Bab 6 : Jadi Beneran?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ara tersedak karena menelan bulat-bulat sisa kunyahannya, mendengar ajakan Diaz. Sedangkan si pelaku mengambil segelas air yang berada tak jauh darinya, dan menyodorkan pada Ara seraya mengurut pelan tengkuk Ara.

"Pelan-pelan makannya, Ra." Bukannya baikan Ara justru terbatuk sambil menepuk dadanya yang sakit akibat tersedak.

"Apa tadi kamu bilang?" tanya Ara yang sudah menandaskan air putihnya.

"Kita nikah aja, ya?"

Tetap saja ia merasa kaget mendapatkan lamaran dadakan dari Diaz. "Kamu bercanda 'kan, Yaz?"

Pandangan teduh Diaz berubah menjadi tatap lurus ke arah Ara langsung, membuat wanita itu menunduk seketika. Terdengar helaan napas Diaz yang kemudian menyugar rambutnya yang memang sudah berantakan.

"Aku gak bercanda, Ra. Aku serius ngajakin kamu nikah."

Ara mengerjapkan matanya tak percaya. Menikah? Yang benar saja.

"Kamu yakin? Kita bahkan baru dua kali ketemu."

"Dan berakhir di ranjang. Tiap kali berdekatan sama kamu, entah kenapa libidoku seakan menanjak tajam tanpa dikendalikan." Ara menelan ludahnya susah payah. Apalagi kini tubuhnya terperangkap antara meja dan kedua lengan berotot Diaz.

Memang benar. Mereka baru dua kali bertemu, dan selalu berakhir di atas ranjang dan berlanjut dengan pergumulan panas yang berujung badan pegal-pegal.

"Aku nggak bisa lepasin kamu, setelah apa yang udah kita lalui. Setelah apa yang udah aku ambil dari kamu." Tak pelak ucapan Diaz membuat pipi Ara bersemu merah.

Dalam posisi terjepit seperti ini saja, mampu memicu detak jantungnya yang bertalu-talu. Ditambah dengan tingkah Diaz yang tiba-tiba menyugar rambut setengah kering Ara kembali membuat wajahnya semakin memerah hingga keleher.

Dasar feromon sialan.

Ara akui tak celah dari fisik Diaz, yang sudah dipastikan pria itu jenis lelaki womanizer. Lalu dari segi mana ia menolak pria ini. Tapi ia harus punya harga diri, yekan? Dirinya tak mau terlihat begitu murahan dengan menerima lamaran Diaz begitu saja.

Lagi pula ... tak ada cinta yang mendasari pernikahan ini. Lalu ... mau jadi apa kehidupan rumah tangga mereka nanti?

"Gak lucu tau Yaz. Kamu ngajakin nikah kek ngajakin jalan-jalan aja." Ara mendengkus kemudian berbalik memunggungi Diaz, mengambil sisa sandwichnya dan mengunyah pelan-pelan. Berusaha mengabaikan Diaz dan debaran jantungnya

"Aku udah ngajakin kamu tidur bareng, bahkan aku yang udah nikmatin keperawananmu. Lalu dari sisi mana yang menurut kamu aku bercanda, Ra?"

Ara tahu Diaz sedang menatapnya. Hanya saja ia ingin menghabiskan sarapannya, tak mau tersedak seperti tadi.

Gak lucu kalo gue masuk berita 'mati gara-gara kesedak' mana masih bathrope pula.

"Jawab aku, Ara?"

Ara menelan potongan terakhir sandwichnya, dan menyesap kopinya. "Aku harus jawab apa, Yaz?"

"Aku butuh jawaban buat lamaranku barusan."

"Astaga, Diaz. Kamu nyadar gak sih. Aku masih sarapan dan penampilanku jauh dari kata layak buat lamaran. Aku masih pakr bathrope, dan Kamu bahkan ngelamar aku kek mau ngajakin jalan-jalan."

"Terus kamu maunya kek gimana, Ra?"

"Tapi nggak sebegininya juga, Yaz. Ini awkward banget tau nggak."

Belum sempat Diaz menjawab, bel berbunyi. Membuat Diaz ogah-ogahan berjalan untuk membuka pintu.

Tak lama Diaz memberikan bungkusan papper bag dari merk kenamaan pada Ara.

"Ganti bajumu, Ra. Aku gak mau liat kamu pake baju kemarin lagi." Titah Diaz tak terbantahkan.

"Memang kenapa sama baju kemarin?" tanya Ara melongok ke dalam paper bag.

"Aku gak suka!" Diaz mendengus seraya meninggalkan Ara yang masih kebingungan sama sikap Diaz.

Ara mengendikkan bahunya, dan kembali masuk ke dalam kamar. Ara membongkar isi papper bag yang tadi diberikan Diaz. Ada setelan santai, celana jins berwarna dongker dan kemeja katun berlengan panjang motif kotak-kotak, jangan lupakan sepasang bra dan celana dalam berenda berwarna senada.

Semuanya pas di tubuh Ara.

Setelah memastikan tampilannya pas dari pantulan kaca seukuran tubuhnya, Ara keluar kamar. Ia ingin menanyakan bagaimana Diaz bisa tahu ukurannya.

Sepi.

Ara tak melihat sosok pria bertato tersebut di pantry ataupun di dekat balkon. Kemana perginya pria itu.

Samar-samar Ara mendengar percakapan dari ruang tamu. Ia sendiri baru menyadari bahwa ruangan yang sekarang Ara tempati adalah sebuah penthouse, layaknya apartemen mewah.

Bukanlah sekedar kamar hotel biasa.

Berapa duit yang harus Diaz keluarkan untuk menyewa penthouse ini? Lebih-lebih berada di salah satu hotel berbintang di Jakarta. Bisa dipastikan bukan harga yang murah.

Ara berjalan menuju ruang tamu, dan menemukan Diaz tengah berbincang dengan seorang lelaki.

"Itu bukan urusanmu, Bang!"

Suara mengelegar Diaz terdengar, membuat Ara menghentikan langkahnya. Dua kali pertemuan ia selalu mendengar nada lembut, tanpa adanya penekanan berlebiham. Baru sekarang ini Ara mendengar nada bicara Diaz yang sarat akan kemarahan. .

Oh, tidak.

Ara kembali menggerakkan kakinya dan berjalan menuju ruang tamu
Di sana Diaz tengah berdiri memandang ke arah seorang pria yang wajah hampir menyerupak Diaz. Penampilan parlente layaknya bos besar tak pelak membuat Ara menciut untuk menghampiri Diaz. Apalagi melihat sepasang mata hitam lelaki itu berkilat penuh amarah.

Mendadak tubuh Ara tak bisa digerakkan ketika manik mata lelaki berpawakan lebih besar sedikit dari Diaz, menatapnya dengan intens.

Tatapan menelisik itu membuat Ara merasa tak nyaman. Pandangan matanya seakan menyiratkan sebuah pertanyaan, tentang siapa Ara hingga berada di ruangan yang sama dengan Diaz.

"Pergilah, Bang. Gak ada lagi yang perlu kita bicarakan." Diaz menoleh ke arah yang sama seperti yang dituju lelaki di depannya.

"Dia bukan pelacur yang hanya menghangatkan ranjangmu kan?" Ara mendelik tak suka.

Apa katanya? Pelacur? Sialan! Dia tak semurah itu menjajahkan tubuhnya pada sembarang lelaki. Sampai saat ini hanya Diaz yang menyentuh dirinya, baik yang pertama kali ataupun yang kedua dan ketiga.

"Berani lo ngatain calon istri gue, Bang." Desis Diaz mengepalkan kedua telapak tangannya. "Ara masih suci ketika aku melalukannya. Dia beda dengan wanita itu." Ia masih bisa menekan kesabarannya agar tak meninju wajah Saka saat ini juga.

Saka menghunuskan tatapan mencemooh pada Ara. "Dibayar berapa lo sama Diaz? Udah selesai kan? Gue bayar lebih asal lo nyingkir dari hidup Diaz."

"Sialan!" Maki Diaz yang kemudian menyarangkan sebuah bogem mentah tepat mengenai sudut bibir Saka.

Ara memekik kaget melihat adegan pukulan tersebut, bahkan menutup mulutnya agar tak berteriak kencang.

"Lo nggak berhak ngatur gue. Pergi lo dari hadapan gue!" teriak Diaz meninggalkan ruang tamu tanpa memandang Ara yang masih berdiri kaku ditempatnya.

Setelah melihat kakaknya Diaz yang baru ia ketahui, barulah Ara menyusul Diaz masuk ke dalam kamar. Tapi kosong. Justru Ara mendengar suara pecahan kaca dari dalam kamar mandi.

Secepat kilat ia berlari ke kamar mandi. benar saja Diaz sudah meninju cermin hingga pecah berkeping-keping, bahkan ia melampiaskan amarahnya dengan melempar semua barang yang bisa ia jangkau. Melampiaskan kemarahannya.

Ara hanya bisa menonton, tanpa bisa berbuat sesuatu. Bukan kapasitas Ara untuk menanyakan perihal apa yang sudah membuat keduanya bermusuhan seperti itu. Siapa Ara wajib menanyakan hal-hal seperti itu? Kenal sih, tapi cuma sekedar kenal aja. Pacar juga bukan. Apalagi istri? Lamaran aja belum. Baru juga tadi Diaz bilang mau nikahin dia.

Tapi yang Ara tahu, Diaz sepertinya sudah dibatas kemarahannya. Kali sasaran Diaz adalah tembok yang ia pukuli dengan sekuat tenaga.

"Diaz!" pekik Ara melihat hal itu, secepatnya ia berlari mendekati Diaz kemudian memeluk pinggang pria itu erat-erat.

Sebegitu marahnya Diaz dengan Abangnya? Hingga ia sendiri tak mampu meraskan kesakitannya.

Ara tak tahu apa yang harus ia lakukan melihat aura kemarahan yang menyelimuti Diaz, yang jelas Ara tak menyukai Diaz yang seperti ini. Ara takut.

"Berhenti, Diaz!" seru Ara. Mengabaikan rasa sakit ditelapak kakinya, ia menenggelamkan wajahnya di punggung hangat Diaz.

Diaz yang merasakan pelukan erat Ara, juga suara lembutnya seketika mengembalikan deru napasnya yang memburu, perlahan-lahan menurun.

"Ra ...."

"Stop, Diaz. Jangan bergerak, biarkan seperti ini dulu."

Diaz sendiri hanya bisa diam terpaku ditempat ia berdiri, sejenak otaknya berasa kosong. Hanya merasakan pelukan Ara yang semakin mengetat dipinggangnya.

Diaz yang kembali mendapatkan kewarasannya, sejenak ditatapnya kedua tangan kecil Ara yang melingkupi pinggannya. Pelan ia meraih kedua tangan kecil tersebut dan melingkupi dengan kedua tangannya.

"Makasih, Ra. Makasih," guman Diaz yang masih bisa didengar oleh Ara.
.
.
.
Ara mendesis kesakitan ketika Diaz mencabut pecahan beling di telapak kakinya menggunakan pinset.

Tak ada pembicaraan diantara mereka, Diaz yang sedang fokus membasuh luka Ara dengan alkohol kdan Ara yang tengah memandangi Diaz.

"Kamu nekat!"

"Habisnya kamu ngeri kalo lagi marah." Dengkus Ara memalingkan wajahnya ketika Diaz mengangkat kepalanya.

Ia tak mau ketahuan jika sedari tadi dirinya tengah memandangi Diaz. Satu kesimpulan.

Diaz itu tampan.

Ara bergidik, setelah melemparkan kata-kata 'Diaz itu tampan' barusan, ya kali kalau Diaz yang cantik itu kan ajaib.

"Harusnya kamu jauhin aku, Ra." Ara menggelengkan kepalanya begitu Diaz menatapnya intens.

"Aku gak bisa liat kamu marah kayak gitu. Lebih tepatnya aku gak suka." Lagi, Ara menggeleng cepat. "Nyeremin kalo marah kayak tadi. Karena aku tahu, kamu nggak akan berhenti nyakitin diri sendiri." Melirik ke arah tangan Diaz yang sudah terbebat kasa perban.

Diaz kembali menunduk dan membebat luka Ara dengan perban, setelah dioles dengan obat merah.

"Maaf, kamu harus liat aku yang kayak tadi." Terang Diaz menghela napasnya. "Sorry untuk luka ini." Diaz mengelus kaki Ara yang terbebat perban.

Ara hanya memandang Diaz yang kembali memberinya tatapan kosong. Mungkin raganya ada di sini, tapi jiwanya tak berada ditempat yang sama.

Ara merangkum wajah Diaz, dan memberinya sebuah kecupan singkat. Membuat sang empuhnya tersadar dari lamunannya.

"Stop ngelamun lagi, Diaz." Ara menelisik ke mata hitam Diaz.

Diaz memejamkan matanya, mencoba menikmati rengkuhan tangan kecil Ara di wajahnya.

"Kita nikah aja ya, Ra! Aku nggak bisa kehilangan kamu." Diaz berujar setelah membuka kelopak matanya dan menatap lurus ke arahnya.

Ara menghembuskan napasnya pelan, dan menyorot ke dalam manik hitam Diaz. "Kamu yakin, Yaz?"

"Nggak pernah seyakin ini, Ra." Kemudian meninggalkan Ara yang masih terpekur dalam diamnya.

Jadi beneran?

★★★★✩✩✩★★★★

Taraaaaa, selesai sudah.

Makasih udah baca ples ngasih vote.

Selamat membaca ya.

Mahalo
-Dean Akhmad-
13-06-2018

Repost: 21/03/2019

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro