Bab 3

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

[Aku bisa merasakan tubuhku.]

###

Titik lidah yang terucap dari balik dinding tak ayal membuatku semak hati. Berbagai pertanyaan berputar-putar mengelilingi kepalaku, berbaris untuk dicerna satu per satu oleh pabrik sel-sel otak yang bekerja lamban, bahkan dalam keadaan sadar pun, sampai tuntas semua. Barulah aku mengajukan persoalan.

“Apa maksud ucapanmu dengan ‘menjadi subjek tes penelitian’? Lalu, istilah apa tadi yang kamu sebut … Kodomo?”

Terdengar tawa geli di seberang, sebelum lanjut ke perbincangan. “Bukankah dari awal sudah diberi tahu dari … tadi kau sebut apa? Wanita sonik? Bahwa kita menjadi subjek tes penelitian Komodo Corp., dibawa ke fasilitas ini, dan diminta mematuhi perintah-perintah sederhana yang diberikan.”

Aku melekatkan jari ke dagu, berpikir. “Aku tidak ingat bagian itu. Akan tetapi, jikalau diingat-ingat kembali, memang aku manut saja semua suruh wanita sonik.” Karena imbalannya tiwul meses.

Wanita ceria itu mengeluarkan deham yang panjang, barangkali turut berpikir, lalu memberi kesimpulan. “Mungkin tidak semuanya diberi tahu?”

Aku mengangkat bahu, tak membalas verbal, berharap dia membayangkan respons fisikku barusan. "Memangnya apa sebenarnya tujuan dari Komodo Corp. ini, menetapkan kita sebagai subjek tes penelitian mereka?"

"Aku kurang tau tentang hal itu. Bisa jadi untuk suatu eksperimen rahasia yang menggunakan manusia sebagai subjek penelitian. Bisa saja dengan menyuruh kita melakukan hal yang aneh untuk trial-and-error, atau memberikan makanan mengandung obat-obatan yang memberi efek tertentu."

Bunyi bising sempat terdengar sekilas, membuatku tersentak dari lamunan. Segera kudekatkan telinga ke lubang di tembok, lalu mengharap suara yang dinanti tiba.

“Kamu sudah selesai?” soalku karena tidak tahan menunggui.

Wanita unik itu akhirnya muncul juga, via suara yang agak kelabakan. “OH! Ah, iya. Aku baru saja menyelesaikan latihan baca huruf asingku. Kau mau dengar bagaimana?”

Aku menggeleng. “Lebih baik tidak. Jika nanti aku dapat giliran yang sama, wanita sonik akan curiga karena kefasihanku, Ligri.”

“Oh, hebat! Kau memanggil namaku untuk pertama kali!”

Mendengar demikian, aku baru sadar bahwa selama ini kusebut dia ‘wanita unik itu’ atau ‘wanita ceria itu’, padahal di awal perkenalan sudah jelas namanya Ligri. Tidak sopan. Makin tidak sopan karena aku tak memberi tahu namaku.

“Oke, panggil aku William.”

“Kenapa William?”

“Agar terkesan pangeran. Tahu Pangeran Inggris?”

Dia mengiakan dengan nada ceria.

Tercipta keheningan yang cukup lama, membuat suasana canggung menguasai bilikku, dinding di hadapku, juga biliknya—barangkali. Aku ingin melontarkan sesuatu, tetapi serasa banyak sekat-sekat yang membatasi tenggorokan. Sebelum leherku sukses mengenyahkan daya cekik, wanita ceria itu, maksudnya Ligri, akhirnya menyadari hal yang kusembunyikan.

“Kau amnesia?”

Ketahuan. Aku membenarkan dan mengutarakan bahwa kala perdana kali bangun di tempat ini, tidak ada identitas jelas yang melekat di benakku. Itu termasuk nama, asal, dan keluarga. Terkait umurku, aku bisa perkirakan kurang lebih dua puluh tahun. Mampu kuterawang Ligri anggut kepala di seberang.

Namun demikian, aku masih ingat hobi terbaruku sebelum dibawa ke sini, yaitu suka membuat garis horizontal menggunakan ranting di tepi tumpukan pasir pada halaman toko material, supaya tercipta longsor kecil-kecilan. Atau kebiasaanku yang merontokkan daun-daun majemuk lamtoro sekali gerakan lalu kutaburkan ke udara agar menyerupai confetti di pesta.

Wanita itu terkekeh. Sangat bising. Saking kerasnya sampai aku berdesus, “Hus, hus!”

Seusai gelak berhenti, dia berujar bahwa aku mirip bocah umur lima tahun yang ditinggal ibunya bergosip di tempat arisan. Aku mendengkus. Padahal kupikir hobiku itu keren, jadinya pantas dipamerkan ke Ligri. Dia pun berkakak lagi.   

“Aku jadi ingat ketika diajak ibuku ke Gua Kuyase di ulang tahunku kesembilan belas.”

“Gua Kuyase itu … tempat macam apa?”

“Tidak tahu?” tanyanya, sedikit menggoda.

“Tentu saja tidak. Coba ceritakan, Ligri.”

Ligri tertawa kecil, unik dan ceria. Awalan yang cocok sebelum dia mengisahkan pengalaman silamnya dengan pembawaan khusyuk. “Ini tentang dunia luar. Ingatan yang mungkin berbeda jauh dengan yang kau bayangkan. Pada hari itu, semua orang bersukacita atas perayaan Hari Kelahiran. Aku dan keluargaku, ayah dan ibuku, pergi ke Gua Kuyase untuk bersenang-senang di hari libur. Gua itu adalah gua konservasi alam, banyak bebatuan indah di dalamnya. Namun, ketika aku berkeliling sendirian melihat sungai bawah tanah, aku berpisah dari orang tuaku.”

Terkesan nada sesak sebelum dia melanjutkan.

“Dan itu menjadi ingatan terakhir sebelum aku berada di tempat ini.” 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro