Bab 7 : Sestress itu, emang!

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ara stress. Sangat stress malah. Kalau saja ini dunia kartun, mungkin kedua telinga Ara mengeluarkan asap seperti di film-film. Sayangnya ini dunia nyata, dan hal seperti itu mustahil.

Mengurut keningnya Ara hanya bisa menghela napas lelah, harus berapa kali ia menegaskan kalau dirinya hanya staf puchasing. Ia hanya ditugaskan melakukan pemesanan atas apa yang dipesan oleh bagian gudang. Lalu kenapa mandor proyek selalu menelepon dan komplain bahwa barang yang butuhkan tak kunjung datang.

What the fuck!

Proyek mall di daerah Serpong sudah dimulai semenjak bulan lalu, dan tentu saja sangat menyita waktu bagian purchasing dan pergudangan. Lalu dibagian mana ia selalu disalahkn atas keterlambatan tersebut.

Hampir tiap hari ia diteror sang mandor proyek, agar ketersediaan bahan-bahan material pembangunan tersedia. Belum juga dia dimaki oleh si Arsitek karena salah order.

Oh, astaga. Ara bukan lulusan teknik sipil, juga bukan jurusan arsitek. Mana dia tahu perbedaan semen yang dipakai untuk tembok, lantai dan jalanan.

Ia hanya mendapatkan perintah dari Pak Ferdi, selaku Purchasing Manager yang memberi perintah untuk pemesanan material bahan bangunan. Tentu juga berasal dari bagian pergudangan, kalau bukan dari sana mana bisa bagiannya melakukan pemesanan dan pembayaran.

Kepala Ara mau pecah, rasa-rasanya ia ingin sekali memaki si Arsitek karena membentaknya dan mengatainya tolol.

Jadi siapa yang tolol sebenarnya? Tolong dijabarkan. Coba saja si arsitek yang berada di balik meja ini, dengan dua mesin telepon dihadapannya yang selalu berdering sewaktu-waktu.

Betapa pusingnya ia harus mencari bahan material bangunan dengan harga yang bisa ditawar. Sedang si arsitek dan pak mandor hanya bisa menuntut ketersediaan material tepat waktu.

Tepat waktu my ass!

Dia cuma bagian pencari barang yang dibutuhkan, disertai adegan tawar menawar. Karena selanjutnya itu adalah tugas Vika meng-acc invoice yang diajukan olehnya, selanjutnya diteruskan dengan pemesanan secara Purchase Order sebagai bukti pemesanan sah dari suplier.

Jadi jangan salahkan dirinya.

Seminggu ini pun ia harus lembur beberapa kali, selain pekerjaannya yang menumpuk. Ia juga harus menggantikan pekerjaan Ratna yang mengambil ijin karena sakit, itu sebabnya pekerjaannya tak bisa maksimal dan terselesaikan dengan cepat.

Ara melirik ponselnya yang menunjukkan pukul dua belas siang, waktunya istirahat. Ingin sekali ia kabur dari kubikelnya, sesekali makan diluar tak masalah.

Bodo lah!

Ia juga sudah bekerja keras dan selalu memakan bekal makan siangnya di tempat yang sama, kubikelnya. Dengan pemandangan komputer menyala, dan kertas berserakan di mana-mana. Kini saatnya ia keluar dari cangkang dan menikmati makan siang seperti karyawan lainnya.

"Mbak Vika. Aku istirahat dulu ya, pengen ngadem di rooftop." Pamit Ara langsung beranjak dari kubikelnya.

Membawa bekal yang sudah ia siapkan, Ara keluar dari ruangannya. Dengan menaiki lift, ia menekan angka menuju rooftop kantornya. Begitu lift terbuka, warna hijau menyapanya.

Eh, sepi amat? Tumben sih? Ara bertanya dalam hati, mendapati suasana rooftop yang sepi. Bahkan tak seorangpun ada di sini.

Ara berjalan ke pojokan dan memilih duduk di menghadap keluar jendela. Sejenak Ara memandang keluar jendela kaca, memandang awan putih yang berarak di sela-sela gedung pencangkar langit Jakarta. Jangan lupakan angin semilir yang menerpa wajah dan rambutnya, walau tak terlalu kencang meski sudah tertutupi tembok kayu sebagai pembatas dan kaca tebal.

Menghirup udara segar lamat-lamat, Ara menghembuskannya perlahan. Lumayan segar daripada di dalam kantornya, ia hanya bisa menghirup udara dari mesin pendingin ruangan.

Nikmat mana lagi yang ia dustai.

Ara berhenti membuka penutup tupperware miliknya, begitu merasakan ada getaran di dalam sakunya.

Diaz
Calling ....

Dua hari yang lalu ia baru tahu jika Diaz satu kantor dengan dirinya, hanya beda divisi saja. Ya Tuhan! Harapannya tak terkabul, tak satupun. Ia masih menghindari pria itu.

Setelah insiden lamaran itu, sebisa mungkin Ara tak menghiraukan telepon dari Diaz juga puluhan whatsapp yang bersarang di aplikasi tukar pesan miliknya. Ia hanya belum yakin untuk menerima ajakan menikah yang terlontar dengan sangat enteng dari mulut pria berusia kepala tiga tersebut.

Terlalu mendadak baginya.

Ia bahkan tak tahu siapa sebenarnya Diaz. Mengingat jika pria itu mampu menyewa sebuah penthouse, sudah dipastikan lelaki dengan tato merajai tubuhnya termasuk orang kaya. Sudah jelas jabatan Diaz lebih tinggi dari pada dirinya yang hanya karyawan kecil.

Ara hanya bisa berdecak, tapi memilih menelungkupkan ponsel keluaran pabrikan Negeri Gingseng di atas meja, dan membuka tutup dua kotak Tupperware yang tadi sempat tertunda.

Mengambil seseondok penuh nasi dan menyuapi diri sendiri. Ara memejamkan matanya, menikmati tiap kunyahan makanan yang ia masak sedari pagi tadi.

Sayur asam bersanding dengan ikan Nila dan sambal terasi memang juara.

"Sampai kapan kamu hindari aku terus, Ra."

Ara membiarkan tangannya yang terisi suapan nasi lengkap dengan lauknya, mengantung di udara.

Seperti ada duri yang menancap di tengorokkannya, Ara hanya bisa menatap horor sosok pemilik suara serak-serak seksi yang berdiri di balik punggungnya.

Lelaki yang selama seminggu ini ia hindari, tengah berdiri gagah di balik punggungnya. Celana kain hitam yang dipadu kemeja polos berwarna putih, dengan lengan kemeja yang di lipat sesiku dan dua kancing teratas terbuka tanpa dasi. Membuat siapa saja terpana, termasuk dirinya kini. Apalagi adanya beberapa tato yang menyembul keluar dari balik lengannya membuat Diaz semakin err ..., seksi. Jangan lupakan kacamat yang menggantung di cuping hidungnya.

Astaga ... wajah Ara memanas.

"Ka-kamu...," Ara menelan salivanya susah payah. "Kamu kok bisa di sini?"

Kalau sudah begini, bagaimana ia bisa menghindari laki-laki ini? Ini baru seminggu, padahal niatnya untuk seterusnya. Ara meraih botol air mineralnya dan meneguknya hingga separuh, berusaha membasahi tenggorokkannya agar tak terasa mencekiknya.

Tanpa dipersilakan pun, Diaz menduduki bangku panjang di sisi kiri Ara. Pandangannya lurus ke Ara, membuat pemilik manik hitam itu meletakkan kembali sendoknya.

"Apa lagi, Diaz?" Ara menghela napasnya. "Ini baru seminggu."

"Dan seminggu ini aku gak suka kamu dicuekin!"

Ara mencebik. Ia tak tahu lagi harus bersikap seperti apa terhadap Diaz.

Ara bahkan tak tahu siapa Diaz, yang ia tahu Diaz itu pria berwajah innoncent dengan sikap tak mau dibantahnya, juga sedikit manja.

Oke. Ara akui setiap kali bertemu dengan Diaz akan selalu berakhir di atas ranjang, tapi bukan berarti Ara wanita murahan yang bertebaran di lokalisasi.

Untuk pertama, kedua, dan ketiga. Hanya Diaz seorang yang beradu di atas ranjang bersamanya.

"Kamu ngapain ke sini?" Pertanyaan bodoh.

Diaz bergeming, tanpa memutuskan tatapan ke manik hitam Ara.

"Kamu belum jawab pertanyaanku, Ra. Kenapa kamu cuekin aku?" Lagi. Ingin rasanya ia mencium bibir tipis milik Ara, yang malah mengerucut itu.

"Aku sibuk, Yaz!" jawab Ara kembali memasukan makan siangnya kemulut dan mengunyahnya perlahan.

Diaz yang sudah gemas, menarik lengan hingg menghadap dirinya.  "Kamu tahu aku nggak suka dicuekin, Ra!" ulang Diaz kali ini mengamit dagu Ara. agar wanita itu mau menatap dirinya.

"Kamu yakin?" Diaz mengangguk mantap. Tahu kemana arah tujuan pertanyaan Ara.

"Tentu aja! Seyakin-yakinnya."

"Kita nggak saling mencintai. Sedangkan pernikahan itu adalah hal yang sakral."

"Aku tahu kamu masih belum yakin. Nggak ada cinta dalam pernikahan kita. Enggak, lebih tepatnya belum. Cinta bisa datang karena terbiasa. Aku emang gak bisa janjiin cinta sama kamu secepetnya. Tapi ... kamu harus tahu, kalo kamu dapet komitmen dan kesetiaanku dalam pernikahan kita."

Diaz mengambil posisi duduk dengan mengangkangi bangku panjang tersebut, membunuh jarak antara mereka. Diaz menekuk sikunya di atas meja, hingga bisa menatap wajah Ara yang sama-sama duduk saling berhadapan..

Dengan lancangnya Diaz menyelipkan anak rambut Ara, yang berkibar diterpa angin kemudian menyelipkannya di sela-sela telinga kiri Ara.

"Aku suka liat kamu merona." Celutukan Diaz membuat Ara mengangkat kepalanya, dan memandang wajah Diaz berhias tatapan dan senyuman geli.

"Diaz ...," Ara memukul lengan Diaz dengan wajah cemberut. "Gak lucu, Yaz."

"Aku harus gimana lagi, Ra. Seminggu ini kamu cuekin aku, dan aku gak suka, tau."

Ara menatap wajah Diaz yang sekarang sudah mencebik. "Gak usah cemberut, deh."

Kali ini Diaz menghela napasnya, "pulang kerja, kita pulang bareng. Gak ada acara lembur-lemburan lagi. Dan mulai hari ini kamu ... tinggal di apartemenku." Ucapan final keluar dari mulut Diaz.

Bukan ia tak tahu, kalau semingguan ini Aranya lembur. Sialnya Diaz tak menyukai hal itu, karena berimbas ia dicuekin oleh Ara. Itu menyebalkan.

Diaz meraih tengkuk Ara dan melumat lembut bibir Ara yang tengah terbuka. Ia masih berusaha mencerna perkataan Diaz barusan.

Pulang bareng.

Tinggal di apartemennya.

Hingga kesadaran menyergapnya, lidah Diaz sudah menginvasi bibirnya dan rongga mulutnya.

Ara memukul pelan dada liat Diaz, hingga Ara sendiri akhirnya menyerah. Bahkan dengan gampangnya Ara ditarik oleh Diaz dengan duduk mengangkangi lelaki bertubuh tegap itu. Tanpa melepas tautan bibir mereka.

Napas mereka tersengal-sengal, membuat Diaz melepaskan ciumannya.

Sedangkan Ara menelusup dicerukan leher Diaz, masih mengatur napasnya dan juga menyembunyikan wajahnya yang memerah.

"Sialan kamu, Yaz. Aku malu tau nggak! Tiap kali ketemu kamu, aku selalu nyerah gitu aja tanpa perlawanan."

Ada senyum kepuasaan terukir di wajah Diaz, mendengarkan ucapan spontan Ara.

Diaz mengelus punggung ara yang dilapisi kemeja lengan panjang berwana kuning gading. Memeluknya erat.

"Kita pulang sekarang!" ucap Diaz final.

★★★★★★★★

Hayoloh... babang Diaz mau ngapain dedek Ara.

Siang-siang ngajakin pulang?

Jangan-jangan, mau ngajakin maen lagi. Eak ... maen apaan, Bang?

Buahahahahaha....

Jangan lupa komen dan votenya yak. Muuuuach.

Mahalo
-Dean Akhmad-
08-07-2018

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro