Bab 4: Peluk

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Semilir angin berhembus, memberikan rasa dingin di kulit. Melewati setiap insan yang berjuang mengerjakan secarik, dua carik kertas soal.

Soal ujian itu mudah, tinggal dibaca saja, kan? Bagian susahnya adalah menjawab soal itu. Bagaikan hidup dan mati saja rasanya.

Berbeda ketika dia memgerjakan soal SBMPTN dulu, sekarang gadis itu sangat tenang. Persiapannya tidak selama saat dia mempersiapkan SBMPTN, tetapi tidak ada keraguan dalam hatinya.

Beberapa kali gadis itu berhenti mengerjakan soal seraya merilekskan badannya. Pegal dan kantuk bergabung menjadi satu, membuatnya semakin lelah. Namun, melihat teman seperjuangannya begitu serius mengerjakan soal mengembalikan semangat juangnya.

Selepas selesai mengerjakan soal ujian, gadis itu memejamkan matanya sekalian menunggu waktu ujian yang akan habis sebentar lagi. Lelah, tetapi lebih lelah lagi menjalani hidup tanpa kejelasan.

Bunyi bel terdengar, panitia langsung berdiri dan mengambil soal ujian. Pengarahan yang jelas membuat semuanya berjalan dengan baik dan tertata rapi.

Yefta tersenyum puas. Dia puas dengan kinerjanya selama mengerjakan ujian, sekarang waktunya melepaskan penat.

Matanya mencari sosok mamanya begitu keluar dari gedung ruang ujian. Seulas senyum mulai mengembang melihat sosok yang dicarinya.

"Hai, ma," sapa Yefta riang.

Mereka saling berbagi cerita. Wanita paruh baya itu menghabiskan waktu tadi dengan mengobrol dengan orang tua calon mahasiswa lain. Yefta pun cerita tentang soal yang dikerjakannya.

Mereka bertolak ke pusat perbelanjaan sekalian mencari tempat makan siang di sana. Perut sudah meronta-ronta ingin diisi. Apalagi otak Yefta sudah lelah berpikir selama beberapa jam tadi.

Seusai mengelilingi pusat perbelanjaan di kota Kediri, mereka kembali ke hotel untuk beristirahat. Hari yang melelahkan, tetapi menyenangkan.

Keesokan harinya mereka mendapatkan kabar jika pengumuman kelulusan ujian masuk sudah terpampang di papan pengumuman. Mereka langsung bersiap-siap dan berangkat ke sana.

Sinar mentari begitu terik, panasnya menyengat. Terlihat begitu banyak orang yang berdiri di depan papan pengumuman. Yefta menatap mamanya lekat, ada rasa khawatir. Pikirannya kembali melayang ke masa lampau, rasa sakit yang sulit lepas dari memorinya.

Entah sampai kapan dia akan memaafkan dirinya. Rasa sakit yang menyakitkan. Rasa sakit yang sanggup mengacaukan hidupnya. Kekecewaan yang teramat dalam pada dirinya sendiri.

Yefta selalu berpikir kata seandainya. Seandainya dia tidak dilahirkan, mungkin akan jadi lebih baik. Seandainya dia tidak keras kepala, mungkin kondisinya tidak serumit ini. Mungkin dia tidak perlu merasa sakit hati dan kecewa sedalam ini. Yah, semuanya kembali ke kata seandainya.

Mempersiapkan diri untuk masuk ke kampus yang bukan diimpikan adalah another level of pain. Namun, meraung serta meratapi tidak akan merubah keputusan pengumuman ujian masuk PTN. Hanya akan membuang waktu semata. Pertanyaannya kemana akan melangkah?

Berbagai hal ini mengusik pikiran Yefta sedari tadi, ketakutan kembali mengusiknya. Genggaman tangan mamanya menyadarkannya untuk menguatkan diri. Sekali lagi, dia tidak akan tahu hasilnya jika tidak dicoba.

Di sinilah Yefta, berdiri di depan papan pengumuman dan mencari namanya. Dari tengah ke bawah, dia tidak menemukan namanya. Hatinya mencelos, hampa. Matanya mulai berkaca-kaca.

Yefta tersenyum tipis sambil menggeleng pada mamanya. Mereka tersenyum tipis lalu melangkah keluar dari sana. Saat akan mencari taksi, mereka bertemu dengan teman mamanya.

"Hei, selamat ya! Yefta lolos, kan?" ujar wanita itu riang.

Yefta hanya mengerutkan keningnya, tidak memahami perkataan tante itu.

"Lho? Lolos tante?" ulang Yefta lagi.

"Iya, kamu nomor empat. Udah lihat, kan?"

Mata Yefta langsung berbinar, berdiri tegap dan mendekati papan pengumuman sekali lagi. Di sana dia terdiam, namanya benar-benar ada di nomor urut empat. Dia lolos ujian masuk di kampus ini.

Ternyata rasanya aneh, ingin berteriak bahagia. Bagaikan siraman air dingin, karena selama ini dia kepanasan di teriknya mentari dan gelapnya kepahitan.

Sulit dipahami, sulit untuk dilupakan. Namun, hari bahagia ini akhirnya tiba. Gadis itu berlari memeluk erat mamanya.

"Ma, diterima!" pekiknya senang.

"Puji Tuhan! Akhirnya ya, dek," balas mamanya penuh senyuman.

Akhirnya. Akhirnya Yefta bisa memberikan kabar bahagia bagi mamanya. Akhirnya, dia merasa berguna menjadi anak. Beban dan rasa bersalahnya perlahan terkikis. Mungkin, dia memang ditakdirkan untuk berada di jurusan farmasi.

Setiap detik dipenuhi ucapan syukur, menjalani proses selanjutnya dengan bahagia. Hingga mereka kembali ke rumah. Lalu, ada pemikiran untuk mengikuti tes tulis di kampus swasta yang berada di Surabaya.

Kali ini, tidak ada keraguan di dirinya. Dia hanya perlu berusaha dan berdoa, selepas itu sudah diserahkan saja biar tangan Tuhan bekerja. Sekali lagi, hal yang mustahil bagi manusia itu mungkin bagi Tuhan. Jadi, sejatinya khawatir itu tidak perlu dirasakan berlarut-larut.

"Jadi, kamu mau coba daftar di kampus yang ada di Surabaya?" tanya mamanya sekali lagi.

"Iya, Ma. Siapa tahu diterima."

Wanita itu mengusap kepala anak gadisnya pelan. "Rencana Tuhan, kita nggak tahu kemana Tuhan mau menempatkan kamu. Bagus, dek. Dicoba, berusaha dan berserah ya."

Hidup seperti apa yang Tuhan inginkan? Rencana yang tidak terselami oleh pikiran manusia, tetapi selalu baik adanya.

"Iya, ma. Bantu doakan, ya."

"Selalu. Mama dan papa selalu doakan yang terbaik buat Yefta. Jangan putus asa, dek."

Malam berganti ke pagi, hari yang ditunggu pun tiba. Mereka sudah berada di Surabaya. Besok Yefta akan mengerjakan ujian tulis masuk ke kampus tersebut.

Yefta menyukai kota ini, banyak tempat hiburan yang bisa dikunjunginya, menghabiskan waktu yang ada untuk mengembalikan semangat hidupnya. Baginya jalan-jalan adalah cara untuk mengembalikan semangatnya.

Setelah sampai di hotel, mereka segera beristirahat. Besok pagi, mereka akan pergi ke kampus. Hatinya sudah berdegup semakin kencang, rasanya campur aduk bagi Yefta.

"Tenang ya, dek. Kalau kamu gelisah, nanti nggak bisa berpikir jernih. Ada baiknya kamu tenang biar bisa mengerjakan semaksimal mungkin. Oke? " ujar mamanya pelan.

"Yefta usahakan, ma."

Mereka sudah duduk di kursi yang ada di kampus, menanti jam ujian hari ini dilaksanakan. Waktu terus berjalan, waktunya sudah hampir tiba. Yefta segera naik lift menuju ruang ujian. Berjalan perlahan dan menemukan ruang ujian di sudut lorong. Sudah banyak calon mahasiswa di sana. Tujuan mereka satu, yaitu lulus ujian tulis. Semoga saja impian mereka terkabul.

Sekali lagi, soal ujiannya mudah. Namun, jawabannya yang sulit. Kali ini Yefta sudah pasrah, dia tidak mau berharap. Takut harapan akan membawanya pada kekecewaan.

Mereka langsung kembali ke rumah begitu selesai ujian, sebab pengumuman akan dikirimkan melalui email. Badan yang lelah, pikiran yang penat, serta hati yang khawatir. Makan dan minum menjadi tidak nyaman. Hingga masuk notifikasi pengumuman. Yefta tersenyum, dia lolos.

-Bersambung-

1

003 kata

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro