22| Jangan diam

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Banyak umpatan 🚫
____________________________________________________

Jangan diam
Jangan membisu
Kamu manusia
Bukan santapan empuk
Untuk dianiyaya
Untuk dibunuh
Mentalnya

🌻🌻🌻

Meningitis

Nama penyakit asing itu terus terngiang di kepala saya. Tubuh saya tak henti-hentinya mondar-mandir sampai Angkasa mungkin jenuh menatapnya. Minggu bodoh! Kenapa ia tak bilang bahwa ia mengidap penyakit itu? Menapa pula saya harus tahu melalui Angkasa? Kenapa tidak dari kamu saja?

Menyebalkan. Saya benci kamu Minggu! Kalau kamu bangun akan saya jejal rumus fisika kesukaanmu itu. Biar kamu tidak bodoh, biar kamu sadar kalau saya itu ada! Bukan malah diam membisu seperti patung!

"Lu bisa berhenti nggak sih, muter-muter aja!"

Saya menatapnya sekilas, tak berniat menurutinya. Saya khawatir, saya takut, di pikiran saya sekarang hanya ada, Minggu. Lelaki itu. Apa di dalam sana ia diobati baik-baik saja? Atau malah dokter di dalam sedang bereksperimen keji?

Minggu cepatlah bangun.

"Gua bilang berhenti, ya berhenti!"

Kedua tangannya memegang pundak saya. Saya diam, menangis lagi. Punggung saya naik turun di hadapan Angkasa. Tumpah ruah tangis saya.

Minggu sakit

Minggu tidak sadar diri

Senyumnya hilang

"Minggu, Kak, Minggu! Dia ... bagaimana? Saya ingin masuk Kak, saya ingin melihat Minggu! Sejak kapan, sejak kapan ia menderitanya?"

Angkasa mengehela napas. Ia menarik tubuh saya untuk duduk di bangku rumah sakit. "Sekitar tiga tahun."

Tiga tahun?

Itu bukan waktu yang sedikit Minggu. Bukan hitungan satu hingga sepuluh atau hingga seribu. Sakit. Kamu bungkam sendiri. Jangan sok tegar, kamu bukan karang yang tak terkikis. Kamu bukan tiang yang bisa berdiri kokoh. Kamu termakan, terkikis hujan. Jadi berhentilah untuk berkata tidak apa!

"Kenapa ia hanya diam? Kenapa ... kenapa ia tidak bercerita dengan saya? Saya dianggap apa, Kak?"

"Dia enggak ingin lu tahu sisi lemahnya. Ia ingin selalu tersenyum di hadapan lu, di hadapan semua orang. Minggu, si syamsu, bukan si kelabu."

Isakan saya semakin deras. Minggu, jadi ini yang disembunyikan syamsu di balik punggungnya? Jadi ini yang kau sembunyikan di balik senyummu? Pertanyaan yang dulu saya pertanyakan akhirnya terbongkar juga, tapi bilamana rasa sakitnya seperti ini lebih baik tak perlu dipertanyakan. Seharusnya saya bungkam, tak menuntut semesta menjawab.

Minggu. Sial, sialan!

Saya benci!

"Saya takut Kak, Minggu baik-baik saja kan? Dia selalu baik-baik saja kan?"

Angkasa tak menjawab dan itu membuat saya kian menangis. Hingga tak lama suara bariton lelaki mengintropeksi kami.

"Angkasa!" 

Di hadapan kami berdiri lelaki yang umurnya kurang dari setengah abad. Napasnya terengah-engah, dahinya dicucuri keringat. Wajahnya serupa dengan Minggu? Ayahnya, kah? Sejujurnya saya belum pernah bertemu dengannya sekali pun, tapi mengapa ia menyebut nama saya setelah itu?

"Kamu Senin?"

Belum sempat dijawab. Seorang dokter ke luar dari ruangan. Rautnya tenang, tapi penuh makna. "Ada yang harus saya bicarakan dengan kamu, Ri."

Lelaki yang dipanggil Ri itu mengangguk. Menoleh kepada kami. Ia mengulas senyum, senyumannya hangat seperti Minggu. "Terima kasih sudah membawa Minggu, termasuk kamu Senin. Sebenarnya ada banyak hal yang ingin Om bicarakan, tapi suatu saat saja. Kalian harus pulang, ini sudah malam."

"Tapi ... Minggu, Minggu bagaimana, Om? Saya enggak mau pulang!" Saya menolak. Saya belum mau pulang kalau lelaki itu belum siuman, tapi dering di ponsel yang saya yakini dari Ibuk terus-terusan datang.

"Minggu tidak akan kenapa-kenapa, Senin. Dia anak yang kuat, nanti saya sampaikan bahwa kamu datang. Ibukmu pasti khawatir, Angkasa tolong antar Senin, ya."

"Benar, apa yang dikatakan Ari. Kalian berdua sebaiknya pulang, besok masih sekolah. Tidur larut malam tidak baik untuk kesehan." Dokter itu menimpali.

Saya menggeleng tegas, kekeuh untuk tetap di sini, tapi Angkasa menyeret saya dengan paksa. Hati saya masih belum rela, tapi saya tak bisa egois juga. Minggu bagaimana? Sudah Kau selamatkan Tuhan? Kembalikan senyumannya, biarkan terus mengembang di kedua sudut bibirnya.

Senyumnya yang sehangat mentari itu jangan Kau ambil, jangan Kau tiadakan. Kembalikan!

Di dalam mobil saya mematung, pandangan saya kosong menatap jalan di luar yang basah, air mata saya sudah terhenti, barangkali habis kekeringan walau tak mungkin. Di sebelah saya Angkasa terus saja berdecak, entah kesal atau bagaimana.

"Sakit, sakit banget. Minggu, saya benci kamu!"

"Elu sih, udah gua bilangin tetap aja ngeyel. Sakit kan?"

"Bacot! Kakak kenapa enggak bilang langsung aja? Lihat, Minggu, dia ...." Saya menghentikan kalimat itu, tak kuasa lagi.

Angkasa menghela napas. "Udah berapa kali gua bilang, dia enggak mau lu tahu lalu mengasihinya. Ia ingin dikenal syamsu, apalagi setelah ada elu ...."

"Kenapa? Kenapa setelah ada saya?"

"Setidaknya ada harapan untuk dia hidup."

Deg.

Saya benci ketika saya menangisimu, Minggu.

🌻🌻🌻

Semalam saya tidak tidur, lagu Matahari Pagi-Banda Neira mengalun di kamar saya. Semalaman saya gunakan untuk menangisi lelaki itu, hati saya tak tenang sama sekali. Sedangkan nalar saya yang paling saya benci. Ia membisikan praduga-praduga menyeramkan, menyerang saya dalam bising ketakutan.

Alhasil pagi-pagi mata saya bengkak dengan lingkaran mata menghitam. Ibuk menatap nanar, ia mengizinkan saya untuk di rumah saja, tapi saya harus berangkat sekolah. Di rumah pikiran saya terus dihantui lelaki itu, saya capek, saya mau ketemu langsung saja dengannya. Sudahkah ia siuman hari ini?

Kaki saya gontai memasuki perkarangan sekolah, tidak seperti biasanya, saya berangkat sedikit siang hari ini. Tudung yang saya kenakan menutupi sebagian muka saya, tapi telinga saya merekam omongan orang-orang yang kian bising.

Ada apa ini?

"Lihat deh, tuh cewek udah masuk."

"Anjir, dia enggak tahu malu? Dasar jalang!"

"Gila sih, alasan nolak kak Erick ternyata udah di*** sama kak Angkasa to."

"Itu kemarin di apotek pasti habis beli testpack ya?"

"Euw, dia cacat juga kan!"

"Matanya aneh."

"Bitch!"

Tunggu apa ini?

Saya mendongakkan kepala, menatap koridor yang ramai, bukan koridor lebih tepatnya di depan mading sekolah. Pandangan mereka tak mengenakkan, sama sekali, menatap saya dengan jijik dan ngeri. Ada apa lagi ini? Apa semesta tak ada henti-hentinya memberi saya kejutkan?

Ponsel saya bergetar terus dalam saku. Saya mengambilnya. Banyak sekali notif yang ada sejak semalam, hingga pesan dari Tari lah yang saya buka.

Senin
Abaikan perkataan mereka
06.34

Aku percaya kamu tidak mungkin
melakukan itu
06.35

Sial, apa maksudnya? Tangan saya mengempal, mengenyahkan pandangan mereka dari netra saya. Kaki saya mendekat ke arah mading-ke tempat kerumunan berada-menggeser mereka supaya minggir.

"Minggir anjing!"

Deg ....

Saya memaku, netra saya membaca tulisan itu.

Senin Ambara Si Jalang Cacat!

So guys, kalian penasaran gak kenapa Senin nolak Erick si most watted sekolah? Enggak, bukan karena dia lesbi, tapi dia udah HS sama Angkasa-euw. Nih buktinya.

Pict
[Mereka di ruangan berduaan]

Pict
[Mereka pergi ke apotek]

Menjijikan!

Mereka pasti ke apotek beli testpack. Euw. Sekolah kita ada jalangnya haha. Untung nih ya, Erick enggak jadian sama dia, kalau iya kan dia udah bekas orang! 

Enggak perawan!

Dan ada satu fakta lagi nih, yang enggak kita ketahui. Mata cewek jalang ini, cacat! So, ini bukan tanpa bukti, tapi teman SMP nya yang bilang.

Pict
[eyes]

Gimana kaget enggak? Haha, jangan ketipu sama wajahnya, dia itu barang rusak! Cacat haha, matanya aneh. Selama ini kita ditipu guys, dia pakai softlens. Haha, dasar, mau gimana pun juga barang cacat ya cacat.

Menjijikan.

Tangan saya mengambil kertas itu. Meremas-remasnya hingga tak terbentuk. Sialan, siapa yang berani menulis ini semua?

Brengsek!

Tiba-tiba rambut saya basah oleh air. Lengket, rasanya lengket sekali. Saya mendongak, mereka ada di hadapan saya dengan tampang polosnya. Sialan, mereka rupanya.

"Ups, enggak sengaja." Gadis paling depan itu terkekeh, mendekat ke arah saya.

Sontak saya menatapnya. Demi Tuhan, sejujurnya saya takut, tapi akal sehat saya sudah hulang. Sudah waktunya saya melepas topeng, sudah muak juga! Biar semuanya tahu sekalian saya seperti apa, biar semuanya tahu sekalian bahwa saya memang cacat.

Apa segini hinanya saya?

"Lu yang nulis ini kan, Njing?" Saya menudingnya. Amarah saya membludak.

Ia geram, mulutnya mencibir. "Hah? Anjing? Elu itu yang anjing, jalang! Lu hamil kan, pantas aja nolak Erick! Euw, masih berani berangkat sekolah juga ya lu."

Sabar Senin, sabar.

"Haha ... lihat deh, dia diem aja. Berarti dia beneran hamil! Najis, muka lu cantik, tapi murahan. Ibuk lu pasti enggak becus didik elu! Cacat!"

PLAK ...

Gadis bersurai panjang itu memegangi pipinya dengan tercengang. Tangan saya berhasil menamparnya. Sialan! Sudah cukup menghina saya, tidak perlu mengucapkan nama Ibuk!

"Anjing, lu. Berani lu nampar gua hah? Lu tahu gua siapa? Anak siapa sih lu? Kere kok belagu!" cercanya naik satu oktaf.

Saya menaikan satu alis. Menatapnya dalam. Hei dia lupa atau dungu? Dua tahun bersama dalam satu circle, membuat saya memgamit rahasia-rahasia keji mereka. Yang tak tersohor mana pun, tapi saya tahu hingga jeru.

"Pftt, haha. Lu pikir, karena lu anak pejabat, gua takut sama elu? Jelas enggak! Bapak lu emang pejabat, tapi nyokap lu? Simpanannya, perusak rumah tangga orang. Pfft, ngotak dong anjing kalau ngomong? Gimana rasanya, hmm?"

Lihat, lihatlah. Ia menegang sekarang, bisik-bisik juga semakin kemcang. Kami jadi sorotan seru bagi mereka yang haus tontonan. Bagaimana rasanya? Bagaimana rasanya ketika semua kalimatmu saya balikan begitu saja? Fakata sudah mencuat di permukaan, sayang. Sudah terlanjur, termakan perangkap sendiri!

"Gimana? Semuanya udah tahu lu siapa, enggak usah banyak bacot! Kalau emang gua cacat kenapa? Masalah bangsat? Sorry kalau di depan kalian gua pakai topeng, sejujurnya gua pun udah muak. Tapi enggak perlu nyebut-nyebut Ibuk gua! Jangan bawa-bawa namanya yang enggak pantas disebut di mulut kotor lu!"

Saya meneriakinya. Napas saya memburu. Sejujurnya saya tak seberani itu, sejujurnya saya takut, tapi saya muak dibully sejak SMP yang membuat saya harus pergi ke psikiater. Setidaknya untuk kali ini saja saya melawan, bukan dijadikan santapan empuk. Para pembully seperti mereka harus diberikan pelajaran, walau dengan cara sama-saya seperti mereka. Tuhan, perihal dosa kita bahas nanti saja.

Tiga gadis itu naik pitam, tak terima. Salah satunya menarik rambut saya, saya memberontak, mencakar, menendang. Kami membabi buta, tapi tiga lawan satu bukanlah hal adil. Tontonan mereka tambah seru, mereka kian menyoraki tanpa berminat melerai. Sebagian asyik merekam dengan kamera ponselnya.

"Anjing lu cacat."

"Mati aja, lu!"

"Bacot! Anak simpanan!"

"Kere, arrgh ...."

Suara mereka semakin ramai, ramai sekali. Penuh sorak, penug tawa. Penghinaan! Hingga suara bariton mengintropeksi kami semua. Pak Yuda, guru BK yang terkenal tegas, menatap kami dengan pandangan yang tak dapat diartikan.

"Kalian semua bubar! Masuk ke kelas masing-masing." Ia menjeda, berdecak. "Kalian bertiga dan kamu Senin, cepat ke ruang BK sekarang!"

Sialan!

Apa lagi ini?

🌻🌻🌻

Gaskeun gelud. Baku hantam :v

Hehe ....

Aku sedih, belakangan mau nulis tapi mood enggak bisa diajak kompromi padahal cuma tinggal benerin 😢 Jadi, maaf ya baru sempat up hari ini 🤗

Doakan saja, semoga semangat untuk melanjutkan cerita ini hingga tamat. Omong-omong pula, Minggu depan aku ada test, jadi tidak yakin bisa up atau tidak.

Tunggu, saja ya! Terima kasih sudah berkenan untuk mampir.

Oh, aku hampir lupa. Selamat Hari Raya Idul Fitri untuk yang merayakan 🤗 Maaf, mengucapkan terlambat.

Selalu, bahagia, ya!

Sampai jumpa.









Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro