Bab 5: Back to Basic

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kehidupan dalam dunia farmasi tidak semudah yang dibayangkan. Baru selesai OSPEK dan memulai semester satu saja, gadis itu sudah merengek ingin keluar dari sana.

Ternyata memang benar kata orang, cinta pertama sulit dilupakan. Tidak hanya berlaku bagi gebetan saja, melainkan jurusan juga.

"Yefta, kamu ngapain di situ?" tanya Wira dengan volume suara besar.

"Hah? Aku?" Gadis itu masih asik mengarungi lautan memori. Memori yang membawanya pada berbagai rasa perasaan.

Wira mendengkus kesal. Kota ini suhunya sudah panas, menghadapi teman model Yefta membuat emosinya mudah meluap.

"Demi abu dan jelaga, iya kamu nona. Siapa lagi yang aku ajak berbicara saat ini?" tuturnya dengan kesal.

Yefta tertawa kencang, dia suka dengan sikap dan ucapan temannya ini, random.

Gadis itu mengangkat kertas ke arah Wira. "Mau ngasih kertas KRS ke dosen."

"Oh. Hampir aku lupa. Tapi, dosen waliku tanda tangannya secara online, sih. Jadi, tinggal tunggu dikirim balik aja."

"Bagus dong. Terus kamu ngapain ke kampus?"

"Apa ada larangan gadis secantik dan semanis Wira Nathasya untuk tidak datang ke kampus? Aku rasa tidak, benar begitu bukan?"

Sekali lagi, Yefta dibuat tertawa oleh kerandoman temannya ini. "Iya, emang nggak ada larangan. Heran aja, ngapain ke kampus"

"Mau ngelanjutin penelitian. Ngejar biar bisa sidang proposal, gas ke sidang skripsi. Aku nggak boleh menyia-nyiakan waktu."

"Wah, panutan. Oke deh, aku juga harus semangat."

"Jelas, lah. Terus, kamu tadi ngelamunin apa?" Wira masih penasaran apa yang dipikirkan Yefta.

"Farmasi itu berat, ya? Aku inget pas semester satu, aku pergi ke dosen wali dan nangis. Nangis sambil bilang mau mengundurkan diri aja."

Wira tidak mengucapkan sepatah dua kata, dia tahu Yefta hanya ingin didengar.

"Itu bukan sekali dua kali aja, tetapi berkali-kali. Teman-teman kita pasti ada yang mengundurkan diri di setiap semester. Jadi ngerasa kehilangan juga."

Hembusan angin membawa kesejukan, memejamkan mata dan menenangkan hati.

"Nggak terasa, udah mulai semester tujuh aja, nanti masuk semester delapan. Udah hampir empat tahun kita di sini, berjuang setengah mampus."

"Perjuangan yang melelahkan. Habis itu kita masih ada satu tahun untuk program profesi apoteker. Demi gelar di depan nama," ujar Wira pelan.

"Iya, itulah. Sudah sampai di sini, masa nyerah? Sayang aja, sih. Mungkin aku di masa lalu bisa marah-marah kalau dirinya di masa mendatang malah menyerah begitu saja."

Wira memandang ke arah Yefta. "Apa yang buat kamu berbeban berat?"

Gadis itu tersenyum tipis. "Sudah hampir empat tahun, tetapi aku masih belum bisa merelakan mimpiku di jurusan kedokteran. Berandai-andai, bagaimana ya kalau aku masuk ke jurusan itu? Pasti menyenangkan menjalani hidup di jurusan impian."

Mata Yefta berbinar, membayangkan hal itu membuatnya bahagia. Dunia mimpi memang membahagiakan, bukan?

"Iya, berat. Mungkin, memang bukan jalanmu di jurusan kedokteran? Patokan kesuksesan itu bukan di jurusan kedokteran. Semua orang punya kisahnya masing-masing." Ucapan Wira sama dengan pemikirannya.

Akal sehatnya berulang kali mengatakan demikian, tetapi sebagian dari dirinya begitu keras kepala meneriakkan tangisan dan rasa haus akan jurusan impian itu. Jurusan yang tidak akan menjadi nyata.

"Aku tahu. Tapi, berat untuk menerimanya."

"Jangan biarkan kamu bersedih terlampau lama. Kamu berhak bahagia, kamu kuat, keren dan cantik. Kamu berhak kecewa karena impian menjadi dokter tidak menjadi nyata, tapi jangan biarin dirimu hancur. Percayalah, masa depanmu akan jauh lebih indah, " perkataan Wira menenangkan hatinya.

"Aku ingat ketikan Dionisius Dexon di twitter, sekali lagi siapa yang perduli hari ini kamu sudah bertahan sekuat apa, berproses sejauh apa dan berhasil meraih apa? Pada akhirnya, tak perduli harimu serang terang atau gelap, hanya kamu yang paling tahu bagaimana dan kapan kamu harus memberi tepuk tangan pada dirimu sendiri. Hati dan pikiran selalu butuh perayaan dan peluk-pelukan kecil, meski sebentar. "

Menarik. Tutur kata Wira selalu sesuai dengan yang dibutuhkannya. Membawanya pada ketenangan yang menenangkan.

"Tapi, semua terserah padamu. Kamu berhak atas dirimu sendiri. Saranku, jangan biarkan dirimu hancur. Masih ada skripsi yang harus kamu kerjakan. Masih ada program profesi apoteker yang harus kamu tempuh. Masih ada ujian kompetensi apoteker yang harus kamu lalui. Jalanmu masih panjang, kuatkan dirimu sendiri. Aku tidak tahu perasaanmu, selelah apa dan semuak apa kamu sama hidupmu. Tapi, kamu masih bernafas, artinya masih ada tujuan yang Tuhan inginkan melalui hidupmu. Jangan kasih titik, kalau Tuhan ngasih koma. Paham ya?"

"Aku paham. Makasih, Wira. Coba aja kamu cowok, aku pengen dinikahin aja."

"Hush, jangan macem-macem. Emang udah siap jadi ibu rumah tangga? Siap ngurusin suami dan diri sendiri?" tanya balik Wira.

"Yah, kalau nggak dicoba, kan, nggak akan tahu."

"Dasar keras kepala. Menikah itu sekali seumur hidup, jangan main-main. Pernikahan itu suci dan sakral. Paham?"

Mereka saling berbagi cerita, sudah lama tidak membahas berbagai topik karena kesibukan dan berbeda peminatan. Wira mengambil peminatan Farmasi Komunitas, sementara Yefta memilih peminatan Farmasi Industri. Satu jurusan, tapi sulit untuk bertemu jika tidak satu kelas.

"Kalau kamu segitunya mau nikah, aku ada rekomendasi, sih. Sepupu sekaligus teman baikku. Mungkin cocok."

"Wah! Boleh, tuh. Dia seumuran sama kita?"

Wira tertawa puas, benar dugaannya. "Kamu kenal, kok. Seumuran, seangkatan juga. Jadi, mau ya?"

"Boleh, lah. Menarik juga."

"Perjodohan macam apa ini? Dasar Yefta," ujarnya heran.

Ada hal yang Wira ketahui, menurut firasatnya dia menebak jika Yefta tidak tahu menahu perihal ini. Orang yang dimaksudnya adalah lawan saingnya Yefta, mereka akrab tapi suka berantem. Lucu.

"Jadi, siapa itu orang? " desak Yefta lagi. Dia sudah penasaran sama sepupu yang dibahas Wira tadi.

Melihat wajah Yefta yang berseri-seri membuat Wira ingin menggoda temannya sekali lagi.

"Emang kamu yakin mau sama dia? Udah siap nikah?"

"Yah, kalo jodohnya udah ada mah langsung sikat aja! Ngapain menunda ibadah. Nikah itu ibadah, kan? Hubungan yang halal dan sah di mata semua orang, hukum dan agama. Indah banget woi!"

"Dasar otak mesum," cibir Wira. Dia sudah mengenal Yefta sejak mereka masuk kuliah. Wira sudah paham apa yang dipikirkan temannya dengan melihat raut wajah Yefta.

"Ih, jangan nuduh gitu, dong. Nggak ada bukti kalo aku mesum. Jangan gitu, aku kan anaknya polos, cantik, baik hati, rajin beribadah, dan lain-lain."

"Nah, loh! Lain-lainnya apa coba?"

Yefta cemberut, dia capek berdebat dengan Wira. Selalu ada aja idenya. Bertepatan dengan itu, terdengar notifikasi dari ponsel Yefta. Pesan dari mamanya yang membuat hatinya berdegup semakin kencang.

-Bersambung-

1012 kata

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro