10| Terima kasih

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Terima kasih
Untuk apa?

Segala hal manis karenamu
Dan rekahan di pipimu

Terima kasih, ya
Untuk apa lagi?
Menerima saya apa adanya
Serta merta memanusiakan diri saya

Yang selama ini pecundang
Yang selama ini layaknya binatang jalang
Yang setiap hari tahunya hanya mencerca
Teruntuk sukma dan raga yang tak sempurna

🌻🌻 🌻

Suara gemuruh tepuk tangan menyambut saya saat itu. Lion yang semakin heboh dengan sendirinya, Ayu yang menepuk pundak saya dengan bangga, Flow dan Ran yang mengacungkan jempol, Alaska yang suaranya tak mulai menajam, dan Minggu dengan senyum khasnya.

Sore itu habis dengan circle baru saya. Sungguh, sebuah perasaan aneh menggelantung riang dalam sanubari setelah sekian lama mati suri tak berarti-terkubur tapi hidup. Setelahnya, pukul lima kami mengakhiri, dilerai lambaian tangan kami pulang ke rumah masing-masing dengan diselimuti euforia menyenangkan. Seperti saya, yang masih dibungkam rekahan senyum sejak tadi.

Ah, rupa-rupanya ini tak buruk. Mereka baik. Mereka seru. Mereka menerima. Mereka menyenangkan. Apa boleh besok, lusa, tulat, atau tubin saya merasakan kesenangan seperti ini?

Boleh tidak saya egois meminta kepada Tuhan, atau malaikat, perihal saya yang ingin bahagia tanpa perlu bersedih-sedih terlalu lama?

Apa boleh?

"Senin."

Saya tersentak, menoleh ke arah sumber suara. "Ya?"

Ia tersenyum, Minggu, siapa lagi memang. "Akhirnya, kamu tersenyum juga, cantik."

Mendadak pipi saya merona. Dasar, tukang gombal! Bisa-bisanya mengatakan hal seperti itu, untung semua sudah pergi.

"Haha, ya, sudah, mari pulang!"

Saya mengangguk. "Umm, oke. Saya ke halte dulu ya, sampai jumpa!"

Minggu menghentikan saya untuk memutar tubuh. "Kan saya bilang mari pulang, artinya mari pulang dengan saya."

"Eh? Saya bisa naik bus, kok," kata saya.

Minggu menggeleng. "Kamu tunggu sini ya, sebentar."

"Mau ke mana?"

Minggu tak menggubris, lelaki itu menyelonong pergi menyisahkan pundaknya yang terkikis oleh jarak. Saya menggembungkan pipi, tak menahu perihal rencana Minggu. Lelaki itu mau apa? Kenapa saya harus menunggu? Bila hitungan kesepulah tak kunjung datang, saya akan pergi-

Titt ....

Klakson motor dari empunya itu membuat saya berpikir sedetik sebelum menyadari bahwa itu Minggu. Lelaki itu duduk di atas jok motornya, vespa berwarna biru. Ia tersenyum, menyerahkan sebuah helm kepada saya.

"Mari pulang! Saya antar!"

"Bukankah saya bilang, saya bisa pulang naik bus. Kenapa memaksa?"

Minggu mengarahkan pandangannya ke langit, lalu kembali diturunkan. "Kamu lihat, sepertinya hujan akan keluar dari zona nyaman. Maka dari itu, mari saya antar pulang. Kalau naik bus, keburu malam. Kamu mau hujan main sama kamu?"

Saya mendongakkan kepala menatap gumpalan hitam yang menutupi angkasa dan setelahnya refleks menggeleng. Lalu Minggu tersenyum dengan tangannya memasangkan helmnya ke kepala saya.

"Sudah, yuk!"

Dengan perasaan aneh dan helaan napas, saya mulai mendudukan pantat saya di jok motornya. Tak lama, derunya melaju gesit membelah jalanan Ibu Kota yang lambat laun semakin macet saja, penuh kendaraan, banyak polusi, tak sehat untuk tubuh apa lagi jiwa.

Dari balik punggunya, saya beberapa kali memergoki Minggu yang mencuri pandang kepada angkasa yang entah mengapa membuat saya jua mengikutinya. Yah, sepertinya hujan akan segera turun tak lama lagi, sebelum saya sampai ke rumah.

Tik ....

Nah, kan benar, gerimisnya sudah jatuh mengenai tangan saya. Hingga lambat laut tetesan itu semakin deras dan mau tak mau membuat Minggu sedikit ngebut dan mehentikan vespanya di depan sebuah kios yang lumayan sepi.

Kami turun dari motor, bergegas menepikan diri dari air hujan yang semakin deras serta merta membawa temannya-petir-untuk ikut mengambil alih senja hari ini.

"Sepertinya akan lama." Minggu bergumam.

"Sepertinya."

Tak lama, seorang bapak-bapak muncul dari dalam kios. Beberapa helai rambutnya ada yang memutih, dengan kaca mata bertengger di hidungnya. Ia tersenyum ramah ke arah kami.

"Nak, Bapak lihat dari dalam kalian kehujanan. Jika berkenan, mari masuk ke kios Bapak dulu, ada kopi serta teh hangat," tawarnya.

Saya diam sejenak, mengamati kios di belakang saya yang teramat sepi. Di atas pintunya terdapat papan kayu dengan tulisan toko buku.

Minggu mengiyakan ajakan Bapak tersebut, saya pun mengekorinya dari belakang. Sewaktu pintu berdenyit, saya disambut semerbak aroma buku-buku yang di dalam otak saya langsung terlintas kertasnya yang berwana kuning.

Mata saya tak luput untuk mengedar ke sekeliling. Sepi, tak ada manusia selain kami. Di beberapa bagian tertata rak-rak buku dari kayu dengan buku-bukunya tertata rapi, tapi tak sekali pun saya temui debu. Di beberapa bagian lain, ada juga kursi-kuris dan meja dari kayu, ada yang menghadap ke luar jendela, atau di sudut-susut ruangan. Di langit-langut ruangan terdapat beberapa kipas angin yang mati, ada pula lampu-lampu yang ditempel menyinari ruangan-beberapa cahanya mulai redup.

Bapak tadi mempersilahkan kami duduk, menawarkan sebuah minuman untuk menghangatkan badan. Minggu, seperti lelaki pada umumnya, mengajukan sebuah kopi hitam dan saya sebuah teh tawar sebab saya tak terlalu suka kopi, cukup pait kecuali bila terpaksa seperti mengerjakan tugas fisika kemarin. Itu saja masih utuh hingga pagi, tak terseduh.

Kami masih diam dalam keheningan, hingga Bapak tadi kembali datang dengan nampan berisi kopi. Beliau mendaratkan pantatnya, mengulas senyum kepada kami.

"Ini, minumannya anak muda," katanya ramah.

"Haha, terima kasih Paķ-"

"Pak Tatok, nama saya."

Minggu mengangguk antusias, mulutnya menyeduh kopi padahal baru saja masak. Entah seberapa panasnya itu di dalam mulut.

"Wah, enak sekali kopi buatan, Bapak," ia menjeda, "Rasanya seperti di kafe."

Pak Tatok hanya terkekeh, menyeduh minumannya yang serupa dengan Minggu. "Haha, kau ini anak muda! Tak mungkin rasa kopi bapak seperti di kafe yang sekarang banyak digandrungi anak muda." Pak Tatok menggeleng geli.

Minggu nampaknya benar-benar menyukai kopi buatan Pak Tatok sampai ia antusias meyakinkannya bahwa kopi di genggamannya benar-benar enak. "Tapi beneran enak lho, Pak. Atau Bapak dulu pernah jadi barista?"

"Bukan barista, tapi kerja warkop, haha."

Mereka berdua sibuk bercerita, berkenalan atau sekadar obrolan basa-basi lainnya, saya sekadar mengamati mereka dengan diam. Sosok Minggu di samping saya memang menyenangkan bisa membuat obrolan terasa seru dan menyambung, berbeda dengan saya yang langsung diserbu kikuk dan kata-kata alien yang keluar mendadak. Saya melanjutkan menyeruput teh dalam gelas berwarna putih, hingga Pak Tato mulai bercerita kembali mengenai kios ini akibat pertanyaan Minggu.

"Kios ini memang selalu sepi sejak dulu, Nak Minggu. Dulu Bapak hanya pegawai warkop ikut dengan teman Bapak, tak lama bekerja Bapak menikah, jatuh cinta pada wanita sederhana penjual roti. Setelah lama menanti akhirnya Bapak dikaruniai seorang putra, tapi istri Bapak meninggal saat melahirkan." Pak Tatok mengambil jeda, ia mengusap sudut matanya dari balik lensa kacamata.

"Sejak saat itu Bapak mengundurkan diri, bekerja serabutan di rumah sambil merawat anak Bapak, tapi untuk kesekian kali Tuhan lebih sayang apa yang Bapak punya. Dua ribu delapan, tepat diusia delapan tahun putra Bapak meninggal, kesukaannya pada buku membuat Bapak membuka kios ini. Walaupun sederhana, sepi, Bapak tak menyesal dengan pilihan Bapak. Setidaknya, dengan ini Bapak seperti kembali dipeluk masa-masa lalu yang menyenangkan."

Pak Tatok menyudahi, rautnya sedu tapi juga tenang. Setelah sekian lama-mungkin-memendam semuanya sendiri dan baru berhasil dikeluarkan sekarang. Dengan sosok asing ia menceritakan, pada Minggu lebih tepatnya. Ah, untuk kesekian kali Minggu memang tempat nyaman dan hangat. Merengkuh yang gelap lagi dingin. Menghidupkan yang layu kembali mekar merekah rupawan.

"Saya turut berduka atas kepergian istri dan putra, Bapak," timpalnya.

Saya berdehem kecil. "Umm, kalau tak keberatan juga, saya akan sering ke sini. Sudah lama pula saya tak membaca buku selain pelajaran, hehe."

"Iya, Pak. Nanti Minggu juga akan datang lagi dengan Senin."

Pak Tatok tersenyum sumringah, tak ada raut sedih lagi dalam wajahnya. "Haha, silahkan, Nak. Sering-sering saja kemari, nanti Bapak buatkan kopi lagi, haha."

Kami menyudahi obrolan tersebut tak lama kemudian, toh hujan juga sudah reda dan hari semakin gelap tanpa bintang. Kami bergegas pamit pulang pada pemilik kios yang merekahkan senyum rupawan di pipinya.

Minggu menyerahkan sebuah helm hitam tadi kepada saya. Jari-jarinta sesegera mungkin menghapus sisa-sisa hujan di jok motor, berkata maaf karena masih basah. Tak apa, lagi pula besok roknya sudah berganti. Di balik punggungnya, pertanyaan maupun pernyataan menghampiri. Sekiranya perlu secepat mungkin saya berkata terima kasih dengan tulus ditambah senyuman untuknya.

Karena?

Entah, tak tahu.

Hanya ingin, kepikirian saja. Atau karena kebaikannya selama ini.

"Minggu, terima kasih."

Lirih diterpa angin, entah ia tahu atau tidak. Namun, pipi saya benar-benar merah, disohor lampu kuning dari tiang-tiang jalan yang berjejer.

🌻🌻🌻

Eaaa :v

Maaf kan daku teman-teman, baru jam segini up :v Tadi pagi bangun-bangun ada kelas online, terus bikin roti sampai siang, eh habis itu malah keblabasan ngegame sampai hampir isya :v

Terus aku ngerjain tugas fisika, eh malah ketagihan nerusin :v (cari google lah, aku kan enggak pinter ipa tapi masuk kelas IPA :c)

Akhirnya aku rehat, terus lanjut nulis ini (kurang sedikit). Dan tada, akhirnya rampung :v

Dah lah, malah cerita :0

Sampai jumpa di chapter berikutnya~😄~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro