Pertemuan itu

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Jangan liat buku hanya dari sampulnya. Namun tetap saja, sampul itu memberikan kita kesan pertama kita untuk membacanya atau mengabaikannya."

—KLK—

"Kar, meja nomer dua." Dian menunjuk meja di samping pintu seraya menyerahkan nampan di tangannya.

"Siap, Kak ...." Kara menerima dengan sedikit ragu. "Meja nomer dua kosong, Kak." Gadis itu memberengut tak suka lalu kembali duduk. Lagi pula nampan tersebut juga kosong.

Ferdiansyah menarik kursi dari balik bar, kemudian duduk di seberang gadis cilik itu. Tak hentinya dia terkekeh. Ekspresi marah yang malah terlihat lucu itu begitu menggemaskan baginya.

"Lagian lo semangat betul kerjanya, ntar aja kalo udah jalan sebulan langsung malas-malasan."

"Yee, namanya juga nyari duit."

Dian kembali terkekeh. Lucu sekali ketika ia melihat Kara memeletkan lidah.

"Iyain biar cepet," Fani menggeleng melihat reaksi Kara yang nyengir mendengar ucapannya, "ini buat meja tujuh."

Dia mengangguk lalu membawa nampan berisi beberapa makanan itu ke pojok ruangan. Tak lupa dia memeletkan kembali lidahnya mengejek Dian yang terkena toyoran Fani.

"Masih baru udah dijailin. Udah sono balik kerja."

"Iye iye, Bu Manager."

"Ini berat loh." Fani mengangkat sebuah gelas berisi jus jeruk. Berbanding terbalik dari nada bicaranya, mata Fani mengerling galak.

"Ampun, Fan!" Dian kabur sebelum Fani benar-benar melemparnya dengan segelas jus.

|Kara|


Meja nomer tujuh berada di pojok kanan cafe, di samping jendela dengan view yang cukup bagus karena langsung berhadapan dengan pertigaan yang lumayan padat. Apa lagi jika dipadu dengan suasana senja, pastinya akan lebih indah karena ada matahari yang bersiap pulang ke peraduannya.

Di sana hanya ada seorang pemuda yang sibuk dengan smartphone di tangannya.

Setelah menempatkan secangkir kopi panas dan dua porsi kentang goreng, Kara menunduk seraya mengucapkan 'selamat menikmati' lalu berdiri kembali.

"Lo pelayan baru?"

Belum sempat Kara melangkah lebih jauh pemuda itu mengajukan pertanyaan yang ia kira untuknya.

"Ya?" tanya Kara untuk sekedar memastikan.

"Bukan apa-apa."

Kara mengernyit lalu menggeleng dan melanjutkan langkahnya yang tertunda.

|KARA|

Ini sudah ketiga kalinya Kara menghela nafas sejak setengah jam lalu masuk dapur. Dia disuruh Fani membantu Chef Lucy di dapur karena seorang chef lain sudah pulang terlebih dahulu. Katanya anak sedang sakit di rumah.

"Nanti kalau gue pulang dari sini!" kata Kara, mungkin kepada dirinya sendiri.

Bunyi wajan bergesekan dengan spatula mengisi keheningan dapur. Kara hanya berdiri kikuk di samping pintu. Tadi ketika dia ingin membantu malah kena tatapan laser chef muda di sana. Akhirnya dia hanya berdiri menunggu instruksi yang bisa kapan saja di berikan.

"Ish bentar." Kara menggedikkan bahu kirinya di ikuti langkahnya bergeser ke kanan. Tanpa sengaja dia menyenggol lemari berisi panci bersih.

Lirikan tajam Lucy membuat gadis itu senantiasa menunduk. Mungkin dia terganggu dengan gadis yang seharusnya membantu dia di sini.

"Saya undur di— astagfirullah!" Kara memekik keras.

Pekikan Kara tersebut membuat Lucy menghentikan gerakannya. Menoleh marah pada Kara. Sedang gadis itu meringis karena ditatap demikian serta sakit di kepalanya karena tertimpa sebuah panci.

Tak ingin terus membuat masalah, dia lalu berniat mengambil panci itu dengan tangan kiri mengelus kepalanya. Tapi sebuah tangan lebih dulu memungutnya.

"Makanya hati-hati." Lucy menghampiri gadis tersebut. Meletakkan benda itu di rak teratas pada lemari yang tepat berada di belakang Kara. Sehingga posisinya sekarang menghimpit Kara.

Kara dapat merasakan hembusan nafas Lucy membuat ia sendiri tanpa sadar malah menahan nafas. "Perlu es batu?"

Bukannya bersuara, dia hanya bisa menggeleng.

"Hei!" Seruan di depannya mengharuskan Kara membuka mata yang entah sejak kapan tertutup.

Chef muda tersebut malah menahan tawa melihat Kara yang kini menarik nafas cepat seakan oksigen di sekitarnya habis. Wajahnya sudah merah padam. Dengan cepat dia berlari menjauhi Lucy. Dia memilih ikut Dian di depan melayani pelanggan.

Chef Lucy tak kuasa menahan tawanya. Dia tertawa terbahak, sebelum kembali melanjutkan pekerjaannya yang tertunda masih dengan tawa tertahan.

|KARA|

"Lo kenapa?" tanya Dian bingung. Dian bingung begitu melihat ada Kara yang terlihat ngos-ngosan. "Lo abis maraton?"

Mendapati gelengan dari Kara, Dian hanya mengangkat bahu acuh. Mungkin dia abis ketemu kecoa, pikirnya.

Setelah bisa menormalkan nafasnya dia langsung bersandar meja bar. Memikirkan kejadian yang membuat jantungnya seperti akan melompat keluar. Hembusan nafas itu masih terasa hingga sekarang, seperti sengatan yang sangat kuat.

Chef yang sebelumnya terlihat dingin, cuek, dan galak? Langsung bertindak di luar ekspektasi. Membantunya kemudian menahan diri untuk tidak menertawakannya.

Namun, ada yang aneh menurutnya. Teman gadisnya langsung menghilangkan sesaat sebelum ia hanya bisa melihat kegelapan karena menutup mata. Seolah chef tersebut mengusir temannya.

"Ah biarkan." Karena merasa dia sudah kembali relaks, dia melanjutkan pekerjaan baru yang dia masuki.

Sepertinya aku kekurangan kata-kata untuk menggambarkan ceritaku. Namun demikian, semuga kalian tetap menikmatinya.

7 November 2017

Ree Puspita

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro