1:Pengkhianatan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

The Sultan Hotel and Residence Jakarta.

Diaz hanya bisa terduduk lesu, disalah satu kursi di meja bundar yang ada di tengah-tengah ballroom.

Diedarkan pandangannya. Ruangan ini penuh dengan bunga mawar putih, dan kain satin warna senada menjuntai dibeberapa bagian menghiasi setiap sudut aula ini. Sesuai dengan apa yang diinginkannya.

Seharusnya ruangan ini penuh dengan tamu yang memberikan mereka restu dengan suka cita, namun kesunyian ruangan ini tak bisa menyembunyikan realita.

Diaz menarik taplak meja yang menjuntai dikakinya, membiarkan perlatan makan, vas bunga dan peralatan lainnya berhamburan juga tergeletak pecah berserakan di lantai.

Ia marah!

Merasa hancur dengan harga diri yang terluka, seharusnya hari ini menjadi hari yang membahagiakan untuknya. Tapi semua kebahagaian yang ia impikan menguap tak berbekas.

Ingin rasanya ia memaki semua orang yang mengatakan kata 'sabar' dan 'baik-baik saja', bahwa kenyataannya semua tak baik-baik saja.

Ia terkhianati.

Mempelai wanitanya kabur, sejam sebelum dirinya mengucapkan ijab qabul. Dan itu benar-benar mengahancurkan Diaz sampai dititik terendah dirinya.

Wanita yang ia cintai selama tiga tahun, rela kabur bersama dengan kakak kandungnya. Dengan dalih saling mencintai.

Cih! Ini benar-benar memuakkan.

Ia bahkan tak menyangkah kakak kandungnya sendiri tega merebut pujaan hati miliknya.

Kenapa bisa seperti ini? Memikirkan hal itu membuat kepalanya berdenyut, tapi rasa sakit di kepala tak mampu mengalahkan rasa sakit di hatinya.

Hanya beberapa bulan kedekatan antara mereka, tapi mampu menghancurkan jalinan selama tiga tahun.

Diaz merasa dicemooh oleh takdir. Tiga tahun yang terbuang sia-sia.

Diaz memilih pergi menjauh dari ballroom tersebut, membuang semua rasa sakit yang tersisa hari ini. Mereka salah dalam memilih
Sultan Arkhadiaz Tjahir sebagai lawan.

Karena kali ini ia tak mau tinggal diam. Hatinya terlampau nyeri, jadi jangan salahkan jika ia bertindak diluar logikanya.

Yang ia tahu, ia harus membalas perbuatan mereka. Ya, anggap bahwa ini akan menjadi proyek balas dendamnya kepada mereka. Tak peduli jika lawan tersebut adalah Saka.

Diaz membuka pintu ballroom yang tertutup rapat, sejenak ia melihat ke dalam ruangan, kemudian beranjak pergi meninggalkan tempat tersebut. Ia butuh pengalihan.
.
.
.
Ara tergesa-gesa memasuki lobi hotel berbintang lima tersebut. Setengah terseok ia memaksakan dirinya menghampiri meja resepsionis. Napasnya tersenggal, rambut dan kemejanya setengah basah karena guyuran gerimis yang tiba-tiba saja datang tanpa pengumuman.

Seharusnya ia sudah berada mall tempat ia janjian dengan Nuril, sahabatnya sedari SMA hingga kini ia berusia dua puluh delapan tahun.

Sejam yang lalu, di tengah kemacetan jalanan Ibu Kota. Di tengah padatnya lalu lintas, ia melihat mobil Mario, tunangannya.

Iya, tunangannya.

Ara berusaha meyakinkan dirinya, bahwa itu mungkin sebuah kebetulan belaka. Mana mungkin Mario ada di sini, sedangkan baru saja menelpon bahwa ia siap terbang ke Bali.

Tapi saat ojek online pesanan Ara berada sedekat mungkin, ia meyakini bahwa itu memang mobil Mario. Ada sebuah tanda khusus yang membuat Ara mudah mengenali mobil milik Mario, dan ia sangat yakin akan hal itu.

Kaca mobil yang hitam membuat ia tak bisa melihat ada apa di dalam sana. Ara sedikit frustasi dengan rasa keingintahuannya, jadi tak lantas membuat Ara menyurutkan niatnya mengikuti Mario.

Ara benar. Itu memang Mario dan seorang wanita seksi, dengan memakai baju dress ketat sehingga membuat payudaranya menonjol. Berbeda jauh dengan dirinya, yang hanya memakai kemeja kotak-kotak, ripped jeans dan sepatu sneakers.

Ara sengaja turun agak jauh dari lokasi tempat Mario turun dari mobil, tepat saat itu lah gerimis lebat menguyur.

Hatinya sudah kebat-kebit, mencoba menerka apa yang Mario lakukan di hotel ini. Bukannya terbang ke Bali malah berada di pusat kota dengan seorang wanita.

Duh, semoga saja pikiran itu salah.

Setelah menanyakan di mana letak kamar atas nama Mario Barata, Ara langsung menuju lift yang akan membawanya ke lantai sepuluh.

Debaran jantungnya mengila, tangannya berkeringat, sisa-sisa hujan masih menempel ditubuhnya hingga menimbulkan efek mengigil.

Lift berhenti tepat di lantai sepuluh. Menghembuskan napas pelan, ia mencoba menetralkan degupan jantungnya. Mengambik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan.

Ia tak yakin akan hal ini. Ia mamang. Antara meneruskan niatnya atau menghentikannya.

Tapi kenyataan itu selalu kejam, ia melihat Mario dengan wanita tengah berciuman, panas dan bergairah.

Membuat Ara linglung.

Ini gak bener! Mungkin Mario cuma nganterin cewek itu, mungkin cewek itu terlalu agresif sampe mario gak bisa ngelak.

Ya, mungkin saja wanita itu kelewat agresif.

Ara tepat berada di depan kamar tujuannya. Kembali ia menghembuskan napasnya, memantapkan hati.

Jantungnya berdebar luar biasa. Bagaimana kalo ia salah kamar dan lebih parahnya ia salah orang. Tak terpikirkan semalu apa dirinya jika ia memang salah orang.

Tenang Ara, kamu cuma perlu mastiin aja. All is well.

Napasnya tercekat, lidahnya keluh saat mendengar suara desahan saling bersahutan.

Pintu tak tertutup sempurna. Apa ini yang namanya kebetulan. Pelan Ara membuka pintu itu, tapi suara desahan dan erangan tertahan semakin nyaring terdengar, meneriakan nama Mario dengan nada sensual.

Ya, Tuhan. Apa yang mereka lakukan.

Ara semakin merangsek ke dalam ruangan, hingga ia melihat mereka berdua.

Ara menutup mulutnya dengan kedua tangan, pekikkannya tertahan di tenggorokan. Bagaimana ia melihat Mario tengah melakukan foreplay di atas tubuh telanjang wanita itu. Bahkan Mario tengah menyusuri tubuh sintal tersebut dan membenamkan diri di lekukan paha mulusnya, membuat Ara mual seketika.

Kaki Ara melemas, ia tak sanggup melihatnya. Ia terlampau syok. Tak mampu lagi menopang badannya Ara terduduk di tempat ia berdiri.

Dan itu menyadarkan Mario dan wanitanya sedari tadi telah memasuki inti permainan mereka.

Cepat-cepat Mario menarik kejantannya dan mengambil celana boxer yang tercecer di lantai.

Ara terlalu kaget, serta merta ia memundurkan tubuhnya saat Mario menghampirinya.

"Ara!" panggil Mario dengan nada tercekik.

"Jangan sentuh aku." Ara menggeleng, cepat-cepat ia berdiri. Tak menghiraukan tubuhnya yang sudah bergetar.

Sejenak ia memandang wanita yang sudah membalut tubuhnya dengan selimut, dan kembali menatap Mario.

"Ara, please." Mohon Mario mencoba meraih tubuh Ara, namun semakin membuat Ara mundur selangkah.

Sebelum Mario menyentuhnya, ia berlari, keluar dari ruangan tersebut. Kebetulan lift terbuka dan menekan tombol ke lantai dasar.

Bahkan Mario tak mengejarnya.

Apa ia tak seberharga itu, untuk dipertahankan. Tangisan Ara pecah, yang ia lakukan hanya nangis sesengukan di dalam lift.

Kamu jahat, Mas.

★★✩✩✩★★

Haiiiiiiii .... akyu datang lagi. Muehehehehe, maafkan authornya yak, lapak satunya belum kelar, udah nulis lagi.

Habisnya ini sudah terngiang-ngiang manja di kepala.

Semoga kalian suka.

Jangan lupa vote dan komennya di tunggu.

Yuuuuk, mari.

Mahalo
-Dean Akhmad-
21-05-2018

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro