23

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Perlahan tapi pasti, kondisi Ara membaik. Kecelakaan itu cukup fatal. New Mazda hijau terang yang dikemudikan Randy tahu-tahu lepas kendali dan berbelok tajam mencium tiang listrik .

Randy sendiri nyaris tidak mengalami cedera apa-apa. Hanya luka-luka di tangan dan memar di beberapa tempat. Ara sebaliknya. Kaki kanannya patah, dua tulang rusuknya retak, juga gegar otak. Tapi setelah dua hari nggak sadarkan diri, dia akhirnya membuka matanya juga. Dan melihat wajah tua dan waswas milik Bapak.

"Nang. Kamu benar-benar bikin Bapak jantungan kali ini," suara Bapak parau. Matanya berkaca-kaca.

Ara mencoba tersenyum, tapi kemudian kegelapan seperti mengisapnya lagi dan membawanya entah ke mana. Sorenya dia membuka mata lagi. Bapak masih di sana. Menungguinya. Mengusap pipinya. Tersenyum dengan mata berkaca-kaca penuh syukur.

Ara balas tersenyum. Ada sebentuk wajah di dekat Bapak.

Dion?

Ada yang aneh di wajah itu. Sesuatu yang biru. Tapi wajah itu mengangguk dan ikut tersenyum. Senyum penyesalan? Lalu gelap lagi.

Pada hari berikutnya Ara mendapati beberapa wajah lain. Kimi. Monik. Kev. Dia mengulurkan tangan dan satu per satu mereka mendekat dan bergantian menggenggam tangannya sebentar. Monik menangis sedikit. Kimi mencoba tersenyum, meskipun senyumnya kaku dan asing. Dion terus berdiri di dekat tempat tidur Ara. Wajahnya yang aneh itu kelihatan tegang.

"Randy... mana?"

Dion menatap tajam sosok yang terbaring di depannya. Kaki kanan Ara digips. Bibirnya bengkak. Ada lebam biru di sepanjang tangan kirinya. Juga di sebagian besar wajah sebelah kiri. Dan perban di sekeliling kepala. Dan tak satu hari pun cowok yang menyebabkan semua ini muncul untuk melihat keadaannya. Tapi justru nama cowok itulah yang pertama kali diucapkan Ara saat dia sadarkan diri.

"Ssstt, Nang... Dia baik-baik saja. Kamu nggak perlu lagi mikirin dia. Dia tidak baik untukmu," ujar Bapak.

Ara menelan ludah. Jadi, Randy baik-baik aja. Oke. Oke. Syukurlah. Meskipun Ara nggak ngerti kenapa cowok itu nggak datang melihat keadaannya.

Karena merasa bersalahkah? Karena...

Ah, dia capek. Dia ingin memejamkan mata. Sebentar saja.

"Wajah lo kenapa, Yon?"

Dion tersentak oleh pertanyaan itu. Saat itu dia tinggal sendirian untuk menjaga Lexa. Ayah Lexa sedang pergi ke kafeteria untuk makan.

Refleks Dion menyentuh wajahnya. Trus nyengir.

"Eh... nggak pa-pa," ujarnya, suaranya tercekat.

Ara menghela napas. Lama dia diam seperti itu. Memperhatikan Dion lekat-lekat. Mencoba menyusun kepingan-kepingan kesadarannya.

"Lo udah ketemu Randy?" dia bertanya pelan.

Dion mengangguk singkat, lalu melengos, nggak kepingin menatap Ara.

"Lo habis berantem sama Randy? Muka lo..." Ara tidak menyelesaikan kalimatnya.

Dion menunduk. Lama mereka terdiam.

Ara mencoba menilik emosinya. Ah. Dia hanya merasa lelah. Dan lemah. Dia mencoba memejamkan mata.

"Lexa, maafin gue. Gue..." Dion menatap wajah yang berbaring diam itu dengan sedih. Bagaimana caranya mengatakan bahwa dia menyesal Ara terperangkap di antara dirinya dan Randy? Bahwa dia menyesal Randy memilih Ara untuk melampiaskan dendamnya kepada Dion? Bahwa dia menyesal tidak lebih keras lagi berusaha menceritakan semuanya kepada Ara? Bahwa dia tidak menyangka Randy bakal nekat mengambil tindakan sebodoh ini? Sefatal ini hingga nyaris...

Ah, Dion tidak ingin meneruskannya. Dia ngeri.

Ara membuka matanya. "Eh. Kenapa jadi lo yang minta maaf?" Dia terdiam sebentar, mengatur napas. "Lo udah mencoba ingetin gue. Lo bahkan minta Monik ngomong ke gue.Tapi...,"

Ara mencoba tersenyum. Perlahan, meski sebentar-sebentar berhenti di tengah ucapannya, Ara menceritakan kejadian sebelum kecelakaan itu.

"Gue nggak ngerti apa yang terjadi sama dia, Yon... Kemarahannya..."

Tapi Dion mengerti. Pada akhirnya, dia harus menceritakan semuanya. Semua yang ada di antara dirinya dan Randy. Bukan untuk membuka aib Randy, tapi supaya Ara mengerti.

Maka perlahan, dia menceritakan masa kecil sepupunya itu, kesibukan orangtuanya, rasa persaingan dan permusuhan terhadap Dion karena Randy melulu dibanding-bandingkan dengannya, kebencian yang muncul di antara mereka. Dendam Randy padanya... Dia menceritakan bagaimana dia menghajar Randy dulu dan akibatnya, dia juga menceritakan percakapan di tepi kolam renang itu, ucapannya kepada Randy untuk menyayangi Ara dan membuatnya bahagia.

Ara mendengarkan dalam diam, sementara air matanya mengalir tanpa suara, menangisi Randy untuk terakhir kali, sebelum dia menutup lembaran itu untuk selamanya. Ya, Ara harus melepaskan Randy. Bukan karena perbuatan cowok itu padanya---kalau itu, Ara nggak bisa menyalahkannya. Dia hanya ingin mengerti. Dia melepaskan cowok itu karena seperti kata Bapak, Randy tidak baik untuknya. Dan mungkin, Ara juga tidak baik untuk Randy.

Ah. Ara mengusap pergi air matanya. Diam-diam, di dalam hati, dia mendoakan Randy.

"Makasih udah cerita semuanya ya, Yon," bisik Ara, seraya mengulurkan tangannya dan meraih tangan Dion.

Dion tersentak oleh sentuhan itu. Ditatapnya wajah yang menatapnya lemah itu. Ingin rasanya dia menyatakan, betapa sayangnya dia pada cewek mungil ini. Ingin rasanya dia memeluk Ara erat-erat dan mengenyahkan setiap lukanya. Tapi Dion tahu, dia harus bersabar. Bukan itu yang dibutuhkan Ara sekarang.

"Lo... mau jadi temen gue lagi, kan?" suara Ara begitu tipis, nyaris tak terdengar.

Dion mengangguk.

"Gambarin sketsa gue lagi?"

Dion mengangguk, hatinya perlahan menghangat.

"Ngobrol tiap malam lagi?"

Sekali lagi Dion mengangguk.

Ara tersenyum lemah.

"Bikinin gue puisi, Yon. Kayak yang lo kirim ke Monik. Oke?"

Ah. Dion tercekat. Ara tahu surat-surat puisinya.

Ditatapnya cewek itu lekat-lekat. Lalu sekali lagi dia mengangguk. Kali ini dengan sekulum senyum di bibirnya.


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro