Kesambet?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Absen sebentar dari sebuah pertemuan boleh bukan? Tapi kenapa seolah pertemuan itu tidak boleh ditinggalkan. Dia selalu mengikuti hingga tujuannya selesai.

—KLK—

Kegaduhan kelas langsung dimulai seiring dengan bel tanda berakhirnya pelajaran dibunyikan. Setelah dua jam pelajaran terakhir adalah pelajaran dongeng. Menceritakan masalalu yang harusnya dilupakan bukan kembali diingat-ingat. Kini mereka sibuk membereskan mejanya.

Terkadang kita pasti berfikir, kenapa kita sulit melupakan masalalu. Ya pastinya karena di sekolah kita diajarkan mengingat bukan melupakan.

Kara masih terdiam di dalam kelas. Beberapa temannya sudah menawarkan untuk pulang bersama, namun hanya dibalas senyum tipis serta gelengan kepala.

Hari ini tepat seratus hari ayahnya pergi. Tadi dia sudah mendoakan ayahnya. Tapi belum sempat pergi ke makam beliau. Awalnya dia berencana pergi sekarang namun urung karena panggilan mendadak dari cafe.

"Mau bareng, Kar?" Ini sudah kali kelima, atau mungkin lebih ajakan yang ditawarkan pada Kara. Andra tersenyum melihat Kara yang hanya menggeleng. Dia kemudian membalikkan kursi di depan Kara dan duduk di sana.

Sebelah alis Kara dinaikkan. Seolah bertanya, 'Ngapain?'

"Nemenin lo."

Gadis itu masih menunjukkan wajah bingung.

"Gue tahu lo lagi banyak pikiran," tambah Andra semakin membuat Kara bingung.

Pasalnya dia tau, Andra terkenal cuek dengan lingkungan sekitarnya. Lalu, Andra siapa yang ada di depannya. Atau mungkin Andra tadi salah makan.

Keheningan terjadi di antara mereka. Satu raut bingung dan satunya tersenyum manis.

"Kamu salah makan, ya?"

Andra mengernyit bingung, "Enggak."

"Kenapa aneh?"

"Aneh gimana? Gue biasa saja."

"Biasanya...."

"Gue cuek, tidak peduli lingkungan? Iya?"

Kara mengangguk. Memang benar seperti itu bukan?

"Lo kali yang aneh. Dari pagi melamun. Sampai gue tadi mau pinjem tip-x aja gak jadi."

"Gue enggak ngalamun."

"Yakin?"

"Eh?"

"Kalau ada masalah cerita. Gue gini karena lihat lo yang jadi aneh. Lo biasanya emang diam tapi enggak ngalamun. Lah ini?"

"Bukan apa-apa. Gue duluan. Bye." Kara berlari meninggalkan Andra yang malah terkekeh.

Andra mengikuti Kara keluar kelas. "Segitu cueknya ya lo? Gue gak seperti dia yang bebas ngikutin lo. Ya gak?"

Andra kembali tersenyum manis. Kemudian melangkah mantap untuk pulang.

⏩▶◀⏪

Suasana cafe mulai ramai karena ini sudah masuk waktu makan malam. Ditambah hari ini malam Minggu. Banyak muda mudi yang telah memesan tempat di cafe ini. Sehingga pengurus kafe harus menyediakan tempat di luar untuk menambah kapasitas serta suasana baru.

Peluh sudah beberapa kali ia seka namun tetap saja kembali keluar. Meski sudah ada dua pelayan lain yang memang hanya bekerja di akhir pekan tetap saja dia merasa kewalahan.

"Nomor tiga, Kar."

Setelah mengambil nampan tersebut. Dia membawanya menuju meja nomor tiga.

"Ini pesanannya. Dua kentang goreng, satu jus melon, satu milkshake oreo, bonus akhir pekan dua porsi ketela goreng. Selamat menikmati." Setelah menyebutkan pesanan seraya meletakkan di atas meja dia membungkukkan badan lalu tersenyum dan berlalu.

Malam terus beranjak larut. Meskipun demikian tak membuat mereka mengeluh. Ini pekerjaan, dan inilah tanggung jawabnya.

Para pelayan kafe terus berhilir-mudik membawa nampan. Ada yang mengantarkan dan ada pula yang mengambilnya.

Helaan nafasnya sudah terdengar entah ke berapa. Tisu ketiganya kali ini dia buang di tempat sampah samping meja bar. Tangannya meraih noted untuk pesanan lalu menghampiri meja nomer tujuh yang baru saja memanggilnya.

"Selamat datang. Mau pesan apa?" Kara berdiri di samping meja. Menundukkan kepala dengan bolpoin di tangan kanan. Ia telah siap menuliskan apa saja pesanan yang akan disebutkan orang tersebut.

"Duduk."

"Gimana?" Dia melirik pemuda itu. Dia tidak kenal dan seenaknya nyuruh dia duduk.

"Aku bilang duduk."

Tak ingin memperpanjang masalah. Akhirnya ia memilih mengikuti ucapan pelanggannya. Siapa tau setelah ini dia langsung menyebutkan pesanannya dan menyuruh Kara pergi.

Mereka diam. Raka, pemuda yang tak lain adalah pelanggan yang sedang dilayani Kara. Dia menatap datar gadis yang kebingungan di depannya.

Seperti sudah diatur. Kara bahkan tidak dicari oleh manager maupun seniornya. Ketika seniornya itu lewat di sampingnya, dia hanya mendiamkan, tak ingin mengganggu waktu keduanya.

Pundak kiri gadis tersebut sesekali digedikkan risih. Dia ingin marah sebenarnya, tapi tidak ingin dikatakan gila jadi dia memilih diam.

"Kenapa?"

"Hah?" Kara kembali membeo. Perkataan Raka sepertinya memang dibuat untuk membingungkannya.

"Kenapa gak diam?" Lagi. Bukannya menjawab Kara malah menggaruk pipi kirinya.

Terdengar helaan nafas Raka di meja tersebut. Sepertinya dia harus mengalahkan egonya.

"Lo kenapa gak bisa diam?"

"Hah— oh itu. Em bukan apa-apa."

Jawaban ragu-ragu yang Kara ucapkan membuat Raka menaikkan alisnya. Merasa bingung dengan gadis tersebut.

"Kenapa gugup?"

Dia bertanya, tapi tetap saja nadanya datar.

"Bukan apa-apa."

Bunyi deritan meja kembali membuat Raka bingung. Rahangnya terlihat semakin mengeras. Merasa tak ingin ditinggalkan ketika urusannya belum selesai.

"Maaf, saya harus kembali kerja."

Setelahnya hanya ada Raka. Wajahnya sudah mulai memerah. Bunyi gemelatuk gigi terdengar bersamaan dengan tangan kanan itu mengepal kuat.

"Sial."

Sementara di tempat lain. Kara menghembuskan nafas lega. Seperti terbebas dari hukuman mati.

"Why?"

"Allahu akbar!"

Chef muda itu menahan diri untuk tidak terkekeh. Berusaha memasang raut datar. Tiba-tiba didatangi seorang gadis yang ia fikir telah pulang. Ternyata masih di sini, bahkan terlihat ketakutan.

13 November 2017

Ree Puspita

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro