24. Tentang Kita

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kamis, 10 Desember, 15.05 WITA

Semua orang punya rahasia. Ada yang pada akhirnya terungkap, diungkapkan, atau tenggelam disembunyikan. Sembari menghitung tetes hujan yang jatuh dari atap, aku masih menimbang untuk memilih di antara opsi-opsi tersebut.

"Rara!"

Aku berdiri begitu melihatnya, mengangkat tangan demi menarik perhatiannya. Gadis itu akhirnya melihatku dan melambai, lalu menengok kanan dan kiri di jalanan beraspal seluas dua meter yang memisahkan kami. Ia berlari ke arahku dengan payung di tangan. Tampak tetap berhati-hati agar genangan air tidak memercik ke sepatunya.

"Kak Rei, udah lama?" tanyanya begitu tiba di depanku. Diturunkannya payung untuk seterusnya berteduh bersamaku. Tepat di depan toko swalayan depan sekolah.

"Enggak, kok. Baru nyampe."

Laura tampak menepuk-nepuk percikan air dari ujung roknya, melipat payung dengan rapi, lalu kembali memusatkan perhatian padaku.

"Oh, iya. Jadi ... Kak Rei mau ngomong apa, emangnya?"

Dua hari yang lalu, aku menelepon Rara, memintanya bertemu agar kami bisa bicara langsung empat mata. Gadis ini banyak mengikuti kegiatan ekstrakulikuler di sekolahnya, paduan suara, OSIS. Sulit untuk mengatur janji temu dengannya. Tetapi waktuku tidak banyak. Hari ini ... adalah kesempatan terakhir.

Untungnya, Laura bersedia meluangkan waktu.

Kuedarkan pandang sejenak melewati bahu Laura. Penuh antisipasi. Sebagian dari diriku berharap gadis yang akan menjadi objek pembicaraan kami tidak tahu mengenai pertemuan rahasia ini. Tetapi anehnya, sebagian diriku yang lain berharap aku dapat melihatnya.

Sudah lebih dari seminggu sejak terakhir kali kami bertemu.

"Nana mana?" tanyaku sebelum akal sehatku berhasil mencegah.

Laura mengangkat bahunya. "Di kelas, mungkin. Emang Kak Rei minta dia ke sini juga?"

Aku menggeleng. "Yuk, mau ngobrol di sini aja? Atau cari tempat lain?"

Laura merentangkan satu tangannya melewati atap, memeriksa curah hujan yang turun, lalu mengedarkan pandang ke sekitar. Tatapannya berhenti pada meja bulat dengan dua kursi di sisi kami.

"Di sini aja."

***

"Jadi ... Kak Rei mau ... confess, ke Nana?"

Tidak ada jalan mundur sekarang. Aku telah menceritakan semuanya kepada Laura, aku butuh bantuannya. Jadi aku mengangguk pelan. Bahkan pemikiran itu membuatku gugup. Rencana yang membuatku berhari-hari kesulitan tidur karena memikirkannya. "Besok, rencananya."

Laura mengangguk. Aku tidak tahu apa yang dia pikirkan. Apakah dia akan marah jika aku ternyata menyukai kembarannya? Maksudku, saudara selalu saling melindungi. Ada sedikit kekhawatiran bahwa Laura akan memukulku dan menentang ini.

Tetapi setelah beberapa saat, dia tersenyum.

"I knew it!" katanya sembari menyunggingkan senyum penuh konspirasi.

"Kamu udah tahu?" alisku pasti berkerut sekarang, mewakili kebingunganku. Aku tidak pernah bercerita pada siapapun sebelum ini. Soal perasaaanku. Bahkan Launa sendiri ... tidak tahu.

Tetapi di depanku, Laura justru mengangguk-angguk seolah semuanya sudah jelas. "Aku udah nebak-nebak dari lama. Dan bener, kan?"

"Sejelas itu?"

Aku meringis dan dia tertawa. "Sejelas itu. Kayaknya cuma Nana deh, yang nggak tahu."

Aku kembali meringis. Pertemuanku dan Nana meninggalkan satu memori yang membekas di benakku. Nawala dan Jambu, yang kemudian menjadi nama panggilan kami berdua. Aku suka mengobrol dengannya. Nana mungkin adalah gadis yang pendiam, tetapi ketika dia membicarakan satu hal yang dia minati, dia nyaris tidak dapat dihentikan. Bukannya aku berniat menghentikannya. Aku suka mendengarkan cerita-ceritanya. Aku suka melihat dunia dari sudut pandangnya, yang biasanya sedikit berbeda dari pemahamanku selama ini. Aku suka cara dia menggebu-gebu saat mendebatkan sesuatu. Atau cara dia menjadi dramatis dan melankolis ketika membicarakan buku kesukaannya, atau tokoh novel yang memikat hatinya.

Padaku, Nana menceritakan apa saja. Dan padanya, aku dapat berbagi apa saja. Terlalu nyaman bersamanya. Terlalu menyenangkan. Aku tidak tahu sejak kapan, tetapi tahu-tahu saja, suatu hari aku terbangun dan tahu ... aku sudah jatuh cinta padanya. Tanpa dia tahu.

Besok, hal itu tidak akan berlaku lagi. Akan kupastikan dia mengetahuinya.

"Jadi, aku bisa bantu apa?" Laura bertanya lagi.

Dengan tangan di atas meja, badan dicondongkan ke depan, serta rasa gugup yang masih membayang, aku mulai menjelaskan. Rencananya, aku ingin memberi kejutan. Sepulang sekolah. Aku akan menunggunya sepulang sekolah. Akan kutitipkan sebuah surat pada Laura, suratku untuk Launa. Sementara aku akan datang dengan kosong, seolah tanpa persiapan.

Tidak ada buket bunga, yang dia suka bunga kupu-kupu. Tidak ada pengakuan di depan umum karena aku tahu dia tidak suka menjadi pusat perhatian. Aku akan melakukannya dengan cara sederhana. Dengan cara kami berkomunikasi kali pertama.

Laura akan membantuku. Menyelipkan surat itu dalam gulungan koran dan melemparkannya ketika kami sedang bersama. Begitu rencananya. Mungkin terdengar cheesy, tapi awal yang menorehkan kenangan itu, ingin kubuat lagi.

Aku gugup memikirkan apakah rencana ini dapat berjalan sebagaimana mestinya.

"Pasti lancar!" kata Laura meyakinkanku. Senyum bermain-main di ujung bibirnya sebelum ia berdiri dan menyandangkan tas di pundaknya.

Aku ikut berdiri, lantas meraih kantong plastik yang sedari tadi kusiapkan. Sembari menunggu, aku sempat berbelanja sejumlah minuman dan snack. "Buat kamu sama temen-temen."

Ia mengintip isinya. "Waaah tahu banget kesukaan Nana!" ledeknya.

Aku tidak ingin memikirkan senyumnya yang seperti mengejek itu. Jadi aku berdeham dan mendorong pundaknya pelan. "Sudah, sana. Nanti hujannya makin deras."

***

Rencanaku terancam gagal. Pagi, ketika aku masih berada di kelas mengikuti mata kuliah, Laura meneleponku. Suaranya setengah berbisik. Sepertinya ia menelepon dengan sembunyi-sembunyi.

"Kak, kami hari ini bolos. Nggak tahu pulangnya kapan."

"Kemana?" Aku yang duduk di barisan paling belakang turut berbisik, berharap dosen mata kuliahku tidak tahu aku justru menelepon di kelasnya dan memutuskan untuk mengusirku. "Lama?"

"Kayaknya bakal lama deh. Soalnya mau muter-muter dulu."

Kugigit bibir. Jika rencana ini gagal ... aku tidak punya rencana cadangan. Hal ini pun membuatku gelisah. "Usahain pulang cepet ya, Ra."

"Iya, ini aku usahain bisa pulang sebelum magrib."

Sebelum magrib. Begitu janjinya. Sebelum magrib, aku sudah berdiri di bawah pohon jambu di depan rumah Nana. Sebelum magrib, aku sudah menyiapkan segalanya.

Namun hingga matahari turun, aku tidak melihat Nana.

Namun ketika matahari turun, telepon yang kudapatkan justru kabar kecelakaan.

***

Dua puluh langkah di depanku, aku melihatnya sedang meniti tangga.

"Jambu!" panggilku.

Tatapnya menemukanku. Dengan senyum, aku pun mempercepat langkah ke arahnya.

Kecelakaan pada tanggal sebelas Desember merenggut banyak hal dari Launa. Sahabat-sahabatnya. Nyaris saudari kembarnya. Rona di wajahnya. Sebanyak apapun aku berharap dapat megembalikan mereka, aku tidak bisa.

Namun waktu berlalu dan perlahan semuanya mulai membaik. Semuanya tidak kembali pada keadaan semula. Aku tahu tidak akan pernah. Seperti kertas yang telah terlanjur robek menjadi remah-remah..

Namun sekecil apapun dukungan yang dapat kuberikan, aku ingin memberitahunya bahwa aku di sini, akan selalu di sini untuknya. Aku ingin mengembalikan senyumnya. Aku ingin meyakinkannya bahwa, setelah ini, semua akan baik-baik saja. Aku ingin dia tahu bahwa dia berharga. Bagi Rara. Bagi Om dan Tante. Bagiku.

Terutama bagiku.

Aku ingin memberitahunya hal itu.

Lalu, kulihat langkahnya terhenti. Nana berpegangan pada tangga. Erat. Seolah jika tidak melakukannya, dia akan jatuh. Kulihat dia kesakitan. Dan ... darah.

Aku berlari ke arahnya. Kencang. Aku tiba tepat waktu untuk menangkapnya sebelum tubuhnya terhempas ke ubin. Wajahnya pucat, sangat pucat. Dengan darah yang mengalir dari hidung.

"Jambu?" panggilku. "Na ...Nana?!"

Kepanikan seketika menabuh genderang di dalam dadaku.

Kugendong tubuhnya yang ringkih. Panik, kalut, ketakutan bercampur menjadi satu ketika aku membawanya berlari ke unit IGD. Firasat buruk menghantamku seperti gelombang besar, nyaris membuatku tenggelam dalam sesak.

"Tetap bernapas, Na. Tetap bernapas", aku memohon.

Tetap di sana.

Sesekali, aku menatapnya, matanya yang perlahan memejam. Airmata yang perlahan mengalir jatuh dari sudut mata.

"Jangan tidur. Please jangan tidur, aku mohon."

Tetapi matanya tetap memejam. Tetapi dia tidak meresponsku. Dia juga tidak merespons pertolongan yang diberikan dokter. Sengatan di dada tidak membangunkannya. Tangisanku tidak membuatnya membuka mata.

Sementara, monitor detak jantung yang terhubung kepadanya terus meneriakkan peringatan detak jantung yang melemah, terus melemah.

Lalu, semuanya berubah menjadi garis lurus.

***

Puisi. Seikat bunga kupu-kupu. Nana. Aku menyenderkan keduanya pada Nana, pada nisannya.

Kamu tahu apa yang lebih indah dari setangkai mawar?

Seikat bunga kupu-kupu, terselimut embun, mengintip malu pada pagi.

Kamu tahu apa yang lebih indah dari pagi?

Embun pagi yang bias, tersiram cahaya hangat matahari.

Kamu tahu apa yang lebih indah dari keduanya?

Dari seluruh dunia dan isinya?

Dari galaksi dan seluruh jagad raya?

Kamu. Senyummu. Caramu bercerita. Caramu memandang dunia.

.

Kamu tahu apa yag paling kurindukan sekarang?

Kamu. Kamu yang membawa pergi hatiku bersamamu.

Aku ingin tahu apakah surga indah di sana?

.Apakah kamu merindukanku seperti aku yang merindukanmu setiap harinya?

Aku harap kamu bahagia di sana.

Seperti aku yang kembali belajar cara tersenyum di sini.

Selamat ulang tahun, Jambu. Sellamat ulang tahun yang kedelapan belas. Tetaplah jadi matahari. Dan aku akan jadi bunga kupu-kupu, yang memandangimu dari kejauhan.    

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro