Epilog

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Randy menatap ke luar. Kacamata hitam yang menyembunyikan lebam di kedua matanya menyentuh permukaan kaca jendela pesawat. Matahari terang benderang, namun perasaannya sama sekali kelam.

Kali ini kepergiannya akan jauh. Dan untuk waktu lama. Kecelakaan yang nyaris telak itu memaksa orangtua Randy untuk memindahkan putra mereka ke luar negeri. Mencabutnya dari lingkungan pergaulannya yang sekarang, begitu alasan Mama dan Papa. Biar Randy nggak berhubungan lagi dengan teman-temannya yang brengsek. Meski, bagi Randy, itu lebih terasa seperti mengucilkannya.

Randy menyentuh rahangnya. Kemudian meringis. Dia ingat kemarahan di wajah Dion saat menghajarnya beberapa hari lalu, begitu sepupunya itu mendengar berita tentang kecelakaan naas tersebut dan datang ke rumah mencari Randy.

Awalnya Randy masih sempat menyarangkan satu pukulan di wajah Dion. Tapi trus Dion membalas dengan menyarangkan tendangannya di wajah Randy.

"Ini untuk Lexa!" bisiknya geram.

Dan entah mengapa ucapan itu membuat Randy kehilangan keinginan untuk membalas. Dia sama sekali kehilangan minat untuk melawan. Dia tidak melihat gunanya. Yang diinginkannya adalah meminta maaf kepada Lexa. Tapi itu pun, dia tahu, nggak bakal pernah dilakukannya.

Randy nggak peduli dirinya disebut pengecut. Dia nggak peduli dirinya disebut brengsek, bedebah, bangsat, apa saja. Yang jelas dia tidak akan memberi kepuasan kepada Dion dengan menunjukkan penyesalan. Apalagi meminta maaf! Karena itu dia meminta maaf kepada Lexa dengan satu-satunya cara yang diketahuinya: membiarkan Dion memukulinya, membalaskan setiap luka yang telah ditimbulkannya pada diri cewek itu.

Dion terkesiap saat menyadari Randy hanya meringkuk pasrah tanpa melawan. Dia menghentikan serangan. Napasnya ngos-ngosan. Ditatapnya nanar wajah sepupunya itu.

"Kenapa berhenti?" tantang Randy dengan tatapan menghina. "Ayo pukul gue sampai puas! Buktikan lo nggak berbeda sama gue! Sama-sama binatang!"

Dion terdiam. Terkejut. Dengan segenap kekuatan dia mengendalikan dirinya. Dia mengertakkan rahang. Lalu meninju dinding tepat di sisi kepala Randy. Sekeras-kerasnya. Kemudian meninggalkan tempat itu. Tidak, Dion tidak ingin terperangkap dalam badai kebencian Randy. Tidak lagi. Tidak setelah kejadian yang nyaris merenggut nyawa Lexa.

Ah. Lexa.

Randy mendesah.

Sekali lagi dia memandang ke luar jendela. Kepada gumpalan awan putih gendut di bawah badan pesawat. Aneh, pikirnya. Betapa kosong rasanya sekarang. Betapa hampa. Ke mana perginya semua kebencian itu? Dendam itu? Perasaan menang yang dirasakannya saat Dion tersadar bahwa Randy menolak melawan dan memasrahkan dirinya sebagai pelampiasan kemarahannya? Perasaan marah saat Dion kemudian pergi dan meninggalkannya begitu saja? Ke mana semua perasaan itu?

Randy bergidik.

Tiba-tiba perasaan dingin seolah menjalari punggungnya.

Ah, sepi ini. Sepi yang mengiringi perasaan menyesal yang tak mungkin diakuinya ini. Sepi bernama Lexa ini...

Betapa dalam.

Betapa menyesakkan.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro