Bab 9 : Tamu Ajaib

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Dalam bayangan Ara, apartemen Diaz itu hanya sekotak persegi model studio atau Convertible. Nyatanya Ara dibuat melonggo tak percaya melihat bagaimama bentukan tempat tinggal lelaki itu. Ia tak menduga jika kediaman pria yang mengakui kepemilikan atas dirinya adalah sebuah griya tawang.

Jabatan dia apa sih?

Biar saja Ara dikatain ndeso. Karena memang kenyataannya seperti itu. Apartemen Diaz terlalu luas jika dibilang apartemen. Baru pertama kalinya ia melihat rumah semewah ini.

Hari hampir senja ketika mereka sampai di tempat tinggal Diaz, yang baru Ara sadari berada di daerah Jakarta Selatan atau lebih dikenal kawasan elit SCDB.

Berkali-kali ia dibuat terkesima dengan interior design ruang tamu yang pertama kali ia lihat, ketika memasuki griya tawang ini. Sungguh jauh dari ekspetasi Ara.

Ara melirik keluar jendela. Pemandangan di luar sana terlihat begitu kecil, tapi anehnya sungguh indah dipandang.

Berada di lantai berapa ini?

Duh, ngeri juga kali jatuh dari sini. Bisa-bisa gak berbentuk deh tubuhnya. Ara bergidik ngeri membayangankannya dalam pikiran.

"Kamu mikirin apa sih? Sampe nggak denger pas aku panggil," tanya Diaz menyelipkan sepasang lengan kekarnya di pinggang Ara.

"Enggak ada!" Sangkal Ara cepat.

"Ini akan jadi rumah kita. Mulai hari ini dan seterusnya," bisik Diaz serak.

"Diaz!" desis Ara memejamkan matanya merasai hembusan napas hangat Diaz di tengkuknya.

Ara reflek menaikan kedua bahunya, begitu Diaz mengendus cerukan lehernya.

Astaga! Ia merinding sekarang.

Oke! Ara mulai takut ini. Harus ya! Tiap kali bertemu dengan pria pemilik griya tawang mewah ini, masa harus berakhir di ranjang lagi.

"Diaz ...."

"Ehm ...."

Ara yang berusaha berontak bahkan tak mampu memindahkan kepala Diaz dari lehernya.

"Bisa berhenti nggak sih?" Ara berusaha menyingkirkan belitan lengan kekar Diaz. "Aku kebelet nih."

"Aku juga kebelet buat nelanjangin kamu." Ara mendelik mendengar ucapan vulgar Diaz. Mau tak mau ia melayangkan cubitan kecil namun terasa menyakitkan, bagi Diaz pastinya.

"Ya ampun, Ra. Sakit!" Adu Diaz langsung melepas belitan lengannya. Kemudian mengosok-gosok bekas cubitan Ara.

"Sukurin! Akutu kebelet pipis, kamunya mesum banget," sewot Ara melengos begitu saja. Membiarkan Diaz tetap mengosok bekas cubitannya, tentu dengan wajah memelas menahan sakit juga.

🌼🌼🌼🌼

"Pagi Baby," sapa Diaz mengecup pelipis Ara begitu ia memasuki area dapur, dan menemukan wanita yang ia lamar secara dadakan sedang berkutat dengan peralatan memasaknya.

Ah, dapurnya tak lagi dingin. Ada sentuhan wanita yang kini mulai menghangatkannya atau mungkin memanaskannya, berikut ranjang besar miliknya juga.

Ngomong-ngomong soal ranjang, Diaz tak bisa berkata apa-apa ketika bangun pagi tadi ia mendapati tubuh polos Ara dalam dekapannya. Dan soal tubuh polos ... semalam ia memang bisa sedikit memaksa Ara bergumul kembali ke ranjang mereka.

Anggap saja lebay, tapi ia ingin menjajal ranjang dan kamar dengan aktivitas yang mengairahkan juga melelakan. Ia benar-benar berubah jadi maniak sekarang.

Bersama Ara, tak pernah ada rasa puas untuk merasainya. Bahkan membuat Diaz nyaris gila kalau tak menyentuh Ara barang sehari saja.

Perasaannya memang masih abu-abu, bahkan ia belum bisa meraba denga pasti. Tapi ... bersama Ara semuanya terasa pas.

Melihat Ara di griya tawangnya, membuat perasaan bahagia itu semakin bersorak tanpa bisa dihentikan.

Ia sudah berkomitmen dengan wanita yang masih sibuk dengan memasaknya itu, maka ia akan mempersembahkan yang terbaik bagi wanitanya. Sama seperti sekarang ini. Bisa saja ia membawa Ara hidup di apartemen satunya, tapi ia tak mau.

Apartemen dimana ia mengambil kesucian Ara, hanya tipe convertible yang memang dikhususkan bagi para lajang. Ruang persegi itu hanya berisi satu kamar dengan kamar mandi dalam juga walk in closet tepat di ruang sampingnya. Sisanya berisi dapur yang menyatu dengan ruang tamu.

Diaz tak mau Ara tinggal di sana. Terlalu sempit. Lagipula ia ingin melakukan banyak gaya bersama tunangan yang belum ia resmikan ini. Mesum. Memang. Bersama Ara kadar kemesumannya semakin bertambah, jadi tak sabar sendiri.

Diaz terkikik mengingat pemikiran mesumnya barusan. Membuat Ara yang sudah menyelesaikan masakan paginya, mengerut bingung.

Ara menampik tangan Diaz yang mau menyomot tempe goreng hangat, membuat Diaz mengadu tak suka.

"Cuci tangan?"

"Udah!"

"Mandi, gosok gigi?"

"Nanti aja! abis sarapan." Jawaban Diaz jelas membuat Ara mendengkus.

"Jorok!" Sesaat Diaz akan menimpali omongan Ara, suara ketukan di pintu depan terdengar.

Diaz yang akan berdiri, terpaksa kembali duduk karena Ara menekan bahunya kuat-kuat. "Habisin sarapannmu!"

Serius! Sepagi ini Diaz sudah kedatangan tamu.

Agak malas Ara membuka pintunya. Ini masih pukul enam pagi, dan sudah ada tamu.

Ara dan tamu pria tinggi jangkung berkacamata itu sama-sama terkesiap, lelaki itu jelas menunjukkan raut wajah kaget karena mendapati seorang wanitalah yang justru membuka pintu griya tawang sahabatnya.

Ara sendiri hanya bisa mengerjab. Seorang pria dengan penampilan sebelas-duabelas selayaknya Diaz tengah berdiri di depannya. Yang membedakan adalah potongan rambutnya, beserta alis tebal membingkai pas kedua bola mata pria tersebut yang ditutupi oleh kacamata.

Wow! Bagi Ara pria berkacamata itu, seksi!

Ara berdeham keras, guna mencairkan keadaan yang tiba-tiba hening. Mendadak wajah Ara kaku, melihat senyum yang tersungging diwajah pria itu, memperlihatkan sepasang lesung pipit.

Astaga! Nikmat mana lagi yang kau dustai, Ra?

"Ck! Ini masih pagi, Ed. Mau apa lo ke sini?" Dengkusan Diaz terdengar dari balik punggung Ara.

Sedikit berjengit kaget, Ara menepi ke samping. Membiarkan dua insan sesama jenis ini saling memandang malas.

"Numpang sarapan!"

Begitu saja! Seenaknya pria yang di sapa Ed itu langsung nyelonong masuk tanpa dipersilakan.

"Elo, gak usah sok ganjen di depan Edgar!" Sembur seorang gadis berseragam SMA, dengan menampilkan wajah yang digarangkan. Kemudian juga masuk tanpa permisi, mengekori pria bernama panjang Edgar.

Ara mengernyit heran. Ganjen? Siapa? Ara? Sejak kapan ia bisa menggoda pria? Boro-boro mengoda yang ada malah ia sudah gugup lebih dulu. Tapi memang pria berkacamata itu bernilai plus di mata Ara.

Pengecualian pria pemaksa yang hanya memakai selembar celana boxer dan kaos singlet, yang masih berdiri di sampingnya dengan tatapan menelisik ke arahnya.

Astaga! Kenapa sih ia bisa terjebak dengan pria ini.

Setelah menutup pintu, Ara mengikuti Diaz yang kembali ke dapur.

"Jaga mata lo!" Hardik Diaz keras, yang duduk kembali ketempatnya. Memakan kembali sarapan yang tertunda gegara dua tamu tak diundang.

Sedangkan pria bernama Edgar itu, cuma mendengkus sebal. "Siapa lo?" tanya Edgar dengan pandangan menelisik. Dari ujung kaki sampai ujung rambut.

Ups! Ara kelupaan. Kalau kini ia hanya menggunakan kemeja Diaz yang sangat kedodoran di badannya yang kerempeng, tapi memakai boxer milik Diaz juga.

Jangan tanya reaksi anak SMA di samping pria itu. Dia hanya mampu mencebik kesal diiringi delikan tak suka ke Ara.

Tanpa disuruh Ara mengambil dua piring tambahan dan dua gelas yang kemudian mengisinya dengan air putih.

"Sarapan dulu. Kebetulan bikin banyak. Eh, ternyata firasat kalo bakalan ada tamu."

Si anak SMA itu mau tak mau ia mengambil dua centong nasi dan lauk-pauk serta sayur sop yang masih mengeluarkan asap. Kemudian mengangsurkannya ke depan Edgar.

"Aku bisa ambil sendiri, Lan."

"Kelamaan, Mas." Timpal gadis yang di panggil Lan tersebut, dan mengambil hal yang serupa untuk dirinya sendiri.

Ara hanya tersenyum simpul melihat adegan kakak-adik di depannya ini. Berapa kira-kira umur si Edgar dan si Lan ini. Usia mereka lumayan terpaut jauh jika ditelisik dari wajahnya.

Baru sekali ini ia berkenalan dengan teman Diaz. Ah, lebih tepatnya pria itu yang menyebutkan nama si sohibnya, tanpa repot Ara harus mengulurkan tangan untuk berkenalan. Bonus di gadis SMA ini juga.

"Mereka ini pacaran!" Tukas Diaz mengelap mulutnya dari sisa makanan.

"Hah?"

Edgar menghentikan gerakannya.

"Enggak!"

"Iya!"

Ucap mereka bersamaan, membuat Ara kebingungan.

"Kita gak ada hubungan apa-apa, Lan. Selain kakak-adik." Geram Edgar menatap tajam gadis itu.

"Udah cukup Samudera yang jadi abangku. Aku gak mau nambah lagi."

"Ulan!"

"Apa? Perasaan Ulan udah mantap, Mas. Aku tuh cinta sama mas Dewa. Bukan perasaan seperti adik."

Ara semakin dibuat bingung dengan perdebatan kecil di depannya.

Ara bisa meraba inti perdebatan mereka. Ulan yang kekeh sama perasaannya, dan Edgar atau Dewa ini juga tak mau kalah, menganggap bahwa si adik Samudera itu tak ubahnya seperti adiknya sendiri.

Edgar menghembuskan napasnya. Berapa kali ia harus meyakinkan Ulan bahwa, perasaannya hanya sebatas kakak-adik. Tidak lebih.

Ah, gejolak anak muda.

Hingga sebuah benda kenyal menyapa bibirnya dengan intens disertai lumatan kecil, menyadarkan lamunan Ara.

"Diaaaz!" Pekik Ara, memukul lengan Diaz.

"Menu penutupku." Seloroh Diaz meninggalkan Ara yang pipinya sudah memerah.

Boleh nyekik orang gak, sih?

Edgar hanya mendengus sebal, melihat pemandangan di depannya tadi. Dan Ulan. Pipinya sama memerahnya dengan Ara.

"Jadi, Mbak ..."

"Ara, Jenahara Harun."

"Wulan, Nawang Wulan Wijaya. Tapi biasa di panggil Ulan."

Mereka saling berkenalan, ketika Edgar menyusul Diaz masuk ke dalam ruang kerjanya.

Karena sisa pagi ini, Ara lalui sedikit ceria karena kehadiran Wulan. Si gadis SMA yang cinta mati dengan pria matang macam Edgar.

Jangan tanya sejarah panjang Wulan, bagaimana asal-usul perasaannya itu.

Ara salut dengan perasaan Wulan, karena bukan tak mungkin ia bisa bertahan lama dalam mencintai sosok Edgar yang menjadi cinta pertama Wulan, sejak ia menginjak umur sepuluh tahun.

wow!

Ya Tuhan! Ara bahkan paling malas jika memikirkan masalah percintaan. Cukup baginya ia tersakiti oleh Mario--mantan tunangan yang berengseknya naudzubillah.

Soal hubungannya dengan Diaz ... entahlah. Dianggap sebagaifriend with benefit, lelaki itu sudah melamarnya. Tapi juga belum resmi benar Karena jujur saja, Ara masih kebas untuk masalah perasaan.

Ia nyaman dengan hubungannya yang sekarang. Tanpa embel-embel title lainnya.

Ara masih takut, mempercayakan hatinya. Biar saja orang mau berkata apa. Ia masih berusaha memulihkan sakit di hatinya.

Akan lebih baik, jika seperti ini. Jalani saja apa yang ada di depan. Terserah takdir membawanya ke mana.

✩✩✩✩✩✩✩

Ok done. Ini tanpa revisi yes. Jadi maklumin aja kalo masih ada typo, kurangnya huruf bahkan lebihya huruf.

Bebera part awal aku revisi dikit-dikit. Jadi harap maklum kalo ada ketidakcocokan. Seperti yg kpn hari aku bilang aku jadiin cerita ini jd 4 seri. Dan mereka kebagian seri pertama.

Wkwkwwkwkwkwk ...

Colek somenaa sama akula9i

Jangan ditagih lagi, udah up cepetan ini. Ngok.

Mahalo
-Dean Akhmad-
02-08-2018

Repost: 28/03/2019

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro