18: Somewhere Only We Know

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Memandang punggung Frey adalah aktivitas favoritnya. Cowok itu selalu menjadi orang favorit yang ada di hidupnya. Seberapa keras kepalanya dia, seberapa kuat inginnya untuk melupakannya, selalu saja kembali ke titik semula, kembali padanya.

Dari spion motor, Frey sekali-kali melirik Yefta. Memastikan gadis itu tidak jatuh pingsan. Wajahnya terlihat pucat, mungkin karena dia tidak nafsu makan akhir-akhir ini, bisa saja dia adalah alasan dari hilangnya semangat Yefta. Mungkin karena gadis lain yang mengganggu pikiran Yefta. Frey mendengkus kesal, dia tidak suka melihat gadis itu kesulitan.

Lagi-lagi Yefta masih asik dalam lamunannya, dia sedang memegang pundak Frey. Mereka sedang dalam perjalanan menuju ke rumah gadis itu. Malam ini tidak begitu macet, jalanan tetap ramai, hanya saja tidak sampai berhenti total karena macet. Mereka tetap bisa jalan, walaupun pelan.

"Ta, kamu melamun lagi?" tanya Frey dengan volume suara keras.

"Hah? Kamu ngomong apa?" teriak Yefta. Kalau mengobrol ketika berkendara memang memberikan tantangan tersendiri, bagaimana caranya mereka bisa mendengar obrolan dengan jelas. Kalau menumpang dengan ojek, Yefta hanya akan bilang 'iya' saja, atau bahkan dia akan diam saja karena tidak mendengar pertanyaan dengan jelas. Namun, dia tidak mau menganggurkan pertanyaan Frey. Baginya obrolan mereka sangat berharga, walau di tengah gempuran hembusan angin yang kencang.

"Kamu melamun lagi?!" Volume suara Frey semakin kencang saja. Pasalnya dia tidak ingin mengulang pertanyaannya lagi. Tubuhnya sedang capek, banyak hal yang lagi dipikirkannya, dalam kondisi tubuh seperti ini akan sangat mudah baginya untuk tersulut emosi, apalagi dia sebenarnya tidak sabaran. Akhirnya dia akan marah, bukan inginnya sebenarnya, tetapi karena dia saja tidak sanggup dengan capek yang dirasakannya, sehingga orang lain menjadi sasaran jika membuat amarahnya keluar. Namun, Yefta termasuk dalam daftar orang yang tidak ingin dimarahinya. Gadis itu berharga baginya, always.

Pernah dia kelepasan marah dengannya, Frey meninggikan intonasi suaranya dan memandang Yefta dengan tatapan menyudutkan. Hari itu Frey sangat kelelahan, jadwal kegiatannya sedang banyak dan beberapa hal terjadi tidak sesuai ekspektasi membuatnya berada dalam kondisi mood yang cukup buruk, apalagi dia belum sempat makan serta mengantuk sebab jam tidurnya jadi berkurang untuk mempersiapkan beberapa hal yang belum beres. Jam tidur yang buruk adalah hal yang harus dihindari Frey, mood-nya akan cukup buruk keesokan harinya dan dia lupa dengan prinsipnya sendiri. Kalau sedang dalam kondisi seperti itu, dia lebih memilih untuk mengurung dirinya sendiri, menjauhi orang-orang yang berharga baginya sebab kemungkinan untuk kelepasan emosi jadi lebih rentan, sayangnya dia malah bertemu Yefta yang berlari kegirangan karena bertemu Frey. Mengingat kejadian itu selalu membuatnya merasa bersalah.

"Frey! Ih, aku cariin dari tadi! Kok kamu ngilang hari ini? Susah banget dicariin, dikirimin pesan juga nggak dibaca-baca, dasar orang penting." Yefta hanya ingin mencairkan suasana saja, dari wajahnya sudah terbaca kalau dia sedang ada hal yang dipikirkan. Namun, dia membutuhkan pertolongan Frey.

"Frey, kok aku dicuekin? Aku mau minta tolong, nih. Duh, tahu sendiri deh, susah banget tembus responsinya Bu Merlina. Kamu, kan, habis ikut praktikum sama Bu Merlina, bantuin dong. Ditanyain apa aja? Terus, kamu jawab apa pas ditanyain bedanya antibiotik time dependent sama concentration dependent? Masa aku jawab dibilang salah. Emang kamu jawabnya gimana?" Yefta lupa, dia lupa dengan perjanjian tidak tertulis antara dia dengan Frey. Cowok itu memang penyabar, tetapi marahnya orang sabar itu lebih mengerikan. Sudah pernah Frey meminta jika suatu hari Yefta menyadari dia dalam mood yang buruk, cowok itu memintanya untuk jangan berkomunikasi dengannya, kalaupun kelepasan dia meminta maaf terlebih dahulu karena pada kondisi pikiran yang negatif maka dia tidak bisa berpikir jernih.

"Ta, bisa diem nggak? Berisik."

Untuk beberapa saat dia terdiam, "Loh, kok  ngamuk, Frey? Tumben banget."

"Emang aku nggak boleh marah? Kamu pikir aku baik terus? Pikir, dong. Aku juga manusia, bisa marah. Jangan seenaknya gitu, aku lagi bete ini."

Entahlah, gadis itu jarang dimarahi oleh orang-orang yang disayanginya, kalau dimarahi dosen atau orang tua dia sudah biasa, tetapi dia tidak siap dimarahin Frey. Yefta belum mempersiapkan dirinya untuk itu, sehingga dia terkejut. Matanya sudah berkaca-kaca, itulah yang menyadarkan Frey kalau dia sudah salah langkah. Meskipun sebenarnya cowok itu tidak sepenuhnya bersalah, hanya saja tidak sesuai dengan prinsipnya.

"Oh, oke. Maaf, Frey." Yefta mundur dan pergi menjauh dari Frey. Akhirnya mereka tidak saling bertegur sapa untuk satu bulan lamanya, Yefta terus menerus menjauhi Frey, dia hanya tidak siap untuk dimarahin lagi oleh Frey. Dia terlanjur menyayanginya sehingga dimarahi begitu membuatnya tidak sanggup. Yah, untuk sementara hingga dia membiasakan dirinya. Frey terus mencarinya setelah beberapa hari mengintropeksi dirinya sendiri. Kebiasaan Frey dan Yefta, mereka akan mengambil waktu sendiri untuk mengintropeksi diri sendiri dan merubah yang salah. Proses belajar itu seumur hidup, tidak hanya semasa sekolah dan kuliah saja baru belajar, melainkan seumur hidup. Pasti akan ada perkembangan yang terjadi, sehingga harus bisa dan harus mau belajar serta beradaptasi. Tidak ada yang terlambat dengan umur, belajar tidak terbatas oleh umur, semua orang berhak untuk belajar dan mengembangkan diri. Mereka selalu memahami satu sama lain, tetapi ada kalanya mereka seperti ini.

Hal ini wajar, tetapi Frey tidak suka mereka tidak berbicara untuk waktu yang lama. Mereka berbicara seperlunya saja ketika ada tugas bersama, selepas itu Frey akan kehilangan jejak Yefta. Entah bagaimana, dia begitu cepat pergi dari sana. Namun, sekeras kepala apapun gadis itu, dia akan kembali pada Frey. Cowok itu rumahnya, orang yang dia sukai, tidak mungkin dia tahan lama-lama menjauhinya. Melihatnya saja sudah menjadi energi tambahan baginya untuk menjalani hari. Entah apa yang dipikirkan Frey ketika memandangnya, tetapi cowok itu berharga baginya.

Yefta melihat pesan yang dikirimkan Frey, pesan itu sudah dikirim sejak lama. Hanya saja tidak dibacanya, sengaja.

Frey ngeselin

Yefta, sorry. Jangan lama-lama dong ngejauhin aku gini. Kamu nggak kangen apa pulang bareng? Soal pertanyaanmu, kamu jawab apa ke bu Marlina? ....

Yefta hanya melihat layar ponselnya dengan tatapan sendu, dia merindukan sosok tampan itu di sisinya. Merindukan hadirnya, merindukan gelak tawa dan sikap usilnya. Kalau dia membuka pesan itu, dia tidak akan sanggup menahan diri untuk menyuekin cowok tampan itu. Dia tipe orang yang fast respon, meskipun dia ingin jadi orang yang balas pesannya lama, mungkin berhari-hari. Mungkin karena dia kesal dengan teman-temannya yang terlihat online di status whatsapp, tetapi tidak kunjung membalas pesannya.

Yah, namanya juga prioritas. Pasti Yefta tidak menempati skala prioritas teman-temannya, atau bisa saja mereka sedang tidak berminat untuk bercengkrama dengannya, bisa saja suasana hati mereka sedang tidak baik sehingga tidak ingin untuk membalas pesan, bisa saja mereka sudah menjawab tetapi menjawabnya dalam hati saja. Tidak ada yang tidak mungkin, bukan? Lagi pula, dia tidak berhak marah karena pesannya diabaikan begitu lama, setiap orang punya hak atas dirinya sendiri.

-Bersambung-

Jumlah kata: 1088 kata

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro