23| Pengadilan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kamu terlalu percaya
Bahwasanya akan baik-baik saja
Kamu terlalu percaya
Bahwasanya tak akan mengecewakan

Namun, bagaimana
Bila kepercayaan itu tak terkabulkan
Apa hatimu penuh kekecewaan?
Perihal segalanya tak sama seperti harap

🌻🌻🌻

Udara di ruang konseling terasa panas. Tak ada rasa silir yang menyejukkan. Kami diam di hadapan guru bagai jaksa tersebut. Sejujurnya saya teramat takut, tubuh saya sudah gemetar, tapi saya tahan mati-matian.

"Kalian berempat, apa tidak ada tempat lain untuk bertengkar? Anak muda zaman sekarang, tidak punya etika. Masalah apa lagi ini?"

"Dia menampar pipi saya, Pak." Gadis bersuarai hitam panjang itu menangis, memegang pipinya. Pura-pura manusia yang paling tersakiti. Mengadu.

Tentu saja saya menyangkal. Bila ia tak berbuag, tak mungkin saya melakukannya. "Maksud lu apa hah? Lu yang nyiram air ke gua duluan, ngefitnah gua!"

"Apa sih, kok lu nyolot. Emang benar gitu kan, elu hamil anak Kak Angkasa!"

Brak ...

Mereka berempat terkejut mendapati saya mendobrak meja. Tangan saya terjulur menudingnya. "Kok lu fitnah sih? Punya bukti apa? Gua sama Kak Angkasa itu enggak ada apa-apa. Kami berdua kemarin beli obat buat Minggu, dia sakit!"

Air mata saya mengalir, mengucapkan nama Minggu dari mulut saya terasa menyakitkan. Pak Yuda memijat pelipisnya, ia menyuruh saya untuk kembali duduk.

"Senin, tolong tenang dulu!" Seorang guru datang membisikkan sesuatu yang membuatnya menghela napas. "Hah ... Angkasa belum pula datang ke sekolah. Kalian berempat ini, pagi-pagi sudah bikin pusing, ck."

Setelahnya, kami diwawancarai. Bagai di ruang sidang, bagai tengah diadili mana pelaku mana korban, tanpa saksi yang menjadi bukti nyata. Nyatanya, walau berulang kali saya jabarkan, walau berulang kali saya tegaskan dengan fakta-fakta. Tetap saja semuanya tak pernah adil. Pak Yuda guru tegas, sedikit killer, tapi terlalu tunduk pada kekuasaan.

Ya, ya, semuanya percuma. Beralasan tak ada bukti atau saksi yang pasti, guru konseling itu memutuskan tidak menghukum ketiga gadis itu yang tersenyum merendahkan. Sedangkan saya? Disuruh memanggil Ibuk, belum lagi malah dikaitkat-kaitan diri saya yang lalu-lalu padahal saya sudah tak pernah membolos sejak mengenal Minggu.

Lucu, sungguh. Tak perlu kalian cari susah-susah alasannya. Sudah ada di depan mata. Anak orang kaya. Donasi. Sekolah bungkam. Malas berurusan.

Sialan memang!

Apa dengan uang mereka bungkam? Apa mereka itu tak punya jiwa keadilan? Menyedihkan. Negara ini terlalu keji. Manusia tak punya hati. Pendidikan yang membedakan, yang kaya disayang, yang kere dibuang. Mata ditutup uang. Apa keadilan serendah itu untuk dibeli dengan pundi-pundi haram?

Saya tersenyum miring. Bangkit dari kursi. Sudah muak berada di antara manusia-manusia gila.

"Hah ... sudah kan, Pak? Keputusannya tidak jauh dari perkiraan saya." Saya tertawa hambar, menatap ketiga gadis di samping saya. Lalu melempar pandang ke arah Pak Yudi. "Selamat menikmati uang dari mereka. Selamat menjadikan pendidikan di negara ini tidak berlaku seadil-adilnya. Saya pamit, semoga hari Bapak menyenangkan."

Ya, kaki saya melaju pergi. Suara Pak Yuda dari dalam bersorak-sorak, mencerca omongan saya barangkali. Napas saya tak beraturan, terhenti di tempat biasanya saya berada. Jantung saya memburu, terasa sesak.

Pemikiran bagaimana setelah ini menyelimuti otak saya. Tak kuasa bagaimana esok saya akan menghadapi hari? Apa akan sepekat langit di atas sana seperti saat ini, mendung, tanpa cahaya.

Tubuh saya roboh, kaki saya tak kuat menyangga. Terjatuh bersamaan hujan turun. Kucing-kucing itu mendekati saya, menggesekkan tubuhnya sekali mengeong, mungkin bertanya 'ada apa dengan saya?'

Tangis saya malah pecah. Saya terlalu lemah, tidak seperti Minggu yang entah bagaimana keadaannya saat ini. Minggu, Minggu, bisa-bisanya kamu terbujur di sana, saya merindukanmu, merindukan ucapan-ucapanmu.

Bodoh!

Saat ini bisa-bisanya saya menginginkanmu di sebelah saya. Menenangkan diri saya, atau kau biarkan saya menangis di pelukanmu. Bagaimana? Apa bila kau di sini, akankah raga saya terobati?

Maaf, saya egois. Menuntut lebih.

Mengapa pula sekelebat bayanganmu melintas di hadapan saya, Minggu, memori pertama kali bertemu. Dalam waktu singkat kau buat saya kecanduan untuk memintamu di samping saya. Dalam waktu singkat, melalui senyum manis dan gombalan kardus saya jatuh pada sosokmu. Dalam waktu singkat hati saya menemukan tempat pendaratan, walau tak diperizinkan singgah lebih lama.

Bodoh!

Omonganmu terlintas di benak saya untuk selalu tetap tersenyum, untuk tetap percaya segala akan baik-baik saja seperti rencana Tuhan yang ada di balik punggung manusia.

Apa benar Minggu, segalanya akan baik-baik saja?

Apa benar begitu?

Mengapa sekarang Tuhan tengah mempermainkan saya untuk sekian kali? Mengapa semesta dan ajudan Tuhan semangat sekali mendukung saya untuk terpuruk berulang kali?

Ah, ya, ya, di otak saya sudah terlintas omonganmu bila kamu di sini. Pasti kamu akan bilang, bahwasannya keterpurukan adalah upaya mendewasakan diri sendiri. Untuk lebih berani, untuk lebih dewasa, untuk suatu saat ini senantiasa kuat karena bertubi-tubi sudah merasakan kesakitan.

Begitu kan?

Manusia paling lugu perihal rencana konyol semesta, tapi mempercayainya. Minggu.

🌻🌻🌻

Ibuk menatap saya resah. Seharian saya tak masuk kelas, pulang-pulang tampak lusuh acak-acakan. Beliau memberikah teh hangat kepada saya, mengusap rambut saya dengan jeamari-jemarinya.

"Kamu kenapa Senin? Apa yang terjadi di sekolah? Ada apa?"

Saya mendongak. Menatap wajah Ibuk yang khawatir. Lalu saya terjatuh dalam pelukannya. Menangis di pundak Ibuk sejadi-jadinya. Saya tak kuat, saya takut.

"Buk, apa Senin tidak bisa bahagia? Apa karena Senin anak haram jadi Tuhan tidak sayang? Tapi Buk, Minggu bilang Tuhan sayang Senin, tapi kenapa selama ini Tuhan hanya diam. Saat Senin bahagia Ia menarik lagi kebahaagian Senin. Seharusnya Senin mati saja Buk! Seharusnya Ibuk tak usah melahirkan Senin! Senin itu pembawa sial! Senin capek Buk, Senin capek."

Hiks ....

Ibuk mengusap punggung saya, menenangkan jiwa saya yang belakangan ditikam kelam. Pundak saya terasa basah, Ibuk menangis. Jangan menangis, Buk, jangan. Cukup Senin saja.

"Senin, kamu bukan anak haram. Bukan, sama sekali bukan. Kamu bidadari Ibuk, malaikat Ibuk, anak kesayangan Ibuk, alasan sampai saat ini Ibuk bertahan hidup dan mungkin alasan untuk orang lain juga. Berhentilah Nak, berhentilah untuk mengatakan kamu tidak bisa bahagia. Seperti kata Minggu, Tuhan menyayangimu, semuanya menyayangimu. Senin, pembawa keberkahan, bukan kesialan."

"Buk ... apa benar seperti itu? Nyatanya semuanya membenci Senin, Senin cacat, mata Senin berbeda. Semuanya jijik dengan Senin, tak ada yang mau dengan barang cacat, barang haram."

"Cukup, Senin. Cukup. Berhentilah menyalahkan diri sendiri, ini semua bukan salahmu."

Ibuk mempererat dekapan itu. Kami berdua sama-sama menangis. Hati saya kian hancur, melebur. Dari sekian banyak hal saya paling tak suka melihat Ibuk menangis, apalagi karena saya. Berhentilah Buk, berhentilah menangisi anak seperti saya.

🌻🌻🌻

Ini sudah pukul delapan malam, saya masih senantiasa mematung di kamar sejak tadi tanpa bergeming. Pandangan saya kosong. Ruangan ini terasa mati, tak ada kehidupan. Bunga matahari dari Minggu melayu, tak lagi mekar merekah.

Pintu kamar saya terketuk, Ibuk masuk. Ia duduk di ranjang saya setelah menyalakan saklar lampu yang sejak tadi saya matikan.

"Senin, makan dulu, ya. Perutmu diisi nanti sakit. Minggu pasti tak suka melihatmu seperti ini."

"Senin tidak lapar, Buk. Senin kenyang."

"Kamu belum makan sejak pulang sekolag, setidaknya sesuap saja." Ibuk mengusap pipi saya, tersenyum hangat.

Saya mengela napas, mencoba tersenyum di hadapan Ibuk. "Nanti kalau Senin lapar, Senin akan makan sendiri Buk. Omong-omong hari ini Ibuk bukankah mau bertemu dengan seseorang? Pergilah Buk, maaf Senin tidak bisa ikut dulu."

Ibuk menggeleng. "Tidak Senin, tidak mungkin Ibuk meninggalkan Senin dalam kondisi seperti ini. Rencana dengan orang itu bisa Ibuk batalkan-"

Saya menggeleng. "Tidak Buk, pergilah. Ibuk sudah berjanji dengannya, jangan dikecewakan."

"Tapi Senin ...."

"Buk ...." Saya menjeda. "Pergilah, tolong. Untuk kali ini saja turuti permintaan Senin. Senin tidak mau menjadi penghambat untuk Ibuk. Senin mau Ibuk bahagia. Senin janji akan makan."

Ibuk memeluk saya. Mengusap kepala saya. Pelukan merupakan obat penenang, paling nyaman. Saya teringat lelaki itu, Minggu. Rumahnya sepi, tak ada manusia hidup selainnya. Apa kabarnya ketika ia sedang bersedih? Apa kabarnya ketika ia sedang terjatuh? Apa ada yang memelukmu Minggu? Apa ada yang mendengar ceritamu?

Berhentilah bersikap tak ada apa-apa mulai sekarang.

Sekali lagi saya meruntuki diri sendiri, seharusnya saya lebih peka denganmu Minggu. Seharusnya saya yang menyemangatimu. Seharusnya, sejak dulu.

Ibuk akhirnya menuruti perintah saya selepas saya makan di hadapannya. Saya ingin hari cepat esok, saya ingin hari cepat berganti. Secepatnya, saya ingin segera bertemu dengan Minggu. Menanyai kabar lelaki itu.

Dan mendekapnya. Menularkan kehangatan, karena ia tak harus yang bersikap hangat.

🌻🌻🌻


Untung saja hari Senin ini libur, jadi aku bisa up cerita huhu :")

Mood belakangan lagi enggak bisa diajak kompromi, mana besok Ujian lagi -_-

Semoga saja cerita ini bisa aku rampungkan. Terima kasih sudah membaca hingga chapter ini, maaf belakang sedu. Semoga selalu bahagia, ya :D

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro