14. Kama

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Rabu, 15 Desember

.

Selama beberapa hari ini, aku hampir melupakannya sama sekali. Laki-laki yang dulunya, sebelum kejadian Sebelas Desember, mengisi paruh yang besar dalam tiap ruang di kepalaku. Aku memikirkannya hampir setiap saat, melamunkan berbagai kemungkinan aku dan dia menjadi kami, kita, satu kesatuan. Tetapi sekarang, dengan setiap ketakutan yang membayangi tiap napas yang kuhirup, semuanya lenyap. Aku bahkan tidak lagi mengerti kenapa aku pernah begitu menginginkannya.

Nawala berdiri di depanku. Atau aku harus memanggilnya Rei? Dia datang dengan penampilan yang tidak serapi biasanya. Dan melihat bagaimana ia tidak tampak kebingungan dan berjalan mantap ke arahku yang berdiri tepat di depan ruang perawatan Laura, aku dapat menyimpulkan ini bukan kali pertama dia kemari.

"Nana," sapanya.

Aku membalas dengan satu menyum tipis. "Kak."

Dia tampan, ya. Lalu kenapa? Yang kuinginkan hanya Kama kembali, Laura bangun, Ghea sehat... itu saja. Yang kuinginkan hanya mendengarkan lagu Day6 sampai gila bersama Ulfi lagi.

Sambil membalas senyumku, dia bertanya, "Gimana Laura?"

"Masih sama," jawabku.

Dan Nawala tidak bertanya lagi. Dia mengerti. Masih sama artinya keadaannya masih separah kemarin. Masih kritis. Masih tidak diketahui kapan ia akan bangun. Ataukah apa ia akan bangun atau tidak sama sekali.

Kami lalu memutuskan untuk berjalan keluar dari aroma pengap rumah sakit. Tidak jauh, ada sebuah kafe kecil, berseberangan dengan hotel. Di kafe itulah, kami memutuskan untuk duduk bersama, memesan dua gelas jus dan dua porsi eggdrops. Makanan yang menggugah, seandainya situasinya berbeda. Sekarang, aku kesulitan menelan apapun melewati tenggorokan.

Kafe itu cukup hening. Lagu yang diputar melalui pengeras suara di sudut kafe tidak diputar dalam volume keras, hanya cukup untuk mengisi ruang yang senyap itu. Aku juga tidak repot-repot memecah keheningan di antara kami, aku dan Rei. Aku selalu suka keheningan. Nawala yang terbiasa melakukannya, mencari topik baru. Dia seperti matahari pagi, cerah, memikat, disukai. Akan tetapi kali ini, aku dapat melihat awan mendung di atas kepalanya, menyembunyikan matahari pagi yang cerah itu.

"Kamu nggak apa-apa?" tanyanya setelah beberapa saat.

Dan selama sesaat, aku tidak tahu harus menjawab bagaimana. Secara fisik ya, aku tidak apa-apa. Secara batin, psikopat mana memangnya, yang akan baik-baik saja setelah melalui apa yang aku lalui?

"Aku nggak nyangka ini akan terjadi," katanya lagi. Suaranya, secara mengejutkan terdengar berat, serak.

Aku menoleh untuk menatapnya, tanpa mengatakan apa-apa. Di antara kami, embun mulai membanjiri bibir gelas. Egg drops kami sudah mendingin. Namun di antara kami, tidak ada satupun yang menyentuhnya.

Sambil menatapku balik, Rei kembali bicara. "Baru kemarin, sehari sebelum kejadian itu aku ketemu kamu. Dan renacananya, hari itu aku mau ketemu Rara. Sengaja, aku bilang nggak bisa dateng. Aku udah nyiapin kejutan..."

Kali ini aku menunduk, menatap tanganku di pangkuan. Mereka saling remas, hanya demi menyalurkan rasa sakitku. Tidak, ini bukan rasa sakit yang seperti itu. Bukan karena aku cemburu, bukan lagi. Ada ngilu yang dapat kurasakan dari suara Rei, bercampur dengan kesakitanku sendiri, dengan segala ketakutanku, dengan segala rasa bersalah yang terus menggerogotiku.

"Seharusnya aku nggak pura-pura cuek kemaren," kata Rei lagi. "Seharusnya aku langsung datang padanya. Seharusnya aku bisa ketemu dia dan menghabiskan waktu lebih lama. Seharusnya..."

Juga ada nyeri lainnya. Rasa sesak tiba-tiba saja menyerangku. Membuat pandanganku mengabur dan kepalaku seakan dipukul ribuan palu.

"Seharusnya aku langsung mengatakan saja sama Rara kalau aku ... suka sama dia."

Surat itu. Ia menyampaikannya lewat surat itu. Surat yang kuhancurkan menjadi berkeping-keping. Jika aku tidak merobeknya, mungkinkah ceritanya akan menjadi berbeda sekarang? Mungkinkah pelarian itu tidak pernah ada? Mungkinkah Ulfi masih di sini dan Kama baik-baik saja?

Atau setidaknya ... jika saja aku tidak merobeknya, Laura akan terbaring di sana, mengetahui seseorang yang ia puja juga menyimpan perasaan yang sama besarnya. Mungkin dengan cara itu, ia akan bangun. Dan dengan cara itu, Rei tidak punya penyesalan. Dan aku ... tidak perlu sesak oleh rasa bersalah ini.

Lalu, skenario-skenario itu mulai bermunculan di kepalaku. Kecelakaan yang diputar ulang, kemudian beputar mundur, seperti semula, seperti belum terjadi apa-apa. Rei dan Laura mungkin sedang bahagia sekarang. Ulfi sedang mendengarkan Day6. Kama sedang berolahraga. Ghea menonton drama. Dan aku ... aku ...

Kumohon hentikan. Aku meremas ujung meja. Memohon kepada bukan siapa-siapa. Karena... rasa sakit itu semakin menjadi, menghantamku keras-keras.

"Na? Kamu nggak papa?"

Samar, aku dapat mendengar Rei bicara. Tetapi tidak mampu meresponsnya. Bahkan wajahnya terlihat buram.

"Na?"

Cukup. Aku tidak tahan lagi. Aku ...

Wajah Rei yang samar kemudian berubah menjadi putih, lalu hitam. Lalu semua hitam dan aku tidak lagi mendengar apa-apa, segera setelah merasakan tubuhku melayang jatuh ke lantai.

***

Kurasa, aku pingsan. Aku terbangun di tempat tidur Ghea. Merasa yakin tentangnya setelah melihat parsel buah dan teko yang sama seperti yang kuletakkan di atas lemari di sisi tempat tidur Ghea tadi pagi.

Aku bangkit berdiri, kemudian melongokkan kepala untuk mencarinya. Kupikir, Ghea sedang berada di toilet. Namun sekitar lima belas menit dan aku tidak kunjung melihatnya. Jadi, aku turun dari tempat tidur, mengenakan kembali sneakersku dengan asal, dengan menginjak ujungnya, lalu berjalan dengan terseret ke luar ruangan.

Aku menemukannya berdiri di depan kamar Kama. Tetapi yang membuatku terkejut dan menghentikan langkah sebelum sampai di sana, bukanlah tentang pakaian rumah sakit Ghea yang kumal, bukan tentang idirnya yang bertelanjang kaki, atau rambutnya yang tidak mendapat sisiran.

Ghea sedang menangis. Ia menangis tersedu-sedu di depan kamar Kama sembari memeluk lutut. Sesekali, tangisnya menderas dan ia akan meneriakkan nama cewek itu. Disekelilingnya, adalah keluarga Kama. Ibunya, juga abangnya. Dan tidak ada satupun di antara mereka yang tidak menangis kencang.

"Kamaaa... Kumohon, Ma...."

Mendadak, lututku lemas. Pikiran-pikiran terburukku bermunculan ke permukaan. Aku mulai meremas tanganku dan menggigit kukuku dengan kalut. Tidak. Kumohon... jangan berita itu... jangan lagi...

Pintu ruang rawat itu terbuka. Beberapa perawat tampak keluar. Dan mereka ... membawa sebuah ranjang dorong. Ada seseorang di atasnya. Kama ... Kama di sana, tertutup kain putih ... hingga kepala.

Seketika itu pula, kakiku goyah dan tidak lagi sanggup menopang bobot tubuh. Aku jatuh terduduk di lantai yang dingin, memandangi kain putih itu, memandangi ranjang yang didorong menjauh.

"Bahkan meskipun ia selamat, ia tidak akan kembali seperti semula. Ia mungkin akan kehilangan fungsi kaki, dan akan membutuhkan operasi berbeda untuk wajahnya yang hancur," aku masih mengingat perkataan dokter yang kucuri dengar waktu itu.

Airmataku berjatuhan di lantai. Aku menangis, keras-keras.

Sementara di kepalaku, kalimat terakhir Kama masih terngiang-ngiang dengan begitu jelasnya.

"Sok-sokan. Ke toilet aja ditemenin. Lo kan kemana-mana nggak bisa sendiri, Upi, perlu ditemenin."

Apakah ini jalan terbaik? Kamu telah pergi, Kama, menempuh jalan yang sama yang ditempuh Ulfi. Kuharap kalian berjalan bersama. Kuharap kalian ... bisa tertawa bersama hingga aku iri. Aku sangat iri.

Ulfi ... Kama ... selamat jalan. Kuharap kalian bahagia.

***


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro