada seorang pun muncul, berteriak sekeras mungkin merutuki kehidupanku sendiri yang tidak pernah diberi kesempatan untuk merasakan ketenangan. Selama bertahun-tahun aku selalu diliputi bayang-bayang Billy, berharap lelaki itu mendapatkan karma setimpal. Namun nyatanya, Tuhan lebih suka melihatku terus-menerus dihantui pria keji itu sampai mengirim Andre kepadaku.  

"Hari sudah mulai malam, Nona, Mr. Jhonson memintaku untuk membawa Anda pulang secepat mungkin," kata Ernest menekan pedal mobil melaju perlahan melalui 5th Avenue. 

Aku mengusap wajah penuh kegusaran dan dadaku makin bergemuruh bagai ombak menghantam karang tanpa rasa takut. Begitu memasuki area penthouse Andre, aku sudah membulatkan tekad untuk pergi dari sana. Aku harus kembali ke Florida apa pun caranya. Aku sudah tidak peduli. Hanya di rumah kehidupan bisa berjalan normal dan aman. Hanya di rumah hidupku tidak akan pernah diusik oleh Billy, walaupun harus memutus hubungan dengan persetan yang menjadi tunanganku.

Mesin Audi berhenti di basemen, aku langsung melesat keluar mengabaikan teriakan Ernest sembari mengusap air mata yang belum mau berhenti. Menekan lift dengan sesenggukan, lalu masuk ke dalam kotak besi itu berharap tidak perlu melihat wajah Andre atau mendengar penjelasannya lagi. Semua perkataan selalu dilapisi kebohongan-kebohongan lain yang membuatku benar-benar muak. 

Lift berdenting di lantai teratas di mana penthouse Andre berada. Aku bergegas keluar, berpacu dengan waktu untuk mengambil semua barang-barangku dari sana. Sial sungguh sial, begitu membuka pintu sosok Andre yang muram bercampur marah berdiri di sana. Ikatan dasinya telah melonggar seiring rambut tembaganya yang acak-acakan. Apakah dia sudah mendengar pengakuan Emilia dari Ernest? Apakah dia ingin menahanku di sini dengan semua alibi barunya? Atau ... dia akan memohon ampun lagi kemudian membuat kesalahan lainnya?

"Lizzie ..." Suara Andre rendah terdengar bagai permohonan di telinga. 

"Jangan memanggilku seolah-olah kita--" Ucapanku tertahan di kerongkongan seperti bola tenis yang berusaha dimasukkan paksa ke dalam mulut. Rasa sakit hati atas kenyataan pahit yang kuterima hari ini benar-benar membuatku gila. Kepalaku serasa ingin pecah saat mengelak kebenaran bahwa ada darah Billy yang mengalir di tubuh Andre. Priaku. Kekasihku. Kenapa aku harus menjatuhkan hati ini pada anak dari pria yang merenggut harga diriku? Kenapa aku terlena pada anak dari pria yang membunuh ayahku? Kenapa?

"Biar aku jelaskan, Lizzie," ujar Andre berusaha setenang mungkin walau emosi dari raut wajahnya tidak dapat dibendung. "Aku--"

"Kau anak Billy, Andre," selaku kemudian menunjuk dadaku sendiri. "Kau tahu apa yang dia perbuat di tubuh ini? Kau tahu apa yang dia lakukan pada ayahku? Penjelasan apa lagi yang harus kudengar? Kau ... anak Billy, dan itu tidak bisa--"

"I'm not, Lizzie. Aku bukan--"

"Kau anaknya, Andre!" jeritku putus asa. "Kau anaknya! Kau anak pembunuh ayahku! Kau ... kau ... bagaimana bisa kau ..." Andre menghampiriku namun kakiku refleks mundur untuk menghindarinya. "Stop!"

"Lizzie!" Andre bergerak tak mau menyerah.

"Kubilang stop!" teriakku frustrasi. 

"Aku tidak bohong, Lizzie!" pekik Andre. "Aku bukan anaknya!"

"Kau bohong, Andre. Sampai kapan kau bohong, huh!"

"Demi Tuhan, Elizabeth! Aku bukan anak kandungnya! Dia ayah tiriku! Tapi, kami sudah lama tidak berhubungan karena dia membunuh orang tuaku dan hampir membunuh Sam!" 

What?

Omong kosong apa lagi ini?

"Kau gila, Andre. Kau pembohong." Suaraku gemetaran bukan main hingga memeluk diri sendiri merasakan atmosfer di sekitar kami mendadak menjadi dingin. Imajinasi tentang Billy yang menghabisi orang tua Andre terbayang-bayang dalam benak. Tapi, apakah itu benar atau sekadar kebohongan lainnya?

"Kalau aku pembohong, kenapa aku bersusah payah melindungimu, Lizzie?" tandas Andre. "Kalau aku memang anak dari bajingan itu, sedari dulu sudah kuserahkan kau padanya."

Mendengar perkataannya, bulu kudukku merinding seketika. Dua sisi dalam diriku bergejolak, saling melempar hujatan juga ketakutan dalam waktu bersamaan. Menyangkal juga membenarkan membuat suara-suara dalam kepala bermunculan. Andre benar. Andre juga salah. Dia berusaha melindungiku. Dia juga menghancurkan kepercayaanku tuk sekian kalinya. Dia mencintaiku. Dia menjebakku. 

"Kalau kau mau mendengar semuanya, akan kukatakan. Asal jangan pergi," kata Andre berjalan perlahan mendekatiku. 

"Kebohongan mana lagi yang akan kau sembunyikan?"

"Aku tidak pernah menyembunyikan apa pun, Lizzie."

"Kenyataan bahwa kau anak Billy?"

Andre berdiri di hadapanku, sebelah tangannya hendak menyentuh pipiku namun aku bergerak mundur seraya menahan napas. Aku takut. Benar-benar takut jikalau mengetahui kebenaran lain dari bibirnya. 

Lelaki itu bertekuk lutut lalu berkata, "Rabalah kepalaku, Lizzie."

"Apa?"

Dia mendongak. "Rabalah maka kau akan temukan jawaban lain yang mengusik hatimu."

Mau tak mau, aku menuruti permintaannya, menenggelamkan jemari kananku ke rambut tebal Andre dan meraba kepalanya. Dari bagian depan sampai tengah tidak ada apa-apa, namun saat agak ke belakang, ada sebuah bekas jahitan melintang cukup panjang yang tertutupi rambut. Seketika aku menyibak bagian tersebut dan membungkam mulut tercengang bukan main.

"Itu adalah bekas luka yang diberikan Billy saat malam kelam itu," ucapnya dengan suara gemetaran dan memejamkan kedua mata seolah-olah berusaha menggali kenangan buruk yang dipendamnya selama bertahun-tahun. "Dia membunuh ayahku yang cacat setelah menyetubuhi ibuku. Membuat alibi bahwa kematiannya karena jatuh dari tangga dan polisi percaya begitu saja."

"Andre ..." Air mataku pecah tanpa bisa ditahan lagi. Seburuk itukah masa lalunya?

"Dia menghancurkan keluarga kami, Lizzie. Merebut ibu dari ayahku, menyetubuhinya bagai binatang, lalu merenggut nyawanya seperti manusia tak berguna." Dia menengadah dan bertemu tatap denganku. Matanya memerah menahan semua luka batin yang dia saksikan di umur yang masih sangat muda. Oh Tuhan ... Andreku yang malang. 

"Tidak hanya itu saja. Aku melihatnya hampir membunuh adikku. Darah dagingnya sendiri, Lizzie. Aku melemparinya dengan botol bir, tapi dia malah menghajarku."

Aku berdiri di atas lututku, memeluk pria itu dalam dekapan sambil menangis tidak bisa membayangkan anak-anak seperti Andre harus melihat kejadian memilukan yang merenggut nyawa kedua orang tuanya. Dia terisak sampai bahuku basah karena air matanya. 

"Aku minta maaf jika menyembunyikan hal ini darimu, Lizzie," ujarnya terbata-bata. "Bukan inginku merahasiakan ini, tapi ... pertama kali mendengar kau adalah korban dari Billy, aku tidak tinggal diam. Aku berusaha sekuat tenagaku untuk melindungimu dari bajingan itu. Maafkan aku."

Aku melepas dekapan, menangkup wajahnya yang bercucuran air mata seperti anak kecil kehilangan anjingnya. Tidak ada kebohongan dari bola mata Andre. Rahasia gelap atas peristiwa kelam itu terpancar dari sorot matanya yang suram. 

"Hei ... ada aku di sini, oke." Aku menciumnya dengan sayang, merangkul tubuhnya erat sembari mengucapkan betapa menyesal telah menuduhnya. Andra hanyalah korban dari keegoisan dan kekejaman Billy. Tak semestinya aku langsung menghardik kekasihku seperti ini dan menelan bulat-bulat pernyataan Emilia. "Maafkan aku telah marah padamu, Andre."

"Apa kau akan percaya padaku?"

Aku melenggut. "Selama kau jujur."

"Aku selalu jujur, Lizzie. Tidak pernah ada dusta di dalamnya," kata Andre terdengar tulus. "Apakah kita baikan?" Dia menjauh dari pelukan dan menghapus jejak basah di pipiku. 

 "Kurasa."

"Aku mencintaimu, Lizzie."

"I know," ujarku menerima cumbuan mesranya. 

"Only you."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro