Episode - 24: Dongeng Nenek (bag.1)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Divisi Harda Polrestabes Surabaya, Desember 2021.

Rana berjalan terburu-buru ke ruangannya akibat panggilan Hendra lewat alat komunikasi. Dia dan tim lapangan sudah menemukan sosok dukun susuk yang sering berurusan dengan Badrian untuk dipanggil sebagai saksi. Wanita itu mengatur napasnya ketika tangannya bersandar di dinding pintu ruangan.

"Lebay banget pake acara lari-lari segala," celetuk Hendra. Sedangkan pak dukun yang duduk di hadapannya melempar senyum tipis.

Rana tidak menggubris Hendra dan melanjutkan langkahnya hingga berhasil mendaratkan tubuhnya di mejanya. "Haduh, nikmat banget coy. Berasa di surga." Rana berucap sambil mengipaskan tangannya ke leher.

Hendra menghampiri meja Rana dengan tak sabar, "Heh, buruan Ran. Itu saksi kita sudah nungguin."

Pupus sudah harapan Rana bersantai sejenak, dia melotot pada Hendra. "Iye dah, puas ente?" balas wanita itu sambil mengatupkan bibirnya lebar-lebar.

Rana memulai sesi interogasinya dengan si dukun. Dia memperhatikan dukun itu serinci mungkin sambil melontarkan pertanyaan basa-basi. Penampilan bapak tua di hadapannya ini terlihat seperti ustadz-ustadz yang sering Rana lihat di televisi, sungguh rapi dan wangi. Gerakannya cukup tenang,  tidak terpengaruh oleh aura intimidasi Rana. Dukun itu bernama Karyo, dia termasuk dukun generasi ke tujuh. Pelanggan terbanyak adalah kepala daerah dan artis senior. Rana mencatat dan memperhatikan.

"Apa benar, saudara Karyo sering menerima transfer uang dari Pak Badri?" Rana melontarkan pertanyaan inti.

Pak Karyo tersenyum penuh arti, "Badri itu pelanggan setia dari zaman Mbah saya, Dik. Dia mah dari zaman sekolah sampai waktu masih pegang kendali penuh urusan perusahaannya saya terus yang bantuin dia jadi terlihat memikat dan membuat usahanya makin sukses.  Saya memang sering dapat kiriman uang dari beliau, Dik. Ora tanggung-tanggung, hampir puluhan juta. Tapi, tapi, jujur saya tidak tahu sama sekali soal dari mana pak Badri dapat tuh uang. Orangnya nggak ngomong apa-apa, duitnya dikirim masih pakai wesel pos. Dia paham saya masih belum bikin rekening." Pak Karyo mengakhiri penjelasannya.

Sorot mata yang jujur, dan pandangannya yang tidak melirik kemana-mana dan menunduk, serta posisi tubuh yang rileks dengan kaki yang ditumpuk sedikit ke atas kaki lain. Semua penuturannya benar, nada bicaranya pun tidak ada yang tersendat, sangat lancar malah. Rana membaca sedikit profil pak Karyo yang diprint Hendra dari database kepolisian.

"Ran," sahut Hendra dari  meja kerja Rana (mereka memang bertukar meja kerja). Wanita itu melirik sejenak, tapi tidak menggubris. Rana kembali menatap pak Karyo, "Terima kasih atas keterangan yang saudara sampaikan. Ini sangat membantu kami. Bapak siap ketika suatu saat kami panggil lagi untuk memberi keterangan saksi di Pengadilan?" Rana mengulurkan tangan sebagai salam perpisahan.

Pak Karyo membalas uluran tangannya sembari mengangguk.

Hmm, memang penuh percaya diri sekali si Bapak satu ini, batin Rana.

Sepeninggal pak Karyo, Hendra menghambur ke mejanya. Mereka berdua tukar posisi. Rana duduk di kursi yang tadi didudukin pak Karyo, "Kamu tuh main kode-kodean aja? Kan aku jadi nggak enak sama pak Karyo barusan," ujar Rana setengah sebal.

Hendra menghembuskan napas, "Jaksa tadi telepon, dia bilang kalau sampai lewat deadline kita nggak tulisin tuh barang bukti barang bukti empat batu di berkas perkara, P-21 nggak bakal keluar dan konsekuensinya Badri bisa bebas."

Rana mengepal tangan dan mengerang, "Bener kan apa yang kubilang dari dulu, Hen? Masukin tuh empat batu warna-warni itu di berkas perkara.  Kamu, sih, nggak percaya sama aku. Itu termasuk bagian penting dari kasusnya Badrian. Oh, ya, kamu sudah cek kondisi dia di Menur, kan?"

Hendra mengangguk, "Hasil pemeriksaan memang normal, Badri pura-pura gila. Tapi dia tetap di sana dulu untuk pemeriksaan terakhir. Oh, ya,  softcopy berkas perkara sudah kukirim juga ke e-mailmu, tinggal kamu revisi aja. Plus, kamu harus mencari saksi bernama Lastri yang sering tersangka 305. Itu mungkin bisa menjadi tambahan saksi di pengadilan nanti."

Rana menghembuskan napas lega.

"Tambahan lho, ya, Ran. Cuma tambahan ini, sifatnya nggak tetap. Karena keputusannya tetap di Jaksa," imbuh Hendra. Dia mengambil jaket kulit dan pamit keluar bersama tim lapangan.

Rana kembali ke meja kerjanya, mencetak sisa berkas dan mengarsipkan kembali berkas perkara kasus Badri dan kasus lain yang levelnya ringan hingga selesai jam kerja. Pikiran Rana tertuju pada Lastri, menerka-nerka umurnya jika masih hidup. Rana menyandarkan diri pada sandaran bangku, inginnya kembali memikirkan Lastri tapi malah wajah Obi yang mendadak muncul.

"Semoga kamu baik-baik saja selalu, Kak Bi," gumam wanita itu.

Sebuah panggilan ponsel membuyarkan lamunan Rana. Nisa dan Benny memanggilnya untuk segera pulang karena ada hal penting.

*

Satu jam setengah sebelum ke rumah Rana, pukul 17:00 WIB

Sejak sepakat membantu Rana dalam mengusut kasus Badri di kepolisian yang melibatkan wanita bernama Lastri, hari-hari Nisa makin  padat dari sebelumnya. Setiap hari setelah praktek dia mengunjungi panti asuhan 'ANAK BANGSA' di daerah Surabaya Timur. Nisa menggunakan kemampuan dan pendekatan emosional pada anak-anak yatim piatu serta pengurus panti. Nisa mendapatkan info lokasi Panti Asuhan dari Mama angkat Benny.

Hasilnya adalah Benny memang penghuni panti asuhan ANAK BANGSA selama lima bulan sebeum diadopsi. Salah satu senior pengurus Panti Asuhan mengatakan bahwa Benny ditemukan  di depan pintu pagar panti ketika berusia lima hari. Semua surat-suratnya lengkap, kecuali Akta Kelahiran. Hanya dokumen resmi  dan beberapa catatan mengatakan bahwa nama ibu kandung Benny adalah Hasmi.

"Ibu ... Hasmi?" tanya Nisa bingung. Dia merasa ada yang aneh dari semua penuturannya ibu Panti.

Ibu Panti mengangguk, "Di semua surat-surat resmi dinas sosial, surat pengantar rumah sakit, dan surat pribadi sih bilangnya gitu, Mbak. Kita berusaha mencari kontak Ibu Hasmi kemana-mana, dan tetap tidak ada. Pihak rumah sakit yang kita tanyai juga bungkam. Ini sungguh unik, Mbak, terasa semua sudah dipersiapkan dengan matang tetapi tidak boleh ada yang tahu."

"Ada petunjuk terakhir gitu, Bu?" tanya Nisa.

Petugas senior Panti itu tidak langsung menjawab, kemudian dia teringat, "Oh ada Mbak. Tunggu sebentar." Ia berjalan menuju meja kerja, dan kembali dengan membawa amplop. "Dari dulu saya ingin kasih ini ke orang tua adopsinya pak Benny cuma saya lupa terus."

Nisa menimang-nimang surat itu dan mengulur senyum, "Terima kasih, Bu." Dia berdiri dan menjabat tangan si Ibu untuk berpamitan, "Saya akan menyampaikan ini pada pak Benny."

Setidaknya untuk hari ini satu petunjuk mulai terurai.

Rumah Rana, pukul 18:30 WIB
Rumah Rana memang nyaman sekali, ruang tamu yang termasuk cukup untuk menampung delapan orang tamu. Kursinya terbuat dari kayu jati yang sudah dipelitur sangat halus berwarna coklat tua serta sofa empuk berwarna senada. Meja kopinya juga berbentuk persegi panjang dan terdapat majalah bisnis yang ditaruh di kolong meja.

Agenda hari ini adalah membantu Benny menyusun ilustrasi dongeng Nenek. Lelaki berwajah manis itu datang dengan kertas dan buku sketsa dalam pelukannya lalu menaruhnya di meja kopi. "Ini tumpukan ilustrasi dongeng Nenek hasil karyaku bertahun-tahun."

Nisa mengambil tumpukan tersebut dan melihat isinya satu persatu. Perkembangan gambar Benny sangat bagus. Semua ilustrasi yang digambarnya bisa membuat wanita berambut bob pendek tersebut seakan-akan masuk dalam ceritanya. Benny kemudian sedang membaca sepucuk surat yang diberi Nisa tentang bu Hasmi dengan kening berkerut.

"Gambar-gambar sampeyan bagus, Mas," puji Nisa.

Pujian itu otomatis melebarkan senyum Benny, Ia memindahkan posisi duduknya dari sofa single lalu tepat di samping Nisa. Sesekali dia melirik ke Nisa yang asik mengagumi gambarnya dalam diam. Mereka tiba-tiba berbicara bersamaan.

"Ehm, Dek ...,"

"Mas Ben."

"Kamu duluan Dek," kata Benny.

Nisa lagi-lagi mengacak kertas gambar dan buku sketsa Benny yang isinya sudah dilepas Nisa. "Begini, Mas, jujur gambar sampeyan bagus banget. Tetapi ada satu hal yang bikin aku bingung."

"Apa itu, Dek?"

Nisa menghela napas sangat pelan, mengulur senyum, "Mas Ben tau konsep buku dongeng anak-anak, kan?" tangan wanita itu masih sedikit bertumpu pada kertas-kertas berserakan, tetapi matanya menatap mata Benny langsung.

Benny mengangguk tanpa suara.

"Nah," pandangan Nisa kembali ke kertas-kertas, "Konsep buku dongeng untuk anak-anak adalah menggabungkan ilustrasi dengan tulisan. Mas Ben punya kapasitas untuk menggambar representasi cerita dongeng Nenek sampeyan.

"Namun, Mas Ben belum memiliki tulisan-tulisan yang menjelaskan apa yang dilakukan dalam dongeng Nenek ini. Intinya, dongeng Nenek sampeyan ini sudah bisa membantu imajinasi tapi tetap butuh tulisan untuk memperjelas maksud-maksud dari gambar ini. Plus, Mas Ben belum mengurutkan semua cerita ini." Nisa mengakhiri penjelasannya.

"Oh begitu ...," Benny manggut-manggut.

"Mas Ben, masih ingat, kan, runtutan kejadian yang ada di ilustrasi dongeng ini?" tanya Nisa lagi.

Benny mengangguk, "Aku ingat urutannya Dek. Tapi sebisaku, ya."

"Bentar-bentar," Nisa mengambil buku tulis, menyalakan laptop dan membenarkan posisi duduk senyaman mungkin. Entah mengapa tiba-tiba wanita itu bersemangat sekali hari ini.

Benny termangu, dia juga membetulkan posisi duduk tetapi terhalang oleh rasa nyeri di perut. "Mas Ben pelan-pelan aja," wanita itu refleks memegang lengannya. Lelaki itu merasakan kehangatan yang menjalar di tubuhnya. Benny membiarkan Nisa membantu membetulkan posisinya.  Kalau kata Rana sih, kesempatan tidak boleh disia-siakan.

"Nah, sekarang Mas Benny jelaskan semua gambar ini sesuai urutan ceritanya, kemudian Nisa akan menuliskan intinya di buku ini." Nisa memberi instruksi awal.

Benny mengambil gambar pertama, yaitu gambar dua orang laki-laki dan dua orang perempuan sehabis menerima hadiah dari Bapaknya.

"Jadi, dongeng Nenek ini dimulai dari seorang keluarga dari dunia antah berantah yang memiliki empat orang anak. Setiap ulang tahun mereka, si Bapak memberikan hadiah berupa kalung yang memiliki bandul sesuai warna favorit masing-masing. Aku jabarin karakternya dulu sebelum masuk ke cerita utama."

Benny menunjuk ke gambar paling kiri, menampilkan lelaki dewasa dengan sorot mata datar dan beraura dominasi. "Ini anak pertama, namanya Putra Manakar. Dia mendapatkan kalung dengan batu Manakara. Merah adalah warna favoritnya karena dia anak yang selalu ambisius dalam mencapai apapun yang diinginkan."

Nisa mencatatnya dengan khidmat sementara Benny melanjutkan penjelasannya dengan menunjuk ke potret seorang wanita berambut panjang dengan gaun berenda selutut warna hijau. "Yang ini anak kedua mereka bernama Putri Mea. Dia mendapatkan kalung dengan batu Palamea karena warna favoritnya adalah hijau, menggambarkan sifatnya yang bijaksana dan mempunyai aura memikat."

Benny menunjuk ke potret seorang lelaki muda dengan setelan jas dengan kemeja warna oren dibaliknya. "Namanya Putra Radhista. Dia adalah orang dengan kepedulian sosial yang paling tinggi, memiliki wajah tampan menurut penuturan Nenek. Dia mendapatkan kalung dengan batu Svadisthana, menggambarkan sifatnya barusan dan lebih ramah.

"Terakhir," Benny menunjuk gambar paling ujung. Seorang wanita muda yang di mata Nisa sungguh cantik dengan gaun putihnya. "Namanya Putri Bulan, dia adalah putri pemberontak dibalik penampilan manis dan berhati murninya. Dia tidak suka terhadap sistem yang tidak adil. Putri bulan mendapatkan kalung berbatu berlian putih. Sesuai dengan warna favoritnya."

Benny menaruh kertas yang dipegangnya ke salah satu sisi meja kopi. Kemudian dia mengambil salah satu gambar yang berisi suasana kota kecil yang asri, dengan rumah-rumah, toko, dan kantor pemerintahan yang desain bangunannya seperti di hotel Majapahit di Surabaya. "Ini adalah kota dimana keluarga tersebut tinggal, Dek. Kota kecil yang tenang dan damai, terdapat penyihir dan manusia yang hidup berdampingan. Nama kotanya adalah kota Paralitas.

Nisa mengamati sejenak, "Hem, persis banget dengan gambaran kota Surabaya di tahun 1940an."

Benny mengangguk dan melanjutkan ceritanya sambil menunjukkan gambar seorang presiden berpakaian rapi yang sedang berpidato di depan rakyatnya, "Kota Paralitas dipimpin oleh bapak Karana. Walikota yang disegani sama rakyat. Bapak Karana adalah seorang penyihir yang menguasai sihir putih mau pun hitam, tetapi menggunakannya untuk kebutuhan mendesak. Keluarga Bapak Karana adalah keluarga yang jadi inti cerita di dongeng ini."

Selanjutnya Benny menjelaskan gambar-gambar berikutnya. Cerita kemudian berurai, bahwa Bapak Karana memberikan unsur sihir pada batu-batu yang dijadikan hadiah ulang tahun anak-anaknya ke-17. Hadiah itu akan menjadi penguat sihir mereka nantinya. Mereka berempat hidup dengan damai, hingga suatu hari putra Manakar gagal mendapatkan suara dalam pemilihan walikota.

"Sejak saat itu, Manakar berubah total. Dia menyalahkan semua orang, dan menggunakan sihir ilmu hitam untuk perbuatan keji. Seperti melakukan percobaan pembunuhan terhadap walikota sekarang, sampai mengambil lahan pertanian orang lain secara illegal untuk memperkuat ilmu hitamnya." Benny menunjukkan gambar-gambar tentang kejahatan Manakar.

"Manakar yang semakin ambisius mengetahui maksud terselubung pemberian hadiah kalung Bapaknya. Dia tahu, ketika empat batu itu disatukan maka akan menghasilkan kekuatan maha dahsyat, yaitu ilmu sihir yang tak terpatahkan. Maka dia mulai melancarkan aksinya dengan cara adu domba antar keluarga. Siasat itu berhasil, ke empat Kakak beradik saling bertengkar satu sama lain.

"Manakar senang sekali menyaksikan ini. Putra Radhista dan Putri Mea yang saling membunuh satu sama lain, lalu membunuh kedua orang tua mereka. Ketika Putri Mea dan Putra Radhista telah tewas, Manakar mengambil kalung batu milik dua adiknya tersebut." Benny yang menikmati penuturan dongeng Nenek melalui gambar-gambar berhasil membangun suasana ngeri dari Nisa.

Ketika Benny mau menunjukkan gambar selanjutnya, terdengar ketukan keras. "Asik banget ceritanya, boleh gabung nggak?" celetuk Rana sambil melangkah masuk pelan-pelan.

"Hihhh bauk, mandi dulu sana, Dek." Benny kontan pura-pura menutup hidung. Dia tidak mau Rana merusak momen indah ini, kesempatan tidak boleh dibuang sia-sia.

Rana mencium bau badannya sendiri melalui ketiaknya, "Dikit doang elah, Mas Ben."  Wanita itu kemudian membersihkan badan terlebih dahulu.

Beberapa menit kemudian, Rana sudah duduk di bawah menghadap meja kopi. "Mau pergi lagi, Ran?" tanya Benny.

Rana menggeleng, "Aku kudu siap nek dipanggil kantor moro-moro maneh (dipanggil tiba-tiba), Mas."

Nisa sendiri hanya geleng-geleng kepala melihat interaksi Kaka Adik sepupu ini. Dia meminta Benny untuk melanjutkan, tetapi Rana menginterupsinya lagi. "Biar aku aja. Mas mending tolong bikinkan kita minum aja." Wanita itu tersenyum lebar dengan mata jahil, membuat Mas Benny beranjak tanpa protes.

Rana mengambil kertas gambar yang memuat banyak gambar tentang putri Bulan yang menyadari bahwa ada konspirasi dibalik kematian orang tua dan kedua Kakaknya. Putri Bulan menguntit pergerakan sang Kakak sulung sembari mengumpulkan bukti. Dia ketahuan karena kalungnya mengeluarkan cahaya yang sangat terang ketika dalam persembunyian, waktu itu dia menguntit Putra Manakar yang sedang mempraktekkan mantra sang Bapak.

Gambar berikutnya terdapat sketsa Putri Bulan yang bersembunyi dari kejaran sang Kakak yang berniat merebut kalungnya. Selama persembunyian, dia mempelajari tentang batu-batu hadiah pemberian sang Ayah. Rana menceritan ilustrasi berikut yang menunjukkan penangkapan Putri Bulan dengan raut muka yang tenang seakan dia sudah siap akan hukuman mati.

Benny datang membawa tiga minuman hangat. Nisa meneguknya sekilas sembari mengistirahatkan tangannya yang pegal. Kini gantian Rana yang menulis dan Nisa yang menunjuk ilustrasi tentang perlawanan Putri Bulan dan Putra Manakar setelah gagal mempraktekkan sihir dahsyat almarhum Sang Ayah.

Rana menirukan mimik muka putri Bulan, "Katanya dia memang sengaja memberinya kalung palsu agar gagal. Manakar yang kesal langsung melakukan perlawanan, mereka saling menyerang menggunakan sihir bias cahaya. Kesempatan itu juga yang diambil oleh Putri Bulan untuk diam-diam mengambil kalung batu mendiang kedua Kakaknya.

"Putri Bulan melakukan serangan terakhir yang sungguh sengit. Butuh waktu tiga jam untuk membuat sang Kakak tumbang. Wanita itu mengambil kalung  Kakaknya. Dia berkata, 'Ini semua demi kebaikan penduduk Paralitas dan Kakak sendiri'," tutur Rana.

Nisa menunjukkan ilustrasi Putri Bulan yang sedang berdoa dengan empat batu melayang. Benny mewarnai batu itu sesuai deskripsi awal, membuat mata Rana sedikit melebar.

Nisa yang menyadari Rana yang masih diam ikut bingung, "Ran, mukamu kok aneh gitu?"

"Ini ...," Rana terpana sambil menunjuk ke empat batu yang melayang diikuti oleh bias cahayanya, "Ini persis dengan situasi Badri sebelum Kak Bi menghilang. Ya Tuhan kenapa aku baru sadar selama ini." Rana menepuk jidatnya.

"Baru nyadar kenapa, Ran?" tanya Benny tiba-tiba.

"Mas Ben ...," ucap Rana kepada sang kakak sepupu, "Sekarang aku tau mengapa para jambret  itu ingin mengambil buku sketsamu bukan duitmu yang auto tebal yang lebih menarik perhatian penjambret pada umumnya."

Karena sang Kakak hanya merespons dengan bahasa tubuh penasaran, yang diikuti  Nisa, Rana melanjutkan, "Semua ilustrasi dongeng Nenek, Mas, menggambarkan proses pembacaan mantra yang diincar Badrian untuk masuk ke dalam cermin-lalu-menguasai-waktu. Ah, mungkin juga, cara ini bisa membantu kita untuk menyelamatkan Kak Bi, Nis." Penuturan Rana barusan membuat Nisa ikut senang dan lega. Memusnahkan ekspresi senang di wajah Benny.

"Nah, sekarang apa Mas punya sisa gambarnya?" Rana menutupnya dengan pertanyaan

Benny menggeleng, "Mas lupa naruh dimana, Dek. Tadi adanya itu doang. Bentar kalau ketemu, aku bakal kasih tau kamu."

"Anggap saja ceritanya selesai disini dulu. Kita lanjutkan ketika Mas Ben sudah menemukan kepingan gambar lainnya," lanjut Rana sembari menyandarkan tubuh di sofa. Mereka bertiga menyatukan kembali ilustrasi tersebut secara berurutan.

Tak lama kemudian, Rana menerima panggilan tugas dari Hendra. Lelaki itu berkata bahwa dia membawa satu saksi tambahan. Rana buru-buru berdiri dan berjalan menuju pintu rumah.

"Aku antar kamu aja gimana, Ran?" tawar Nisa yang juga ikut berdiri, "Kos-kosanku nggak terlalu jauh dari kantormu."

"Yakin?" Rana mengangkat alis sembari menyeringai jahil. Melihat Nisa yang memang bersungguh-sungguh membuat kepala Rana bergerak ke atas dan ke bawah.

Menit berikutnya di dalam mobil, Nisa mendapat pesan dari pihak Panti Asuhan ANAK BANGSA yang mengatakan ingin bertemu dan membahas kelanjutan ibu Hasmi.

*

Polrestabes Surabaya, pukul 21:00 WIB.

Proses keterangan saksi yang kedua ini cukup membosankan. Si Bapak dukun  ngomongnya terlalu berbelit-belit, mungkin kalau tidak dibantu Hendra, Rana sudah ketiduran.  Setelah interogasi, dia menerima telepon dari Nisa untuk mendengarkan penuturannya tentang runtutan pencarian orang tua biologis Benny hingga permintaan bertemu dari pihak panti.

"Minggu depan aja, Nis, habis natalan aja gimana? Aku lagi pengen santai sejenak deh. Butuh asupan pikiran jernih nih," usul Rana yang disambut dengan ucapan setuju Nisa. Karena wanita itu kebetulan juga bakal kena shift dokter jaga di minggu-minggu Natal.

"Satukanlah dunia ini agar tetap tentram walau badai terus datang."

Suara cempreng Kakek-kakek menggema di telinga Rana. "Ini bukan suara Badri, tapi suara siapa ini?" Rana menggumam sendiri. Kalimat itu makin terngiang di telinga Rana, membuatnya lagi-lagi tersiksa. Di sela-sela rasa sakitnya, kaki Rana melangkah dengan sendirinya.

"Lepas ... lepaskan aku," desis Rana, menahan tubuhnya sebisa mungkin. Desisan Rana tidak berarti karena langkahnya semakin cepat. Akhirnya Ia terpaksa menuruti si sumber suara yang tidak diketahui.

"Dasar suara cempreng Kakek gila dan tanpa nama!" umpat Rana pelan.

Langkah kaki Rana berhenti di depan ruang barang bukti. Wanita berjilbab itu menyrengit aneh. "Ini kenapa di dalam kayak lagi suasana pesta gitu?"

Rana memasuki ruangan itu, dan memekik tertahan.

Empat batu aneh milik Badrian melayang dan saling bersinar satu sama lain walau terhalang bungkus plastik. Rana langsung memasang sarung tangannya dan menengadahkan tangannya ke arah batu-batu yang melayang tadi.

"Karena kamu hampir berhasil memecahkan kode di balik dongeng Nenek kamu, aku beri kalian kalimat tadi. Selesaikan sisa ceritanya serta gerakan pemicu kalimatnya. Kemudian, gunakan itu di pintu besar agar bisa mengeluarkan Obi ketika waktunya tiba."

Suara Kakek itu menghilang bersamaan dengan terjatuhnya batu-batu tersebut. Rana langsung memungutnya, menyamarkannya, dan meninggalkan ruang barang bukti sambil mencerna maksud si suara aneh Kakek-kakek itu.

"Demi menyelamatkan Kak Bi," gumam Rana senang.

Bersambung

•••

A/N:
Setelah episode 25, aku bakal publish teaser Reputasi.
3000++ words
Happy Reading!!

Kali ini mau pamer artnya Sentralisasi buatan i__xora . Makasih banget sistaaa 😘

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro