3. kabar bahagia?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Nayla saat ini tengah sibuk mengurusi taman kecil di halaman rumahnya.

Ada beberapa jenis dan warna bunga di taman kecilnya. Ada mawar merah, mawar pink, mawar putih, melati, anggrek, dan masih banyak yang lainnya. Tapi yang menjadi favoritnya adalah bunga melati. Ia ingin seperti bunga melati, berwarna putih yang melambangkan kesucian dan juga kebaikan.

Ia tidak ingin seperti bunga mawar, walaupun terlihat begitu indah tapi dirinya rapuh, dan harus dilindungi oleh banyak duri yang akan menyakiti siapapun yang ingin menyentuhnya. Tapi ia juga menyukai bunga yang mempunyai banyak warna tersebut.

Setelah selesai mencabuti rumput liar, Nayla pun mengambil selang air untuk menyirami tanamannya.

Itulah kegiatan Nayla disaat tidak mengajar. Selain itu ia juga harus membantu Bundanya, membereskan rumah dan lain sebagainya. Benar-benar istri idaman bukan? Iya, karena kedua orang tuanya selalu mengajarinya untuk hidup mandiri. Sebisa mungkin semua pekerjaan ia kerjakan sendiri. Bukan karena mereka pelit tapi selagi bisa dikerjakan sendiri maka kerjakan. Jangan selalu bergantung pada orang lain. Jikalau nanti mampu membayar atau menggaji pembantu tapi akan lebih baik jika mengerjakannya sendiri. Itung-itung olahraga gratis. Tanpa harus pergi ke tempat fitnes sudah bisa berolahraga.

Bukan hanya Nayla yang diajarkan untuk mengerjakan pekerjaan rumah. Riki pun juga. Kini giliran Riki yang harus membersihkan rumah. Mulai dari nyapu, ngepel, dan mengelap kaca jendela.

"Nay...Rik...sini dulu..Bunda buatin teh niiihhh..." teriak Bunda memanggil anak-anaknya.

Riki segera berlari, tak lupa ia melempar kesembarang lap yang sedari tadi ia gunakan untuk mengelap kaca. Sedangkan Nayla lebih memilih untuk membereskan peralatannya lebih dulu, karena pekerjaannya sekarang sudah selesai.

"Nayla..kamu ada acara apa hari ini?" tanya Bundanya sambil menyesap teh yang ada di tangan kanannya.

"Nggak ada Bund..Nayla dirumah aja."

"Kalo gitu ntar temenin Bunda ke rumah Om Gunawan ya."

Nayla hanya bisa mengangguk. Karena ia tidak mungkin berbicara saat di dalam mulutnya penuh dengan makanan. Tidak sopan.

Bunda kembali masuk kedalam rumah untuk melanjutkan pekerjaannya. Sementara Nayla dan juga Riki masih duduk di teras dengan ditemani beberapa potong kue yang tersisa.

"Dek..kamu penasaran nggak sih sama Bunda?" tanya Riki tiba-tiba dengan setengah berbisik. Seolah ia takut pembicaraannya terdengar orang lain. Padahal diteras hanya ada Nayla dan dirinya.

"Penasaran apaan?" Nayla balik bertanya.

"Ya kan Bunda sering banget ajak kamu kerumah Om Gunawan. Jangan-jangan kamu mau dijodohin sama anaknya lagi."

Pletak..

Alih-alih menjawab Nayla malah memukul kepala kakaknya dengan sendok kecil yang tadi ia gunakan untuk mengaduk tehnya.

"Aduuuhhh..." Riki mengaduh sambil mengusap usap kepalanya.

"Apaan sih Dek. Kualat loh..main pukul aja."

"Ya siapa suruh curigaan. Su'udhon mulu kerjaannya."

"Ini malah khusnudhon tauk..kan Alhamdulillah kalo emang Bunda punya niatan jodohin kamu sama anaknya Om Gunawan. Biar cepet ganti status kamunya."

"Kakak dulu kali..." jawab Nayla sambil nyelonong masuk kedalam rumah. Malas mendengar ocehan Kakaknya yang tidak masuk diakal.

Nayla masuk kedalam kamar untuk bersiap-siap. Tapi kata-kata Kakaknya entah kenapa berputar lagi didalam pikirannya.

"Dijodohin sama anaknya Om Gunawan?" Nayla meringis. Walau ia belum tahu tujuan Bundanya tapi kecurigaan Riki ada benarnya. Karena selama ini hanya Nayla yang selalu diajak kerumah Om Gunawan.

Adit. Nama itu terlintas diotaknya. Adit anak bungsu dari pasangan Gunawan-Rini. Anak lelaki yang usianya baru menginjak 20 tahun yang baru kuliah di semester 6. Terpaut 3tahun dari Nayla. Tapi ia mampu meraih mimpinya diusia muda. Ia berhasil menjadi seorang bos dengan 20 karyawan di 2 cabang restonya.

Nayla memang sempat kagum dengan sifatnya yang pantang menyerah. Walau usianya masih muda dan anak bungsu tapi Adit tidak manja, mandiri, pekerja keras. Dan itu terbukti dari 2 resto yang selalu ramai akan pengunjung. Resto yang modal awalnya tidak seberapa dan hanya memakai uang tabungannya sendiri itu kini sudah mampu menggaji 20 karyawan. Benar-benar suami idaman. Muda, tampan, dan mapan. Tapi untuk Nayla? Bukankah itu terlalu muda? Walau Nayla sempat kagum padanya tapi rasanya tidak mungkin.

"Nayla udah siap belum.." teriak Bunda dari luar kamar Nayla.

"Iya Bund tinggak pake jilbab doang kok."

Tidak ingin membuat Bundanya marah, Nayla pun hanya memakai jilbab instan yang senada dengan bajunya.

Setelah siap. Keduanya pun segera berangkat dengan mengendarai motor milik Riki. Walau awalnya sempat dilarang oleh yang punya, tapi karena bujuk rayu Bunda, Riki pun luluh dan membiarkan motor kesayangannya pergi dengan Adik dan Bundanya.

Hanya butuh waktu 15 menit untuk sampai dirumah Om Gunawan.

Rumah dengan cat berwarna biru laut itu kini Nayla dan Bundanya berdiri. Menunggu seseorang keluar untuk membukakan pintu setelah tadi mereka mengetuk pintu beberapa kali.

"Assalamu'alaikum.." Nayla kembali beruluk salam.

"Wa'alaikumussalam.." sahut seseorang dari dalam rumah. Pintu pun terbuka, menampakkan sosok lelaki muda dengan kemeja kotak-kotaknya serta celana kain.

"Eh ada Mbk Zahra..sama Tante Winda..masuk Tant- Mbk.." sapa lelaki itu ramah.

Nayla hanya mengangguk lalu mengikuti Bundanya masuk kedalam rumah.

"Mama mana Dit?" tanya Bunda saat sudah duduk di kursi ruang tamu.

"Oh tadi mama ke minimarket depan Tant..Tante udah janjian? Takutnya mama lama."

"Udah kok tadi Tante udah telfon Mama kamu."

"Oh gitu..kalo gitu saya permisi dulu ya Tante. Adit kedalem dulu mau ganti baju."

"Oh iya..baru pulang ya?"

"Iya tant.."

Lelaki yang ternyata bernama Adit itu pun masuk kedalam. Sepeninggalan Adit, Nayla dan Bundanya masih duduk sambil mengobrol sedikit, membicarakan Adit. Atau lebih tepatnya Winda menceritakan kelebihan-kelebihan Adit kepada anaknya. Nayla semakin kagum saat tahu dari Bundanya kalau Adit sudah akan membuka cabang lagi, tapi kali ini diluar kota. Di surabaya, cukup jauh memang.

15 menit kemudian orang yang ditunggu pun akhirnya datang. Dengan menenteng 2 kantong plastik besar ia berlari saat tahu kalau sahabatnya main kerumahnya. Dengan heboh kedua wanita berumur itu saling berpelukan, walau sebenarnya mereka sering bertemu tapi begitula mereka. Merasa masih seperti gadis usia SMA. Karena terlalu heboh, mereka melupakan anak-anaknya yang kini tengah duduk dengan canggung karena ditinggal masuk kedalam.

"Mbak Zahra gimana kabarnya?" tanya Adit memecah keheningan. Adit memang memanggil Nayla dengan panggilan Zahra. Lebih cocok katanya.

"Alhamdulillah baik kok. Adit sendiri?"

"Baik juga Mbak.."

"Katanya mau buka cabang lagi?"

"Iya mbak. Disurabaya. Doain lancar ya Mbak"

"Iya Aamiiin..tapi kok jauh banget? Kenapa harus di Surabaya? Kamu nggak capek harus bolak balik Semarang-Surabaya terus?"

"Ya gimana lagi Mbak. Kan awalnya resto aku yang di Solo itu buka pesanan online. Nah ternyata banyak banget yang pesen dari Surabaya. Otomatis harus aku tolak kan mbak. Kan nggak mungkin kirim makanan kesana. Nah, kebetulan temen aku ada yang kuliah disana. Aku ceritain itu kedia, dia malah nyaranin buat aku buka cabang disana. Jadi ntar cabang aku yang disana dia yang ngurusin jadi aku nggak harus bolak-balik Semarang-Surabaya terus mbak. Mungkin sesekali aku ngecek kesana gitu.."

"Oh gitu..terus sekarang gimana? Udah sampai tahap apa?"

"Itu lagi...."

Belum selesai Adit menceritakan, harus terpotong karena ponsel Nayla berbunyi dengan kencangnya.

"Ini pasti kerjaan Kak Riki. Nyetel volume kenceng kaya gini." batin Nayla.

Nayla mengambil ponselnya, melihat siapa nama pemanggilnya.

"Kak Riki. Hmmm kebetulan nih.."

Dengan segera Nayla menggeser tombol hijau sehingga sambungan telfon pun terhubung

"Hallo ada apa?" tanya Nayla jutek karena ia merasa kesal dengan kakaknya.

"Bukannya salam..ini temen kamu waktu SMA ada yang dateng kesini. Katanya ngundang kamu ke acara pembentukan panitia renuni. Acaranya besok jam 9 kamu bisa nggak. Jawabannya harus sekarang. Ditungguin soalnya." cerocos Riki.

"Emang siapa aja yang bakal jadi panitia?" tanya Nayla.

"Nanya aja sendiri nih.." Riki menyerahkan ponselnya pada seseorang dihadapannya.

"Hallo Nay..ini aku..Irfan..inget kan?"

"Oh iya inget kok Fan..gimana emang? Siapa aja rencananya yang jadi panitia?" tanya Nayla langsung to the point.

"Ya yang dulu masuk struktur organisasi kelas. Jadi para ketua sekretaris bendahara dan yang lainnya deh.." jelas Irfan. Nayla mengangguk.

"Jadi gimana? Tinggal kamu doang nih yang belum konfirmasi. Mau ya..pliiissss..."

Nayla mencerna setiap kata yang ia dengar.

"Semua? Apa itu artinya alif juga? Dulu Alif adalah ketua kelas. Ikut kah ia? Lalu apa yang harus aku lakukan? Bilang iya?" batin Nayla berkecamuk.

"Nay....Nay..." irfan memanggil Nayla. Menyadarkan Nayla dari lamunannya.

"Oh iya Fan..aku ok."

"Oke ya..kalo gitu aku tunggu jam 9 di sekolahan. Oke.."

Nayla menutup telfonnya. Ia tersenyum membayangkan dirinya akan kembali bertemu dengan alif. Tapi ia juga merasa takut. Entah apa yang ia takut kan.

"Apakah ini kabar bahagia?"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro