Bab 2

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

[Hidup bukanlah simulasi, maka dari itu aku harus berjuang.]

###

“Pagi-selamat! Ya-hari-cerah-ini, aktivitas-memulai-saatnya—”

Hal pertama yang kutemui setelah mencelikkan mata adalah kepungan dinding-dinding beton kelam.

Perlahan lengan kanan kuangkat sampai tapak tangan di depan muka. Kuperiksa raut permukaan telapak. Bersih, pucat, bergaris tiga. Berikutnya, aku mengecek keadaan mercu kepala. Rambut pendek yang lurus. Kemudian turun sampai wajah. Sepasang mata, satu hidung, bibir, pipi, kening, dagu, dua telinga.

Puas mempelajari bagian atas tubuh, aku beralih meraba anggota bawah. kaus min lengan panjang menyelubungi badan, celana senada membungkus tungkai. Lambat laun, posisi kualihkan ke selonjoran, terdengar bunyi sendi bergemeletuk seakan-akan hampir patah.

Aku memperhatikan sekeliling. Tembok beton kelabu yang tak kuketahui alasannya dibuat rendah. Dasar semen yang rata dengan bercak di sana-sini—ah, aku menemukan di tengah ada lubang berkatup. Juga langit-langit putih yang diterap semacam lampu panjang sepanjang garis segi empat.

Menyadari segala informasi asing yang baru saja diterima otakku, terbitlah sebuah pertanyaan:

“Apa yang harus kulakukan?”

Masa itulah laksana muncul bala bantuan, suara dari pojok plafon tiba. Rupanya itu berasal dari sejenis benda mungil yang terpasang di sana. Beberapa detik berlalu, tercipta semacam pendar putih yang memenuhi salah satu dinding, kemudian tampil beberapa baris kalimat yang anehnya bisa kubaca jelas.

“Perintah nomor 4325. Berjalan menyisir keempat sisi tembok selama 5 putaran penuh, dimulai dari sisi kanan ke sisi kiri.”

Seusai menerima suruh, aku pun menjalankan sesuai petunjuk pelaksanaan. Entah apa tujuannya, barangkali membuat tubuhku yang habis bangun ini supaya kembali bugar. Aku menurut dinding sisi awal, memutari bilik kecil dengan langkah santai dari kanan ke kiri, sampai sisi kedua, ketiga, dan keempat—hampir menabrak meja tinggi yang menempel. Begitu seterusnya sampai agak pusing dan sedikit penat berkeliling sebanyak lima kali.

“Tiwul meses.”

Suara itu tertangkap lagi. Dari langit-langit, jatuh sepotong kue bulat kecil dengan taburan warna putih di atasnya. Merasa lapar, aku lantas memungut makanan tersebut dan langsung melumat habis.

Tampaknya tubuhku telah menemui lejar. Sekujur otot pula sendi terasa capai sekali. Ingin segera berbaring di atas meja tinggi—baru sadar tadi aku tidur di situ—guna melepas segala penat sehabis beraktivitas ringan.

“Waktu tidur.”

Namun, bohong.

Aku langsung menuju tempat beristirahat, meletakkan badan dengan punggung di sebelah bawah. Berikutnya, kuubah posisi menghadap tembok, lantas kupejamkan mata. Terdengar bunyi mekanik dari sudut langit-langit. Aku mengintip, dinding dengan pendar putih besar kini hanya berupa dinding kelam biasa.

“Ya, ini saatnya ... !” seruku, dibuat pelan supaya tidak ketahuan. 

Kudekatkan kepala ke tembok, pada bagian yang ditemukan lubang kecil. Samar-samar, dapat kutangkap suara seorang wanita yang barangkali tengah menggumam. Aku pun berbisik. 

“Hei?”

Wanita itu terdengar kaget. Lantas, suaranya tenang. “Kau sudah selesai?”

“Iya, baru saja wanita sonik telah stop berdendang. Di sana bagaimana?”

“Aku pun sama,” balasnya.

“Benarkah?” Aku menaikkan sebelah alis.

“Tidak, sebenarnya aku masih disuruh latihan membaca huruf asing. Jumpa lagi!”

Wanita ini benar-benar unik. Dia menyempatkan waktu padahal masih di tengah melakukan suruh. Berbeda denganku yang menunggu waktu tidur tiba dahulu baru bisa mengobrol dengannya.

Ah, aku jadi ingat ketika pertama kali bertemu dengannya, via suara. Semua berawal dari lubang kecil ini. Lubang yang menghubungkan aku dan wanita itu.

Mendengar panggilanku, dia amat terkejut, kentara dari nada seruannya. Ketika semuanya telah tenang, ada balasan, "Hai … ?”

“Wah, tak kusangka ada insan lagi di tempat ini!”

“Ah, gaya bahasamu agak aneh,” balas wanita itu, dengan nada yang kini berganti ceria.

Hening sempat menguasai beberapa saat. Ingin kulayangkan beragam pertanyaan, tetapi di saat yang bersamaan aku bingung harus mulai dari mana. Habis waktu berpikir, lawan bicara pun mencuri start dahulu.

“Perkenalkan. Namaku Ligri. Sepertinya kita bernasib sama di tempat ini.”

Aku terheran dengan pernyataannya. “Bernasib sama? Apa makna di balik ucapanmu itu?”

“Iya, kita sama-sama menjadi subjek tes penelitian dari perusahaan bernama Komodo Corp.”

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro