Chapter 48

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

'It's hard to deal with the pain of losing you everywhere I go.'
-Rascal Flatts-

Semalaman aku terjaga tanpa ada rasa kantuk yang menyapa. Seluruh cerita kehidupan di masa lalu Andre berputar-putar dalam kepala membentuk pusaran yang membuatku mual. Tak mampu membayangkan lebih jauh bahwa Andre di masa kanak-kanak mengalami hal di luar nalar yang memaksanya menjadi dewasa. Bagaimana dia menjadi saksi hidup kematian kedua orang tuanya yang tragis, membawa Sam yang masih bayi di tengah derasnya salju sebelum ditemukan oleh Abraham Jhonson.

Kuraba bekas luka di leher, menahan pedih kala tangan tak senonoh Billy menjamah lebih gila. Air mataku berlinang dan bibirku gemetaran menghalang desakan jerit pilu walau hati begitu sakit bukan main merasakan mengapa Tuhan membuat benang merah menyakitkan untuk kami. Kenapa harus melalui cara ini aku bertemu dengan Andre? Kenapa? Bukankah seharusnya pertemuan dua manusia itu selalu diawali oleh sesuatu yang mengesankan dan menyenangkan?

"Kau kenapa?" suara serak Andre di sisi kananku terdengar. Dia membuka mata lantas menarikku ke dalam dekapan hangatnya yang terasa nyaman. "Ada sesuatu yang kau pikirkan?"

Bibirnya mengecup lembut keningku seolah-olah ingin menghapus satu persatu dilema yang masih menguasai kepala. Andre bergerak untuk menyejajarkan posisinya dengan mataku lantas berkata lagi, "Jika yang kau pikirkan adalah masa laluku, aku akan sangat merasa bersalah, Lizzie. Kalau tahu akan seperti ini jadinya, lebih baik aku tidak memberitahumu."

"Aku hanya ... merasa egois," jawabku lalu menggigit bibir bawah. Itu benar. Aku merasa semua orang harus mengerti diriku sementara tidak memikirkan bahwa ada orang lain seperti Andre pernah menderita. "Terutama kepadamu."

"Aku bisa mengerti, tidak apa-apa. Itu wajar karena kau pernah mengalami sesuatu yang buruk di masa mudamu," kata Andre berusaha menenangkan diriku tapi nyatanya itu tak bisa melegakan sesuatu yang mengganjal dalam dada. "Itu sudah terjadi bertahun-tahun lalu."

"Begitu pula denganku," tandasku mengamati iris biru samudranya yang sedikit berkilau diterpa cahaya rembulan yang menembus jendela kamar.

"Sudahlah ... " Andre mengusap rambutku lembut. "Aku tidak apa-apa, Lizzie. Sekarang tidurlah, oke. Demi kesehatanmu." Dia mencium bibirku lalu menerbitkan seulas senyum tipis. "Aku mencintaimu. Selalu."

Andre memejamkan mata lagi tanpa menungguku membalas kalimat manisnya itu. Aku merapatkan diriku kepadanya, merasakan lembut nan hangat embusan napas Andre, merasakan kulitnya bersentuhan dengan kulitku, dan denyut nadinya yang seirama denganku. 

Mengamati wajahnya yang tertidur pulas begitu cepat, aku bertanya-tanya dalam hati, kesabaran dan keikhlasan macam apa yang dimiliki Andre sampai menganggap kejadian di masa lampau hanyalah angin lalu? Mengapa aku masih tidak bisa terima atas apa yang dilakukan Billy padaku? Mengapa aku masih terjebak dalam bayang-bayang menakutkan yang diciptakannya? Akibat terlalu banyak berpikir, pada akhirnya aku jatuh terlelap dibuai mimpi.

Apakah hidupku akan menemukan akhir yang bahagia seperti bunga tidur yang selalu kupijaki?

###

Paginya aku tidak menemukan Andre di sampingku, melainkan secarik memo yang dia tinggalkan di bawah cangkir kopi hangat yang diletakkannya di atas nakas. Di samping cangkir berbahan keramik tersebut, ada sepiring sandwich juga sebuah apel segar. Aku menarik kertas tersebut lalu membaca bahwa Andre harus pergi ke luar kota akibat ada urusan mendadak. 

Urusan apa memangnya?

Aku mengerutkan alis beberapa saat, sepenting apa pun masalah pekerjaan bukankah dia semestinya membangunkanku sekadar berpamitan secara langsung? Atau mungkin karena dikejar waktu, dia tidak sempat memberiku sebuah kecupan pagi hari?

Apa kau berlagak seperti seorang istri yang merajuk, Lizzie? Dewi batinku mengolok sambil memutar bola mata. 

Entahlah, pikirku masih mengamati tulisan yang nyaris tak dapat dibaca oleh orang lain. Andre menyuruh untuk mengambil sandwich buatannya sendiri. Extra ham dan keju. Itu kata yang diukirnya di akhir memo. 

Sempat membuat sandwich, tapi tak sempat berpamitan. Dasar pria! sungutku dalam hati lantas melipat surat tersebut dan memasukkannya ke dalam laci. Kemudian meraih cangkir untuk menghirup dalam-dalam aroma biji kopi sebelum meneguknya. 

Selanjutnya aku beranjak dari kasur, meregangkan lengan dan bahu yang terasa pegal. Ini akibatnya jika tidur tak terlalu nyenyak semalam dan hanya terlelap selama  beberapa jam. Tubuhku pasti akan protes sedikit berlebihan dan terkadang mempengaruhi suasana hati selama seharian penuh. Tentu saja kalian tahu bagaimana perempuan sedang mengalami masa-masa bad mood. Mereka lebih menyeramkan daripada seekor singa.

Kugeser pintu balkon, membiarkan udara masuk ke dalam kamar sembari memeluk lengan dan mengamati hiruk pikuk kota di bawah. Sejujurnya aku rindu bekerja, tapi setiap kali terjun ke dalam dunia penuh kesibukan tersebut selalu ada kejadian yang tidak membuatku aman. Ini semua karena Billy. 

Pria itu masih di luar sana. Buronan yang sangat susah ditangkap oleh kepolisian kota. Selama berhari-hari pemberitaan mengenai dirinya juga tidak berangsur-angsur surut. Bahkan kini keluarga Jhonson ikut terseret menjadi perbincangan publik yang masih bertanya-tanya mengenai hubungan Billy dengan Sam. 

Ternyata kejadian nahas di penthouse beberapa waktu lalu sempat terekam oleh seseorang kemudian diunggah di media sosial. Bagaimana Billy memanggil Sam sebagai putra kesayangan. Meski sempat diabaikan karena malas menanggapi pertanyaan wartawan, mau tak mau akhirnya Abraham Jhonson buka suara. Dia menyatakan bahwa pria yang ada di kediamannya waktu itu di bawah kendali obat-obat terlarang sampai meracau tak jelas dan melecehkanku. 

Aku berpikir, bagaimana jika orang-orang tahu kalau kenyataan yang disembunyikan Abraham dari dunia terendus lagi? Bagaimana jika pada akhirnya mereka tahu dan menghina Sam maupun Andre sebagai anak pembunuh?

Satu hal lagi. Siapa yang datang bersama Billy dan menyusup ke mari malam itu?

A-aku takut, Lizzie ... a-aku takut itu akan merusak persahabatan kita."

Ketakutan yang terpancar begitu jelas dari kalimat Emilia masih tertanam jelas di kepala. Teka-teki yang selama ini menjadi sebuah pertanyaan besar mengapa Billy bisa kabur dari penjara. Mengapa dia bisa tahu lokasiku berada dan ... bisa menelusuk masuk tanpa diketahui penjaga rumah Andre, seolah-olah ada orang dalam yang mengizinkannya mengobrak-abrik tempat ini. Anehnya, segala sesuatu yang berkaitan dengan pria bajingan itu selalu ada Emilia di dalamnya. 

"Sam anak Billy!"

Refleks aku membungkam mulut dengan tangan gemetaran akhirnya menemukan benang merah yang terlalu jelas untuk dijadikan kenyataan. Jantungku nyaris melompat dari balkon tidak menyangka. Mengapa tidak terpikirkan olehku sejak awal? Mengapa baru sekarang aku sadar kalau dia ... memanfaatkan Emilia secara tidak langsung? Dia tahu kelemahan Emilia adalah aku. 

Bajingan!

Buru-buru aku mencari ponsel di atas nakas untuk menelepon Andre. Dia harus tahu bahwa dalang di balik kejadian tersebut adalah adiknya sendiri. Sehingga kemungkinan terbesarnya Billy disembunyikan Sam. Gigiku gemeletuk tak sabar sementara kakiku berjalan mondar-mandir menanti Andre menjawab telepon. Ah sial! Di mana dia di saat-saat seperti ini?

"Jawab teleponku, Andre, please ..." geramku gemas dan sialnya sambungan telepon terhubung ke layanan mailbox. 

Jikalau aku pergi untuk menemuinya pun, tidak ada jejak yang memberitahu ke mana Andre pergi. Tak kehabisan akal, kucoba menelepon Emilia dan mengorek sedikit informasi keberadaan Sam. Jika dia tahu, aku bisa pergi ke kantor polisi dan membuat laporan kalau dia menyembunyikan pria gila yang meneror dan membuat kekacauan bukan? 

"Hei!" seruku senang bukan main saat mendengar suara serak Emilia. "Aku tahu siapa yang menyusup ke penthouse Andre, Em."

"Sam," jawab Emilia lesu. "Aku sudah tahu."

"Kenapa kau tak bilang?" ketusku kesal. "Kita bisa melaporkannya ke polisi, Em. Aku yakin Billy bisa ditangkap kan?"

Ada jeda cukup panjang yang terbentang membuatku mengerutkan kening. Apakah karena memiliki perasaan kepada Sam, dia menjadi begitu lembek dan tidak berpendirian seperti itu? Bukankah seharusnya sebagai reporter yang selalu menguak kebenaran, Emilia senang bila teka-teki ini terpecahkan? Kenapa dia jadi diam seolah-olah kehilangan nyawa?

"Are you okay?" tanyaku. "Apa karena Sam anak Billy atau karena--"

"Apa kau tidak melihat berita pagi ini? Dia dibekuk polisi, Lizzie," kata Emilia mengejutkanku. "Semua bukti-bukti dia membantu membebaskan Billy, pembobolan rumah Andre, dan penyerangan kala itu ... segalanya mengarah kepada Sam."

Buru-buru mengambil remote dan menyalakan televisi untuk mencari saluran berita yang menyiarkan penangkapan Sam. Biji mataku serasa ingin mencuat saat foto-foto di mana Sam diborgol oleh petugas polisi yang tergabung dengan FBI. Pembawa acara menerangkan jika Sam ada sangkut pautnya terhadap penyerangan yang terjadi di bisnis salon milik Andre. 

Melibatkanku sebagai korban.

"Billy?" tanyaku penasaran bagaimana akhir bajingan itu. 

"Dia kembali jadi buronan. Polisi masih mencari jejak Billy yang diyakini tidak jauh dari lokasi persembunyiannya di pinggir kota," terang Emilia menimbulkan rasa resah di hati. 

"Apa kau baik-baik saja, Em? Aku bisa menemuimu sekarang," ucapku bersimpati tak ingin Emilia bersedih seorang diri. 

"A-aku ..." 

Kalimat Emilia menggantung di udara begitu saja seakan-akan tidak mau menjadi beban. Andai bisa ke apartemen lama kami dalam hitungan detik, aku benar-benar ingin mendekapnya dan berkata bahwa masih banyak lelaki yang lebih baik dari Sam. Pria itu tidak pantas dipertahankan sedalam apa pun cintanya. Bagiku segala perhatian Sam hanya untuk menjebak Emilia supaya bisa menyerangku. Lagi pula Emilia adalah gadis cantik, pintar, dan memesona. Tentu saja tidak ada lelaki yang tidak mau berkencan dengan temanku itu. 

Aku benar kan?

"Kau kenapa?" tanyaku makin gelisah. "Jangan--"

"Aku hamil, Lizzie!" serunya. "Aku hamil anak Sam!"

What? Lelucon apalagi ini Tuhan?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro