Ini Bukan Awal?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Ini hidup, bukan FTV, bukan juga novel. Ini hidup antara usaha dan takdir. Bukan antara karangan dan naskah. Kita yang berusaha dan Dia yang menakdirkan."

Ree

Hujan deras mulai mengguyur kota yang sibuk ini. Banyak penduduknya berlarian mencari tempat berteduh. Beberapa nekat menerobos tirai air ditemani dinginnya udara sore.

Raka memandang datar kehidupan di sekitarnya. Lalu ikut serta menikmati tembakan sang langit. Sepertinya ia tak berniat untuk ikut berteduh. Dia bahkan terlampau santai seolah menikmati hal tersebut.

Kedua tangannya membawa masing-masing satu kantung hitam entah apa isinya. Kaki-kaki jenjangnya terus menapaki jalan menuju rumahnya. Membiarkan orang-orang yang tak sengaja menabraknya.

Dyuarrr!

Sesaat dia berjengkit kaget, tapi tak lama kemudian ekspresinya kembali datar. Pemuda ber-hoodie hitam itu tampak misterius di antara orang-orang lainnya.

"Maaf." Seorang gadis dengan jas hujan warna biru tanpa sengaja menjatuhkan kantung hitam dari tangan kiri Raka. Membuat beberapa botol kaca jatuh dari sana, beruntung semua masih utuh.

"Hm."

Mereka berjongkok, memungut botol-botol kosong tersebut. Namun, ketika mendapati kantung itu sudah rusak, Raka berdesis tak suka. Merebut paksa botol-botol tersebut dari tangan si penabrak sebelum dijejalkan pada kantung yang satunya.

Tindakan Raka tersebut tak ayal membuat gadis itu takut. Dia menundukkan kepalanya lalu ikut berdiri di samping Raka. Setetes air mata meluncur bebas dari kelopak matanya. Raka meliriknya sekilas lalu berlalu meninggalkan dia.

|RAKA|

Bunyi lonceng pintu menyambut kedatangan Raka. Seorang pelayan menghampirinya, tapi langsung berhenti sambil tersenyum canggung setelah tahu siapa yang datang. Seperti si pelayan mengira jika yang datang adalah pelanggan.

Raka langsung masuk ke dalam ruang bertuliskan Manager. Tidak lama, karena beberapa saat setelahnya dia berjalan menuju dapur.

Suasana cafe tidak begitu ramai. Hanya beberapa kursi yang terisi. Alunan dari pemutar musik yang dipasang di keempat sudut ruangan mengisi pendengaran tiap orang di sana.

Raka keluar dari dapur dengan salah satu tangannya membawa secangkir kopi dengan asap mengepul. Dia melangkah menuju meja dekat jendela.

Ia meletakkan cangkir tersebut di atas meja bernomor tujuh. Kemudian ia mendudukkan diri di salah satu kursinya.

"Kamu sudah tau kalau akan ada pegawai baru di sini?" Seorang pemuda duduk di seberang Raka. Sepertinya dia sedang bersemangat untuk bercerita tentang hal ini. Ferdiansyah, itulah yang tertulis pada name tag di seragamnya.

Tak ada respon berarti dari Raka. Mungkin bagi mereka yang baru kenal dengannya langsung marah karena tidak ada respon. Tapi tidak dengan Dian. Pemuda itu sepertinya tak begitu membutuhkan respon berarti. Dia langsung saja melanjutkan.

"Karena Dewi memilih resign dari sini maka manager menerima satu-satunya lamaran kerja yang masuk. Dia gadis seusiamu, tapi akan terlihat seperti seorang adik jika kau berdiri di sampingnya."

Tangan Raka terulur mengambil kopinya yang mulai dingin. Menyesapnya seraya melirik lawan bicaranya.

Tak adakah topik lain selain gadis. Itu yang terlintas di benak Raka. Namun, dia tak berniat menyela.

Dian bukanlah tipikal laki-laki tak acuh seperti Raka. Dia bahkan bisa dikatakan lebih cerewet dari ibu kos yang menagih uang kos.

"Dia selalu menundukkan kepalanya ketika wawancara tadi. Mungkin karena masih 16 tahun jadi takut."

"16?"

"Iya, dia daftar buat part time." Dian mengambil permen karet yang memang selalu tersedia di meja-meja cafe ini, membuka lalu memakannya. "Udah ya, gue mau lanjut."

Dian langsung menuju dapur meninggalkan Raka yang kembali menikmati rintikan hujan.

⏩▶◀⏪

Kara, Karala Wijaya. Dia gadis yang tanpa sengaja menabrak Raka hingga menjatuhkan sekantung botol kaca transparan.

Gadis 16 tahun yang terpaksa bekerja untuk biaya hidup. Beberapa bulan lalu, ayah selaku keluarga satu-satunya meninggal dunia karena kecelakaan.

Sekarang dia hanya sendirian. Sedari kecil Kara tidak kenal siapa ibunya. Hanya sang ayah sandaran hidupnya, tapi kini telah tiada.

Rumah yang kini ia tinggali bukanlah rumah mewah. Namun, cukup nyaman dengan kolam ikan, taman kecil serta gazebo mini di samping rumah. Rumah dengan dua kamar tidur, sebuah dapur, sebuah kamar mandi, dan ruang tamu yang merangkap menjadi ruang makan.

Tempat favoritnya adalah gazebo di samping rumahnya. Karena di sana tidak panas, tidak pula terkena air hujan. Dari sana dia biasa menikmati senja ditemani gemericik air kolam.

Seperti sore ini setelah membersihkan tubuh karena kehujanan tadi dia langsung duduk di sana di temani secangkir coklat panas dan kue kering buatan sendiri.

"Aku selalu sabar," ucap Kara menanggapi pertanyaan seorang gadis lain di depannya.

"Tapi rasa kesepian ini masih kurasakan," Kara menggedikkan bahu. Melihat gadis di depannya itu yang menunjuk wajahnya sendiri yang terlihat pucat, dia kembali berucap, "Aku tau ada kamu di sini, tapi kita tidak bisa bebas berbicara seperti ini."

Helaan nafas Kara terdengar. Dia sedang berusaha menjadikan sepi sebagai teman. Meskipun tidak bisa dikatakan benar-benar sepi. Tapi setidaknya itulah kelihatannya.

Matahari benar-benar tidak ingin menampakkan dirinya kembali hari ini. Mega-mega terus saja menutupinya hingga larut.

Dingin sudah mulai merayapi setiap inci kulit Kara. Sesekali dia bergidik karena dingin. Dia masih ingin menikmati kesendiriannya selagi dia mendapat jatah bulanan.

Setelah dirinya puas menikmati senjanya. Gadis mungil itu beranjak meninggalkan tempat itu memasuki rumahnya lalu tidur.

Ree Puspita

Bismillahirrahmanirrahim.

3 November 2017

Semua berjalan dengan baik. Makasih udah membaca cerita absurd ini.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro