23. Tentang Nana

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku terbangun dengan sengatan rasa nyeri di dada.

Ruangan di atas kepalaku putih, penuh cahaya menyilaukan sehingga aku harus menghalau dengan telapak tangan. Mama ada di sisiku, tertidur dalam posisi duduk dengan kepala jatuh ke tempat tidurku.

Setelah beberapa menit upayaku menyesuaikan diri, usaha mengumpulkan segenap kekuatan, aku bangkit duduk. Kusibak rambut Mama, wajahnya tampak lelah. Jejak-jejak airmata bahkan belum meninggalkan pipinya.

Papa tidak terlihat di manapun. Mungkin pergi. Mungkin mengurus pemakaman.

Hari ini adalah pemakamannya.

Saudari kembarku telah meninggalkan dunia ini. Selamanya.

Separuh jiwaku telah pergi. Selamanya.

***

Kamis, 17 Desember. 18.02 WITA

Aku ingin keluar kamar dan menghirup udara segar. Di dalam terasa pengap. Mama pergi untuk membersihkan diri dan sekalian salat magrib, katanya. Launa juga pergi, menemui Rei.

Jadi aku tertinggal sendirian di sini. Tidak bisa bergerak karena berbagai infus yang membelitku. Juga kaki yang terasa seperti agar-agar. Padahal dulunya sepasang kaki ini mampu mengelilingi lapangan sekolah hingga sepuluh kali, atau pusat perbelanjaan.

Yang bisa kulakukan adalah menatap jemariku, menghitung waktu saudari kembarku akan kembali. Saudari kembar kesayanganku, Launa Andriani.

Launa ... jika boleh jujur, aku selalu iri padanya. Sejak kecil. Dia selalu merupakanan anak yang tenang di berbagai situasi. Dia pemberani, dia bahkan tidak takut pada kecoak, setiap aku menjerit karena binatang mengerikan itu, Launa akan mengambil sandal atau benda apapun dan mengusirnya untukku. Dia juga tidak takut hantu, mau-maunya saja kubujuk untuk bangun jam dua pagi dan menemaniku ke toilet.

Saudari kembarku itu juga amat pintar. Dia selalu juara di sekolah. Dan aku, meski mencoba rasanya pelajaran terus memantul di otakku, tidak ada yang tinggal. Entah itu Matematika, Bahasa Inggris, IPA, Launa menguasai semua, kecuali PJOK. Untuk PJOk, aku lebih unggul, aku bisa berlari cepat di saat dia sudah kehabisan napas. Tetapi hanya itu yang dapat kubanggakan.

Launa suka membaca, aku mengagumi itu sementara aku sendiri kesusahan membaca petunjuk pemakaian yang selalu ditulis di belakang label produk. Mama dan Papa selalu memuji nilai-nilainya, atau tentang betapa penurutnya dia, betapa dia menjadi sosok kakak karena seringnya mengalah padaku yang kelewat manja. Hal-hal yang aku ... tidak pernah bisa. Hal-hal yang ... selama ini lalai aku sukuri.

Launa juga teramat cantik. Bohong kalau orang melihatnya dan mengatakan sebaliknya. Alisnya indah, juga matanya yang dinaungi bulu mata panjang. Hanya saja, dia seperti menutupi itu di balik potongan rambutnya yang selalu lurus sebahu, lalu dikuncir asal, dengan wajah polos tanpa polesan apa-apa.

Dan yang paling kuirikan darinya ... adalah Rei.

Aku suka Rei, bahkan sejak pertama melihatnya. Dan kurasa, sulit bagi siapapun untuk menolak pesonanya. Dia tinggi, tampan, ramah. Dia selalu menyapa ketika bertemu, selalu menawarkan bantuan, selalu ... menanyakan tentang Launa.

Bahkan jika aku memulas wajah dan berdandan untuk menemuinya, ketika mengobrol, aku hanya perlu menatap matanya untuk tahu siapa yang dia suka. Launa. Caranya menatap Launa berbeda. Dia menatap seolah gadis itu adalah bunga paling cantik di taman, sehingga dia tidak bisa melepaskan pandang. Dia menatap gadis itu seolah dia adalah acara TV paling menghibur, membuatnya tersenyum-senyum sendiri. Dia praktis seperti bunga matahari yang selalu menatap ke arah cahayanya; Launa.

Dulu aku benci kenyataan itu. Tetapi sekarang .. aku mengerti. Sangat mengerti. Kecelakaan itu, koma yang kualami, pernah begitu dekat dengan kematian membuatku sadar bahwa ... aku menyayangi Launa. Aku menyayanginya lebih daripada apapun. Aku ingin melakukan banyak hal dengannya. Aku ingin membuat banyak kenangan indah bersamanya. Demi menebus waktu-waktu yang terlewat ketika kami seperti dua kutub yang berseberangan.

Kami sudah berjanji. Kami sudah membuat banyak rencana. Tetapi kenapa ... dadaku terus berdentam tidak nyaman? Seolah sesuatu yang buruk ... akan datang.

Lalu, berita itu datang dalam bentuk Papa yang masuk menerobos ruangan. Ia menatap ke dalam mataku.

Dan tahu-tahu, dunia meremasku menjadi puing-puing.

"Launa ... masuk IGD. Pendarahan di otak. Dia ... dia nggak bernapas."

***

Aku tidak mengingat banyak hal setelahnya. Yang kuingat, adalah tanganku yang tanpa berpikir menyingkirkan selang-selang yang menancap di tubuhku. Adalah usahaku untuk bangkit berlari ke arah Launa meski kenyataannya harus jatuh mencium lantai. Adalah tangisan tanpa suaraku. Adalah kepanikan yang menyerang tiap sel tubuhku.

Dia nggak bernapas.

Kata-kata Papa terngiang di benakku, bersama dengan beribu pertanyaan. Bagaimana bisa? Dia sehat-sehat saja ketika meninggalkan ruangan. Kami sempat berbagi cerita. Papa pasti salah! Launa baik-baik saja. Dia bilang, dia hanya akan pamit sementara.

Nyatanya ... dia pamit selamanya.

Ketika aku didorong Papa dan Mama dengan kursi roda ke ruang rawatnya, dokter dan perawat sudah tidak memeriksa saudari kembarku itu. Mereka tidak memberikannya oksigen, atau CPR, atau apapun itu. Mereka meletakkan kain putih di atas tubuhnya, menyisakan kepala yang terpejam tenang, lalu menatapku dengan rasa iba.

Pelan ... dengan amat pelan dan gemetar, aku menyeret diriku mendekati Launa. Kugenggam tangannya. Dingin. Tangan yang selalu hangat itu ... kini sudah dingin. Aku meletakkan kepalaku di dadanya, menahan sesak, berharap dapat mendengar detak jantungnya meski samar.

Nihil.

Yang kurasakan hanya tubuh yang kaku, yang tak lagi sehangat biasanya.

Tetapi aku menatap wajahnya, seakan tersenyum dalam tidur yang lelap. Dan seketika rasa tidak percaya menghinggapiku.

"Nana...," aku membuka suara meski gemetar, mataku menatap petugas medis itu, "... cuma tidur, kan? Kenapa ... kenapa badannya dingin?"

Dokter itu menaikkan kacamatanya, menghindari pandangku. Ia lalu melangkah maju, dengan langkah yang seakan berusaha menenangkan.

Aku menolak dan memotongnya. "Iya, kan? Cuma tidur, kan?"

Aku hanya ingin mereka mengatakan ya. Aku ingin ini menjadi candaan semata.

"Bisa tolong bangunin?"

Karena aku tidak ingin mendengar kenyataan..

"Tolong ... bangunin," airmataku menggumpal di pelupuk, coba kutahan. "Tolong bangunin cepat! Aku takut! Nana.... tolong bangun," kugenggam tangannya, kuremas jemarinya, kugoncang ia. Nana masih diam dalam tidurnya. "Ayo, Na, bangun, Na. Jangan buat aku takut."

Lalu, ketika Ibu jatuh di atas lututnya di sisiku, dalam isak tangis yang bercampur lolongan panjang, dan Papa yang merengkuhku demikian eratnya, tangisku pecah. Kenyataan menikamku dengan dingin. Dan seberapa keraspun aku coba menolak, aku tidak bisa.

"Enggak. Nana nggak pergi kemana-mana kan, Pa? Nana masih sama kita di sini, kan? Nana... Nana..."

Aku menggenggamnya sekali lagi. Menatap wajah tidurnya. Mencermatinya baik-baik. Tahu ini akan menjadi kali terakhirku melihatnya.

Aku tidak bisa.

Kami sudah berjanji.

Kenapa kamu harus pergi, Na?

Kenapa kamu pergi sebelum kita bisa mewujudkan itu semua?!

Kenapa─ dadaku sesak, dan hal terakhir yang kuingat adalah ruangan mengabur, menjadi cahaya putih menyilaukan. Lalu, semuanya menghilang.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro