|Kisah Sang Pengubah Sejarah (Tema: Kemerdekaan)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Dalam hitungan detik, pasukan air ramai-ramai menyerbu atap. Suara berdebumnya menimpa genting, menghasilkan gema syahdu di setiap sudut kamar sempit yang kutempati. Well, tanpa perlu diragukan lagi, gravitasi di atas tempat tidurku meningkat secara drastis. Kutatap atap lamat-lamat, lalu menghela napas berat di tengah kehampaan malam. 155 hari sudah pergi meninggalkanku begitu saja. Sejak hari itu, seluruh tatanan kehidupan seolah diobrak-abrik oleh kawanan makhluk berukuran mikro. Rutinitas seakan dijeda terlebih dahulu. Berbagai sistem terpaksa dirombak sana-sini secara mendadak, untuk menyesuaikan diri dengan label 'new normal' saat ini.

Yeah, dunia sedang tidak baik-baik saja. Oh, tidak. Lebih tepatnya 'masih'.

Aku melayangkan pandangan ke arah jendela yang dihiasi rinai-rinai air hujan. Tampak sesuatu yang berkibar-kibar di sana. Aku memicingkan mata, makhluk halus? Atau pencuri yang mengenakan kostum putih? Hampir saja aku bangkit untuk mencari jawaban, hingga suatu hal menyadarkanku.

Ow, besok hari kemerdekaan. Penampakan sekelebat putih di balik jendela hanyalah kibaran bendera yang dipasang di setiap penjuru kota. Bodohnya aku.

Berusaha mengalihkan berbagai sumpah serapah yang terngiang di otakku, aku kembali melamuni langit-langit kamar. Baiklah. Karantina setengah tahun ini membuat setiap hari terasa sama. Hanya rebahan, scroll sosmed, stalk mantan, atau menonton beberapa episode anime. Tahu-tahu, Indonesia sudah berulang tahun saja. Huft, lagipula hari kemerdekaan kali ini membosankan. Tidak ada lagi perlombaan yang mengharuskan beramai-ramai di sungai dan kolam lumpur. Sial, rasanya aku kalah dengan kerbau yang sering membajak sawah di depan rumahku.

Enam bulan ini aku merasa tidak hidup. Banyak masalah terjadi di penjuru negeri. Mulai dari kemerosotan nilai rupiah, melonjaknya korban jiwa COVID-19, isu politik, pro-kontra program pemerintahan, teori konspirasi, sampai gosipan rusuh tetangga soal bantuan terdampak dari pemerintah, yang sangat menggangguku belakangan ini.

Getaran halus merambat dari balik bantal. Tanpa mengalihkan pandangan dari langit-langit, aku meraih ponsel. Sebuah notifikasi muncul. Dari Google Classroom. Ah ... moodku terasa jauh lebih suram begitu membaca pengumuman tugas yang baru saja diupload Miss Novi, guru sejarahku. Mau tidak mau, aku mengkliknya.

10 MIPA-5
Novi Handayani | Sejarah Indonesia

New Assignment: Detik-Detik Kemerdekaan
01.34 AM
Due tomorrow, 22.00 PM

Pelajari dan deskripsikan detik-detik menuju kemerdekaan Indonesia! Jangan lupa hayati setiap makna agar menumbuhkan rasa nasionalisme untuk negara. Kita adalah satu, Indonesia. Merdeka!

Lagi-lagi tugas. Dan lebih membosankannya lagi, mentang-mentang besok tanggal 17 Agustus, setiap guru selalu saja menyerahkan tugas berbau kemerdekaan. Apa mereka sudah kehabisan ide?

Aku menghempaskan ponsel sembarangan, membiarkan layarnya terus menyala. Detik-detik kemerdekaan. Baiklah. Apa yang para pahlawan lakukan saat itu, ya? Aku pernah mendengar soal perdebatan alot antara Bung Karno dengan para pemuda sebelum proklamasi. Seingatku, kejadiannya larut malam begini juga, 'kan? Rasanya menggelitik saat menyadari bahwa tempat aku bernapas saat ini menjadi saksi atas sebuah pergerakan yang mengubah segalanya.

Kupejamkan mata, melayang di awang-awang pikiran. Kalau ingatanku tidak salah, hari itu masih pukul sepuluh malam. Perdebatan di kediaman Bung Karno ... benakku mencoba memvisualisasikan setiap ilustrasi yang pernah kubaca dari buku Sejarah. Ya, pukul sepuluh malam. Aku merasa awan gelap di balik jendela menelanku bulat-bulat. Kukira, itu hanyalah perasaanku. Namun saat kubuka mata kembali, tetap terlihat pemandangan yang sama. Gelap.

Bergantinya hari, adalah menanam harapan baru.
Kita adalah singa yang tertidur.
Tak kuasa menahan kantuk,
Terbuai impian semu.

Tidak ada suara apapun. Terpaan hujan pun tak lagi terdengar. Namun, mendadak sebait kalimat itu mengalun indah di telinga. Singa yang tertidur?

Belum sempat memikirkannya, aku tersentak kuat. Pandanganku buram, seperti sudah dituangkan titik-titik tinta hitam. Mendadak terdengar sebuah suara. "Sekarang, Bung. Sekarang! Malam ini juga kita kobarkan revolusi! Ribuan pasukan bersenjata sudah siap mengepung kota dengan maksud mengusir tentara Jepang."

Perlahan namun pasti, penglihatanku membaik. Dan pemandangan yang menyambutku di depan sana malah membuatku semakin bingung. Tampak sesosok figur yang baru saja mengeluarkan kalimat mantapnya. Aku merasa pernah melihatnya. Tiba-tiba, aku melihat huruf transparan yang terukir di atas kepalanya. Chaerul Sholeh (1916-1967). Hei, tunggu. Ini persis seperti yang terdapat di buku Sejarah!

"Kami harus segera merebut kekuasaan!" tukas salah satunya. Aku membaca sesuatu di atas kepalanya. Soekarni Kartodiwirjo (1916-1971). "Kami sudah siap mempertaruhkan jiwa kami!"

Yang lain menambahkan, "Jika Bung Karno tidak mengeluarkan pengumuman pada malam ini juga, akan berakibat terjadinya suatu pertumpahan darah dan pembunuhan besar-besaran esok hari."

Akhirnya, sosok yang selama ini terlihat di uang pecahan seratus ribu, Ir. Soekarno, berdiri menuju Wikana, pemuda yang mengemukakan ancaman barusan. Dengan menggebu, presiden pertama Indonesia itu berkata, "Ini batang leherku, seretlah aku ke pojok itu dan potonglah leherku malam ini juga! Kamu tidak usah menunggu esok hari!"

Ujung mataku menangkap percikan aneh. Seperti potongan film dari masa lalu yang tayang di hadapanku. Scene yang berganti-ganti. Sebuah pondok bambu berbentuk panggung di tengah persawahan. Selain siang terik, suasana pun terasa panas.

"Revolusi berada di tangan kami sekarang dan kami memerintahkan Bung, kalau Bung tidak memulai revolusi malam ini, lalu-"

"-lalu apa!"

Teriakan berpilin di telingaku. Mendadak saja, aku terhempas lagi. Fajar yang memancar di ufuk timur menyiram mataku dengan lembut. Embun pagi bergelantungan di tepian daun. Para tokoh berhamburan dari sebuah rumah dengan memasang muka bangga. Naskah proklamasi disebar ke seluruh dunia. Dimensi berbenturan.

Latarnya berganti lagi. Seseorang bernama Mr. Wilopo mempersiapkan mikrofon dan beberapa pengeras suara. Sementara Suhud mempersiapkan sebuah tiang bendera. Rumah yang kuyakini beralamatkan di Jalan Pegangsaan Timur 56 sekaligus rumah Bung Karno itu sudah dipadati sejumlah massa pemuda dan rakyat yang berbaris teratur. Aku bisa merasakan kegelisahan yang terpampang jelas di raut semuanya: pengacauan Jepang yang bisa terjadi kapan saja. Ini seru. Aku sudah tahu kisah akhirnya, tetapi sekujur tubuhku tetap menegang dalam menanti kehadiran Bung Hatta.

Ada secercah kelegaan saat kulihat Bapak Proklamator berkacamata itu muncul dengan setelan putih-putih. Acara berlangsung.

"Di dalam jaman Jepang ini tampaknya saja kita menyandarkan diri kepada mereka. Tetapi pada hakekatnya, tetap kita menyusun tenaga kita sendiri. Tetap kita percaya pada kekuatan sendiri. Sekarang tibalah saatnya kita benar-benar mengambil nasib bangsa dan nasib tanah air kita di dalam tangan kita sendiri. Hanya bangsa yang berani mengambil nasib dalam tangan sendiri, akan dapat berdiri dengan kuatnya."

Kalimat pengubah jalan sejarah bangsa itu terlontar. Di depan mataku, terasa sangat nyata. Senyata Bung Karno yang mendadak saja sudah berada di hadapanku, lalu menggenggam bahuku erat. Beliau berbisik, "Berikutnya adalah giliranmu." Tubuhku menegang.

Gema lonceng kemerdekaan terdengar ke seluruh pelosok Nusantara dan menyebar ke seantero dunia. Terdengarlah suara gesekan biola yang samar, lalu membesar. Aku mengenalinya. Lagu Indonesia Raya. Menurut sejarah, lagu ini pertama kali dikumandangkan ketika Kongres Pemuda II. Yang berarti, sudah puluhan tahun yang lalu sejak hari proklamasi. Kepalaku berdenyut sakit. Setting waktu dan tempat ini kacau, melebur satu sama lain.

Baru seperempat jalan, gesekan biola itu terhenti. Tergantikan gemuruh syair Indonesia Raya yang dinyanyikan bersama di rumah Bung Karno.

Indonesia kebangsaanku,
Bangsa dan tanah airku.

Marilah kita bersatu,
Indonesia-

Lagi, aku terhempas. Begitu membuka mata, yang kulihat hanyalah langit-langit ruangan. Hanya mimpi.

-bersatu.

Jantungku berdetak kencang saat lagu Indonesia Raya masih terngiang di telingaku. Tidak, suara itu bukanlah mimpi. Aku bangkit dari tempat tidur. Ternyata, lagu kebangsaan itu memang sedang digemakan di setiap sudut kotaku.

Hiduplah tanahku, hiduplah negeriku.
Bangsaku, rakyatku, semuanya.

Aku menatap langit cerah yang tergantung di balik jendela. Bendera pusaka itu berkibar di antara bentangan awan bersih. Persis sayap garuda yang siap mengangkasa.

Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya.

Dan ya, ini adalah giliranku. Saatnya bergerak ciptakan perubahan.

Untuk Indonesia raya.

Karena di antara awan yang tergantung itu, aku bisa menemukan ribuan pahlawan yang sedang tersenyum bangga, menyaksikan tanah yang selalu diperjuangkannya kini sudah sebesar ini.

Betul.
Bergantinya hari, adalah menanam harapan baru.
Kita adalah singa yang terbangun,
Dan siap untuk mengaum.

Amanat: Masa depan bangsa ini telah diteruskan para pahlawan ke pundak kita, generasi muda. Bukan saatnya mengeluh soal pandemi, apalagi hanya karena tugas Sejarah. Melainkan mulai bergerak dan berkontribusi untuk negara. Karena di depan sana, ada tugas mulia yang menunggu kita: menentukan arah akan ke mana Indonesia dibawa.

Sumber referensi: https://www.setneg.go.id/baca/index/membuka_catatan_sejarah_detik_detik_proklamasi_17_agustus_1945

Note: Aaah, nulis historical fiction ginituh suka membuatku merasa keren, wkwk. Serius, aku merinding waktu nulis. Semoga feel-nya bisa sampe, ya. Betewe, ini masih waktu kemerdekaan nulisnya. WARNING! Makin bawah, makin bucin, lho. Jangan mual, ya'-'

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro