Terulang Kembali (Kisah yang Berbeda)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Setahun yang lalu, segala tentang hari itu masih teringat jelas.

Setahun yang lalu, kenangan tentang masa itu masih membekas.

Setahun yang lalu, rasa yang terjadi di hari itu masih menyisakan sesak.

Satu tahun yang lalu, usai kisah hari-hariku bersama ibu, hari itu hari terakhirku bersamanya.

Melepasnya, yahh begitulah jangan pernah tanyakan bagaimana rasanya.

Melihat hembus nafas terakhirnya terlepas dari tubuhnya, seakan satu bagian diri ini ikut terlepas.

Dan, itupun yang terjadi

Separuh jiwaku turut terbawa olehnya, oleh wanita terhebatku, oleh malaikatku, Ibu.

Satu tahun dan satu bulan dari yang lalu, kini kembali terulang dengan kisah yang berbeda.

Itu kembali terulah, kali ini usai sudah hari-hariku bersama bapak.

Hari terakhirku bersamanya, Bapak masih memberikan senyum khasnya saat aku pamit untuk bekerja.

Saat pulang pun, masih menyambutnya.

Aku memaksakan terjaga sore itu, namun lelah menyelimuti.

Kakak iparku memanggil dengan sangat keras, membuatku terjaga dengan segera dan beranjak menemui bapak yang beberapa menit lalu masih tersenyum dan memintaku memanggil kakak keduaku untuk menemaninya.

Firasatku buruk, aku tak mampu berkata, air mata ini sudah berurai.

Aku tercekat, melihat bapak tak sadar di atas ranjangnya.

Tak banyak kata dariku, hanya menuntun dan membisikkan Asma Allah serta Syahadat ditelinga beliau.

Sekali lagi, jangan tanya rasanya!

Itu menyesakkan, menyakitkan, menyedihkan, dan semua bercampur menjadi satu.

Hadir dihari dan saat yang sama secara bersamaan.

Semua hadir, semua menemani!

Seorang yang aku tau lelaki terhebatku setelah Bapak berdiri disebelahku, menguatkanku, membelai kepalaku, dan runtuh sudah pertahananku yang aku bangun jauh-jauh hari.

Aku pasrah akan Kuasa Allah, aku pasrah akan takdirnya yang ku percaya segala takdirnya adalah yang terbaik.

Sekali lagi, aku lakukan hal yang sama seperti saat ibu dulu.

Aku duduk disamping Bapak,

menggenggam erat tangan yang selalu menopang saat aku sedih, memeluk disaat aku harus kehilangan ibu, kini tangan itu yang aku genggam erat, aku tak mau dia pergi.

Namun, dengan mantap aku harus mengatakannya, bahwa aku tak memberatkannya untuk pergi jika itu sudah yang terbaik.

Aku hanya meminta satu, jangan pernah menjadikanku alasan untuk bertahan jika memang sudah tak sanggup menanggung sakitnya.

Bukannya aku mengharapnya pergi, hanya saja sakitnya membuatku turut merasa sesak.

Jangan pula takut untuk meninggalkanku, aka nada yang menjagaku.

Semua ku katakan, dan semoga itu meringankanmu, dan satu hembus nafas ringan terasa saat itu,

Bapak ikhlaskan segala tentangku.

Dan, hanya beberapa saat dari kejadian itu, aku dipanggil.

Lagi, aku harus menyaksikan satu tarikan nafas terakhir dari malaikatku, penjagaku, super heroku.

Dia, Bapak, pergi menemui bidadarinya, menemui belahan jiwanya yang sudah lama dia rindukan.

Bapak melepas semuanya, diiringi dengan keluarga di saat terakhirnya.

Aku meluruhkan segala air mataku, aku sendiri, aku tanpa ibu sudah sangat menyesakkan.

Kini, aku tanpa bapak, separuh jiwaku pun turut dia bawa.

Aku, tanpa jiwa dan kosong untuk beberapa saat.

Jangan tanya bagaimana rasanya.

Seperti melayang tanpa arah.

.

.

.

.

.

.

.

Na_NarayaAlina

Januari 2018

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro