15. Him

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Minggu, 13 Desember 16. 44 WITA.

.

Selama beberapa hari ini, aku hampir melupakannya sama sekali. Laki-laki yang dulunya, sebelum kejadian Sebelas Desember, mengisi paruh yang besar dalam tiap ruang di kepalaku. Aku memikirkannya hampir setiap saat, melamunkan berbagai kemungkinan aku dan dia menjadi kami, kita, satu kesatuan. Tetapi sekarang, dengan setiap ketakutan yang membayangi tiap napas yang kuhirup, semuanya lenyap. Aku bahkan tidak lagi mengerti kenapa aku pernah begitu menginginkannya.

Nawala berdiri di depanku. Atau aku harus memanggilnya Rei? Dia datang dengan penampilan yang tidak serapi biasanya. Dan melihat bagaimana ia tidak tampak kebingungan dan berjalan mantap ke arahku yang berdiri tepat di depan ruang perawatan Laura, aku dapat menyimpulkan ini bukan kali pertama dia kemari.

"Nana," sapanya.

Aku membalas dengan satu menyum tipis. "Kak."

Dia tampan, ya. Lalu kenapa? Yang kuinginkan hanya Kama kembali, Laura bangun, Ghea sehat... itu saja. Yang kuinginkan hanya mendengarkan lagu Day6 sampai gila bersama Ulfi lagi.

Sambil membalas senyumku, dia bertanya, "Gimana Laura?"

"Masih sama," jawabku.

Dan Nawala tidak bertanya lagi. Dia mengerti. Masih sama artinya keadaannya masih separah kemarin. Masih kritis. Masih tidak diketahui kapan ia akan bangun. Ataukah apa ia akan bangun atau tidak sama sekali.

Kami diam untuk beberapa saat. Aku tidak menghitung waktu. Tetapi tiap detik yang terlewat, aku mengutuki diriku dalam diam. Kenapa kehadirannya membuat beban ini sedikit terangkat? Mengapa tubuhnya yang berdiri di sisiku menguarkan hangat? Kenapa ... aku ingin bersandar di pundaknya dan menceritakan lelahku?

Seperti yang selama ini kulakukan.

"Mau keluar sebentar?" tanyanya.

Aku tidak menjawab. Tetapi memutar tumitku, mulai melangkah menuju persimpangan lorong.

Kami memutuskan untuk berjalan keluar dari aroma pengap rumah sakit. Tidak jauh, ada sebuah kafe kecil, berseberangan dengan hotel. Di kafe itulah, kami memutuskan untuk duduk bersama, memesan dua gelas jus dan dua porsi eggdrops. Makanan yang menggugah, seandainya situasinya berbeda. Sekarang, aku kesulitan menelan apapun melewati tenggorokan.

Kafe itu cukup hening. Lagu yang diputar melalui pengeras suara di sudut kafe tidak diputar dalam volume keras, hanya cukup untuk mengisi ruang yang senyap itu. Aku juga tidak repot-repot memecah keheningan di antara kami, aku dan Rei. Aku selalu suka keheningan. Nawala yang terbiasa melakukannya, mencari topik baru. Dia seperti matahari pagi, cerah, memikat, disukai. Akan tetapi kali ini, aku dapat melihat awan mendung di atas kepalanya, menyembunyikan matahari pagi yang cerah itu.

"Kamu pasti kaget." Adalah kalimat pertama yang diucapkan Nawala semenjak kami duduk. Setelah beberapa lama hanya senyap.

Dan selama sesaat, aku tidak tahu harus menjawab bagaimana. Jika setiap orang yang melihatku akan bertanya apa aku baik-baik saja, Psikopat mana memangnya, yang akan baik-baik saja setelah melalui apa yang aku lalui? Nawala tidak melakukannya. Dia ... memahamiku. Rasanya seakan begitu.

"Aku nggak nyangka─nggak ada yang nyangka ini akan terjadi," katanya lagi. Suaranya, secara mengejutkan terdengar berat, serak.

Aku mengangkat wajah untuk menatapnya, tanpa mengatakan apa-apa. Di antara kami, embun mulai membanjiri bibir gelas. Egg drops kami sudah mendingin. Namun di antara kami, tidak ada satupun yang menyentuhnya.

Sambil menatapku balik, Rei kembali bicara. "Baru kemarin, sehari sebelum kejadian itu aku ketemu kamu. Dan aku bahkan belum ketemu Rara. Kami hanya sempat ngobrol di telepon. Dan aku sudah nyiapin ... kejutan."

Kali ini aku menunduk, menatap tanganku di pangkuan. Mereka saling remas, hanya demi menyalurkan rasa sakitku. Tidak, ini bukan rasa sakit yang seperti itu. Bukan karena aku cemburu, bukan lagi. Ada ngilu yang dapat kurasakan dari suara Rei, bercampur dengan kesakitanku sendiri, dengan segala ketakutanku, dengan segala rasa bersalah yang terus menggerogotiku.

"Ironisnya, aku yang dapat kejutan," kata Rei lagi. "Kejutan yang sama sekali nggak pernah kuharapkan."

Juga ada nyeri lainnya. Rasa sesak tiba-tiba saja menyerangku. Membuat pandanganku mengabur dan kepalaku seakan dipukul ribuan palu.

"Hari itu aku berencana jemput kalian. Hari itu harusnya aku jemput kalian. Seandainya aku melakukannya ... things could have differen story."

Things could have different story. But ... it didn't. And this is what happened. Seandainya aku bisa memutar waktu dan mencegah kejutan ulangtahun dari teman-temanku. Seandainya kami tidak pergi dan diam di sekolah. Seandainya kami tidak naik mobil itu. Seandainya aku memilih duduk di kursi berbeda ...

Ada begitu banyak seandainya. Tidak ada yang yang terwujud.

Seakan dapat membaca pikiranku, ia kemudian berujar. "Tapi tidak ada yang namanya kebetulan. Ini ... sudah digariskan. Kamu nggak perlu merasa bersalah jika kamu baik-baik aja dan teman-teman kamu terluka parah."

Nawala meraih tanganku yang bersembunyi di sudut meja, menariknya lebih dekat. Menghangatkanku. Tidak membiarkanku menarik diri sekali lagi. "Kita hadapi ini sama-sama, oke? Kamu nggak harus menanggung beban sendirian."

Apakah ia memang seorang pembaca pikiran ataukah aku hanyalah sebuah buku yang terbuka? Atau karena ... seringnya kami bertukar surat, bertukar rasa yang membuat cowok di depanku ini dapat memahami dengan mudahnya.

Pelupuk mataku menghangat. Dan rasa bersalah yang kutanggung, bukannya berkurang, justru bertambah banyaknya. Bagaimana mungkin aku menjadi manusia yang begitu egois?

"Makan sedikit dan kita pulang sekarang, ya," bujuk Nawala kemudian.

Aku tidak punya pilihan selain mengangguk pasrah. Eggdrops milikku mendapat dua gigitan yang kemudian ditelan dengan susah payah. Nawala, meskipun kata-katanya berusaha menghibur, tidak makan dengan lebih baik. Ia meletakkan separuh sisa makanan serta minumannya di atas meja sebelum membayar. Kemudian kami pulang, kembali dalam diam.

Langit bersemburat oranye di luar, menandakan kedatangan senja yang cerah.

Tidak seperti senja hari itu yang muram. Senja sebelas Desember.

Nawala berjalan di sisiku, jemari kami sesekali bersentuhan tetapi tidak pernah bertaut, sementara kami berjalan di sepanjang trotoar, di bawah pepohonan yang menaungi jalanan. Gemerisik dedaunan kering di bawah kaki menjadi satu dari dua hal yang mengisi senyap di antara kami, bersama dengan bisingnya lalu lalang kendaraan di sekitar.

Aku melangkah perlahan, merasakan gamang dalam setiap pijakan.

"Bagaimana pendapat kamu tentang rahasia?" Nawala tiba-tiba bertanya.

"Rahasia?" Kepalaku tertoleh menatapnya.

Dia mengangguk.

"Aku rasa ... beberapa hal harus disampaikan saat itu juga. Kalau tidak ... sepertinya harus menunggu. Entah sampai kapan. Menjadi rahasia sendiri."

Entah apa yang sedang coba ia katakan. Apakah ia berbicara tentang Laura dan perasaannya?

Di satu sisi, aku ingin menamparnya. Masih sempat-sempatnya ia memikirkan hal itu sementara Laura tengah terbaring koma saat ini? Di lain sisi, aku ... hatiku ... ada denyut sakit yang tidak dapat kukendalikan.

Surat itu. Ia menyampaikan perasaannya lewat surat itu. Perasaan yang tidak dibagi denganku. Surat yang kuhancurkan menjadi berkeping-keping. Jika aku tidak merobeknya, mungkinkah ceritanya akan menjadi berbeda sekarang? Mungkinkah pelarian itu tidak pernah ada? Mungkinkah Ulfi masih di sini dan Kama baik-baik saja?

Atau setidaknya ... jika saja aku tidak merobeknya, Laura akan terbaring di sana, mengetahui seseorang yang ia puja juga menyimpan perasaan yang sama besarnya. Mungkin dengan cara itu, ia akan bangun. Dan dengan cara itu, Rei tidak punya penyesalan. Dan aku ... tidak perlu sesak oleh rasa bersalah ini.

Lalu, skenario-skenario itu mulai bermunculan di kepalaku. Kecelakaan yang diputar ulang, kemudian beputar mundur, seperti semula, seperti belum terjadi apa-apa. Rei dan Laura mungkin sedang bahagia sekarang. Ulfi sedang mendengarkan Day6. Kama sedang berolahraga. Ghea menonton drama. Dan aku ... aku ...

Kumohon hentikan. Aku meremas ujung rokku. Memohon kepada bukan siapa-siapa. Karena... rasa sakit itu semakin menjadi, menghantamku keras-keras. Langkahku mulai terseok, lalu terhenti.

"Na? Kamu nggak papa?"

Samar, aku dapat mendengar Rei bicara. Tetapi tidak mampu meresponsnya. Bahkan wajahnya terlihat buram.

"Na?"

Cukup. Aku tidak tahan lagi. Aku ...

Wajah Rei yang samar kemudian berubah menjadi putih, lalu hitam. Lalu semua hitam dan aku tidak lagi mendengar apa-apa, segera setelah merasakan tubuhku melayang jatuh ke tanah.

***

Vote dan komen dari kalian sangat berarti. Terima kasih <3

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro