11| Belum sepenuhnya berubah

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kita saling diam
Dibungkam pikiran masing-masing
Bingung perihal 'bagaimana'
Hingga membisu ujungnya
Ah, angin saja tak tahu
Bagaimana kamu atau saya tahu?
Bila kita tak saling berucap
Satu dengan yang satu
Secara leluasa, tanpa ragu

🌻🌻🌻

Minggu tak mampir, ia bergegas pergi dengan senyum lebih aneh yang merekah di pipinya. Ia hilang, diikuti deru motor yang menyublim ke udara.

Aneh, haha. Jantung saya saja berdebar-debar sewaktu turun dari motornya-tadi, rasanya seakan mengungkapkan pernyataan cinta padahal sekonyong-konyongnya hanya ucapan terima kasih. Belum lagi senyumannya itu, aish sudahlah, ia memang hobi senyum bukan? Untuk apa peduli.

Ah, lupakan Minggu. Pikiran saya malah tersita oleh sepasang cicak di langit-langit rumah, menjijikan, bergerumul berdua seakan saya tak ada. Dasar binatang jalang, padahal memang benar.

Saya menghela napas panjang, tatapan saya terjatuh pada pintu yang terbuka lebar. Anginnya silir, tapi Ibuk belum saja pulang ke rumah, padahal sudah setengah delapan yang artinya sudah sejam saya menuggu di ruang tamu.

Huh ...

Malam-malam tetap saja monoton-membosankan, tapi tidak diperbolehkan dieluh-eluh kan. Sudah jatahnya memang begini. Menunggu Ibuk pulang, sambil terbengong-bengong perut keroncongan, ditambah lagi ditertawakan nyamuk-nyamuk yang lewat seakan mengejek mereka bisa makan sepuasnya tanpa memusingkan pundi-pundi rupiah-yah, walau setelahnya mati ditapok tangan manusia.

Mereka di luaran sana bagaimana, ya, malamnya? Apa membosankan? Atau menyenangkan? Duduk termangu di meja belajar, bermain ponsel sekadar chatting-an dengan teman bahkan gebetan, atau tengah menyantap makan malam hangat dengan keluarga di meja makan yang selepas itu menceritakan kisah hidupnya masing-masing.

Ah, saya ingin, opsi yang terakhir. Rasanya bagaimana ya, berbincang hangat dengan Ibuk di meja makan walau pun tanpa Ayah? Apa Ibuk selama ini tak apa, apa Ibuk tak perlu tahu saya tak apa? Kadang, saya berharap Ibuk tak usah kerja, di rumah saja, tak perlu kesusu pergi menjadi babu, atau tak usah bergegas cepat-cepat pergi menjual kue. Cukup pelan-pelan saja, sambil bercerita dengan nyaman tanpa ditunda-tunda. Namun, bila begitu bukankah saya terlampau egois, hanya ingin segalanya seperti di balik kepala saya. Rentetan yang sesuai pemikiran, padahal segalanya ada di jemarin Tuhan.

Sialan, mengapa pula ngantuk menerjang tiba-tiba. Gelap. Bisa tidak mimpi saya sebagus harapan saya?

🌻🌻🌻

"Senin, bangun, Senin. Jangan tidur di sini."

Sayup-sayup saya mendengarkan suara lemah lembut itu, perlahan mata saya mengerjab diiringi jiwa saya yang perlahan berkumpul dalam satu raga. Di samping saya ada Ibuk dengan tangannya berada di pundak saya.

"Senin, besok kalu tidur jangan di sofa, tubuhmu bisa sakit. Pindah ke kamar sana, atau mau makan dulu."

Ibuk tersenyum diletakkannya bungkusan makanan di atas meja. Saya menatap heran, belakangan ini Ibuk seringkali membawa pulang makanan dalam jumlah cukup banyak dan beraneka macam. Saya tak pernah bertanya sebab mungkin memang rezeki Ibuk, tapi bila setiap hari belakangan seperti ini rasanya ada yang menjanggal. Apa?

"Buk, kok banyak banget. Ada martabak manis, nasi goreng, kwetiau, dan itu ... apa Buk?" Saya bertanya selepas ekor mata saya menangkap sebuah paper bag berwarna cokelat.

Ibuk tersenyum. "Itu isinya baju, buat kamu. Selama ini baju kamu hanya itu-itu saja, makanya Ibuk belikan yang baru. Lagi pula sepertinya cocok denganmu, anggap saja hadiah dari Ibuk karena selama ini kamu tak pernah meminta sesuatu."

Saya memijat pelipis saya. Ibuk aneh, uang dari mana ia membeli baju seperti ini, yang di mana setelah saya buka masih ada rentetan harga yang nominalnya bisa dikatakan mahal bagi kamu. Tak mungkin 'kan Ibuk mempertaruhkan pundi-pundi uangnya demi baju seperti ini, atau Ibuk memakai uang yang saya masukkan diam-diam di celengannya? Ah, tapi rasanya juga tak mungkin, Ibuk belum sadar akan hal itu, ia tak membahas atau sengaja tak memnahas. Entahlah.

"Ah, ya sudah, Ibuk mau mandi dulu. Kamu makan saja duluan, lalu tidur di dalam." Ibuk yang hendak bangkit mengurungkan niatnya. "Oh, ya, Senin mulai besok jika kamu mau menempati ruangan yang kosong untuk kamarmu, tak apa, bilang saja ke Ibuk. Lalu listrik yang di luar tolong dihidup kan, seterusnya akan bercahaya."

Ibuk melangkah pergi, menyisahkan ribuan tanda tanya yang meminta penjelasan. Ada apa gerangan? Mengapa mendadak menghidupkan cahaya di kegelapan yang sudah lama menemani?

Saya termangu, memikirkan jawaban atas pertanyaan di otak saya. Sekian dari seribu, ada beberapa kemungkinan, salah satu menjadi yang terpastik. Ya, apalagi, tapi, apa benar? Sungguh saya belum siap. Seperti apa nantinya? Apa akan baik? Apa tak baik?

Tak lama Ibuk kembali, pakaiannya suah mengenakan daster kesehariannya. Ia duduk di samping saya, menatap heran akan makanan yang belum saya sentuh.

"Lho, kok enggak kamu makan? Dimakan atuh, perutmu bisa sakit nanti." Ibuk menimpali.

Bukannya menjawab saya malah melontarkan pertanyaan. "Ibuk ... ada apa?"

Beliau terbeku, terdiam sejenak. Lalu mengulas senyum hangat tanpa membalas pertanyaan saya sedikit pun. Tubuhnya yang ringkih tersandar pada sofa, matanya mengamati langit-langit rumah. Di pikirannya tertimbun segala rupa dan rasa yang tak pernah diutaran. Terpendam dengan jiwanya di dalam raga yang menua.

"Haha, ini rezeki kamu Senin dari Tuhan." Ibuk berkata, tapi bukan itu yang saya ingin dengarkan.

"Lewat perantara, siapa?" Saya bertanya.

Ibuk diam tak menggubris, ia membuka bungkus kwetiau dan memberikannya pada saya. "Sudah, Senin makan saja, ya?"

Saya hendak menyela, tapi Ibuk berbicara lagi selepas dirinya seakan baru sadar sesuatu. "Oh, ya, Senin. Ibuk mau tanya, uang Ibuk di celengan mengapa sekarang bertambah banyak, ya? Apa kamu tahu? Atau ...." Ibuk menjeda, memandangi saya dengan sorot mengintimidasi. "Kamu yang memasukannya?"

"Iya," jawab saya singkat.

Ah, mengapa malah Ibuk mengalihkan pembicaraan? Bukankah saya yang bertanya sebelumnya? Sudahlah, hari ini saya agaknya perlu mengaku, walau perasaan hati saya mendadak kacau karena Ibuk tak mau cerita tentang apa yang terjadi. Memang belum waktunya, atau ia yang menganggap saya orang asing? Karena kami yang terlihat dekat, nyatanta tersekat. Ibuk dan saya sama-sama tak pernah terbuka.

"Eh, kamu tidak mencuri kan, Senin? Atau-"

Saya menatap Ibuk. "Bukan, Senin kerja, Buk. Part time di cafe hari Kamis hingga Minggu. Itu gaji pertama Senin, untuk Ibuk, jadi terima saja, ya."

"Jadi, selama ini kamu tidak belajar dengan temanmu? Kenapa tak izin dengan Ibuk? Senin, sudah berapa kali Ibuk bilang, biar Ibuk saja yang bekerja, kamu tak usah. Sekolah saja yang rajin, tak usah pikirkan biaya sepersen pun," timpal Ibuk, suaranya meninggi, tapi tidak dengan matanya yang bekaca-kaca. Seakan akan ini salahnya, padahal bukan. Saya tersenyum, mengelus kedua tangannya.

"Tak apa Ibuk, Senin ikhlas melakukannya." Mulut saya terdiam, mengambil jeda sejenak. Apa sekarang ya waktunya untuk mengungkapkan isi hati saya? Berharap ke depannya lebih terbuka? Tapi bagaimana bila Ibuk tersinggung? Ah, tapi bila dari kami tak ada yang memulai membuka, siapa lagi?

"Buk, lagi pula, bukan rupiah dari Ibuk yang Senin harapkan. Ibuk tahu, Senin cuma ingin Ibuk terbuka untuk Senin begitu pula Senin. Selama ini kita sekadar sibuk dengan sendirinya, tapi semakin tahun berganti Senin semakin sadar perihal kita yang tak pernah dekat. Segalanya terpendam, tak bisa diucapkan." Saya tersenyum, mata saya terasa panas.

"Makanya Senin bingung harus berbicara seperti apa mengenai pilihan Senin. Senin tahu, Ibuk akan menolak mentah-mentah, tapi Senin kekeuh, Senin ingin membantu Ibuk. Meringankan beban Ibuk dan Ibuk tak perlu kesusu dalam segala hal sehingga kita, bisa terbuka tanpa terhalang waktu demi uang."

Suara saya terisak, tak berani mebatap wajah Ibuk. Beliau berkata lirih sambil mendekap saya dalam peluknya yang hangat, yang entah kapan terakhir saya rasakan.

"Maaf, Senin, maaf. Selama ini Ibuk tak pernah terbuka denganmu, tak pernah bertanya bagaimana sekolahmu atau bagaimana kamu hari ini atau kemarin. Maaf, maaf Senin."

Ucapan-ucapan itu bagai lagu paling menyentuh dalam hidup saya. Hingga saya dibuatnya terisak dalam peluknya, rasanya teramat hangat, dinginnya meleleh bersama air mata yang jatuh tak kenal antri.

Hiks.

Tuhan, terima kasih walau belum segalanya berubah.

🌻🌻🌻


Huhu, maaf ya teman-teman. Baru up hari Kamis, ini aja hari terakhir ulangan sejak hari Jumat :v

Gara-gara belum PTS, beginilah akibatnya anak muda~(°>°~)

Mana otak juga ngadat dan malah pengen buat cerita baru :v maaf, bila eposide ini enggak ngena atau aneh \(TvT)/

Ah, tapi, aku akan berusaha menamatkan cerita ini karena ending sudah terpikirkan awokwok~

Ya sudah teman-teman. Semangat ya, walau liburan diperpanjang dan bosennya nambah TT

Bye bye








Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro