Episode - 25: Percepatan Waktu

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

A/N:
Itu lagu di mulmed dengerin aja haha.

•••

Dua Minggu kemudian di Rumah teman Dhani, OKTOBER 1981

Rumah yang terlihat seperti rumah pada umumnya. Tiap ruangan berlantai marmer, dua pilar ukuran besar di serambi, perabotan berkayu jati tanpa pelitur, serta empat kamar tidur dengan tiga kamar mandi. Rumah ini bukan rumah Dhani, melainkan rumah sahabat Pak Hendrawan yang terakhir beliau temui sebelum ditangkap Om Badri dan komplotannya.

Dua kamar di rumah ini ditujukan untuk pemilik rumah dan keluarganya, sedangkan dua kamar sisanya (yang terletak di belakang rumah utama) ditujukan untuk tamu. Kamar tersebut berukuran 3x4 meter, satu kamar dihuni Dhani dan Lastri, kamar sebelahnya dihuni Obi dan Bu Tini (Obi tidur di bawah dengan kasur lapuk dan Bu Tini tidur di tempat tidur).

Mereka mengungkapkan alasan tinggal disini sementara waktu karena sedang dikejar orang tak dikenal. Dua minggu tinggal disitu, mereka bukan saja menumpang, tapi memberikan kontribusi. Bu Tini yang membantu acara memasak si pembantu, Lastri dan Dhani yang selalu membersihkan makanan mereka sendiri, dan Obi yang memberi arahan untuk memindahkan koleksi barang antik pemilik rumah atau pun membersihkan kamar secara bergantian dengan Bu Tini.

Di suatu siang yang cerah ...

Dhani menutup telepon dengan gerakan kasar, membuat Obi mengalihkan pandangan dari buku yang dibaca, "Kenapa lagi sih, Dhan?" tanya Obi sambil menutup buku tersebut.

Dhani duduk menghadap Obi, masih dengan muka kesalnya sambil bersedekap. "Toko jam beberapa hari didatangi orang tak dikenal sama surat kaleng yang isinya aku sama Lastri suruh menyerahkan diri. Aku suruh saja si Abi buat bakar di lapangan terdekat."

Obi berpikir ide apa buat menghibur Om rempong satu ini. Sebuah ide terlintas dibenaknya. Lelaki yang mengenakan baju santai model garis-garis meletakkan buku di meja kopi dan memanggil Dhani.

"Coba deh pikir, Dhan," Obi mengusap dagu dan melirik matanya ke atas beberapa detik, "Kita ini kan mukanya sama banget gitu, kecuali gaya berpakaian sama rambut. Nah, kira-kira kita punya perbedaan apa lagi ya?"

Dhani berpikir, lalu menggeleng.

"Yakin nih, Dhan?" Obi bertanya lagi, menyelidik.

"Apa itu? Yang item-item di badan lu kayak titik, mungkin ukurannya lebih gede," jawab Dhani ngasal, membuat Obi seketika tertawa.

"Itu namanya tahi lalat, Dhan," jawab Obi santai.

Tak lama kemudian, Lastri datang dengan tiga minuman hangat dan menaruhnya di meja kopi. Bau kopi hitam menyeruak penciuman Obi, sungguh harum. Obi mengangkat cangkir tersebut dan meneguknya perlahan. Sedangkan Lastri sendiri duduk disamping suaminya yang ikut meneguk minuman kafein itu sambil memuji betapa enak rasanya lalu mencium bibir Dhani sedetik.

Obi kontan mendengkus, "Kalian kalau mau bercinta di kamar aja deh mending." Lelaki itu meneguk kembali minumannya yang kontan pahitnya terasa sampai tenggorokan.

Dhani tertawa, "Sensi amat sih, Lu, Bi." Kemudian sang Istri ikut tertawa dengan nada pelan, kembali menatap suaminya dengan tatapan cinta. Dari bibir mereka mengalirlah cerita-cerita masa pacaran mereka yang penuh cinta dan kesederhanaan. Obi refleks membuka mulutnya sedikit, antara geli dan terkejut.

"Eh, eh, sayang," Dhani merangkul pinggang Lastri, membuat Lastri menyandarkan tubuhnya ke lelaki itu. "Aku kadang berandai-andai bagaimana kita tua nanti." Dhani menghela napas sedih.

Lastri memainkan jemari Dhani, bibirnya menyunggingkan senyum kecil. Walau dalam hati dia ikut bersedih, "Sayang, jangan ngomong gitu ah. Kita pasti bakal bisa punya anak."

"Iya nih, Om, panik amat. Disuruh pacaran dulu kali." Obi berbicara sambil mencomot kue pastel yang terletak disamping gelas kopinya. Obi sendiri tahu kalau mereka tak bisa punya anak karena permintaan almarhum Om Hendrawan pada Pandora. Syukurlah sampai sekarang Dhani dan Lastri tidak tahu, cuma kejadian Bapaknya dibunuh Badri saja yang diketahui.

Lastri terbangun dari sandaran Dhani, genggaman tangannya masih belum terlepas. "Aku pergi kerja dulu, ya, hari ini. Kasihan toko kasetku ditinggal berhari-hari." Nada bicaranya sungguh lembut. Kembali mengingatkan Obi pada Rana. Anehnya, Obi membiarkan pikiran Rana menguasainya kali ini.

Wajah Dhani meyiratkan ketakrelaan, membuat Obi yang menghabiskan kue pastelnya berceletuk, "Ya udah, Dhan, santai aja kali. Cuma ditinggal bentar saja kok."

Lastri perlahan melepaskan genggaman tangannya dari Dhani dan berjalan ke kamar untuk berganti baju. Beberapa menit kemudian, dia sudah keluar dengan kemeja bermotif polkadot warna putih dan celana jins model lebar bagian bawahnya. Dia berkaca di ruang tamu sebentar untuk memeriksa penampilan.

"Sayang ...," Dhani tiba-tiba datang dan melingkarkan lengannya di pinggang istrinya. Lagi-lagi dia mencium parfum beraroma bunga melati di lehernya. "Perginya nanti saja, ya," rayu sang suami dengan suara pelan. Dhani menundukkan dagu di bahu Lastri, dan menciuminya bertubi-tubi hingga membuat Lastri bergidik geli. 

"Udah ah, sayang. Nanti aku terlambat ke kantor." Lastri menggoyangkan bahunya, membuat Dhani mengangkat kepala. Matanya menatap Lastri sedih ketika melepaskan rengkuhannya. Lastri berbalik, menatap suaminya lekat-lekat lalu memberikan kecupan singkat di bibirnya.

Dhani lalu membalasnya dengan ciuman hangat nan perlahan. Tangannya pun berpindah dari pinggang ke leher Lastri bergantian, Ia mengangkat tubuh Lastri dan mendudukkannya di meja depan cermin. Jemari Lastri menancapkan kukunya ke punggung Dhani yang masih terbalut kaus putihnya, erangan napas mulai keluar sedikit demi sedikit. Sedangkan Dhani tidak hanya mencium bibirnya saja, melainkan leher dan bahu.

"Kalian ... tolonglah pergi ke kamar saja, aku mau bersih-bersih nih." Obi berjalan melewati ruang tamu sambil membawa sapu dan tong sampah ke arah pintu luar, dengan memutar bola mata. Sungguh jengah melihat pemandangan barusan.

Mereka berdua langsung menghentikan ciumannya. "Kamu ini ...," Lastri tersenyum dan mendorong Dhani dengan jemarinya. Dia berdiri, memperbaiki penampilannya lagi dan mengambil tasnya. Wanita itu mengecup pipi Dhani, "Nanti aku kabarin kok," pamitnya.

Di luar rumah, Ia menyapa Obi dan membuka pintu pagar. Ketika terbuka seluruhnya, sebuah pemandangan baru mengejutkan pandangan Lastri hingga membuatnya berteriak.

Obi datang terlebih dahulu dan masih membawa sapunya. Ia melebarkan mata dan menutup hidung karena aroma busuknya sungguh menyengat. Bahkan para tetangga mulai berdatangan dan saling bergumam satu sama lain.

Lastri refleks memeluk Obi, bahunya bergetar hebat. Terdengar isakan pelan. "Aku ... takut, Bi. Mayat itu ... sungguh menakutkan," lirihnya. Obi perlahan melepas pelukan Lastri tanpa sempat membalasnya sama sekali.

Obi berjongkok untuk mengetahui mayat itu lebih dekat. "Hem ... mayat ini sudah dibunuh selama beberapa bulan. Pantas saja baunya busuk sekali dan darahnya sudah kering. Luka tusukannya hampir berada di seluruh tubuh." Mayat tersebut masih dalam posisi tengkurap dengan tangan terikat di belakang. Ingatan Obi teringat pada satu hal, dia pernah melihat pakaian ini di suatu tempat.

Dhani yang baru datang langsung memeluk Lastri seerat mungkin.

"Bi, lu balikin tubuhnya deh," saran Dhani.

"Tapi, Dhan ...," Obi menoleh.

"Kita berhak tahu siapa mayat itu." Dhani berkata tegas.

Tetangga yang berada di lokasi membantu Obi membalikkan tubuh mayat tersebut. Rasa terkejut mereka makin menjadi ketika melihat wajahnya yang sudah rusak, memar yang menghiasi kulit, serta sabetan pisau dan bekas tali yang mencekik leher. Bukan itu saja yang membuat mereka terkejut, melainkan Dhani sungguh mengenalnya setelah melihat tato bergambar ular di  lengan kanannya.

"TONO," teriak Dhani.

Tono, preman pasar yang baik hati dan menghilang berhari-hari tanpa kabar ternyata telah ditemukan dalam kondisi mengenaskan. Dhani tidak bisa membendung tangisan dan amarahnya. "Cukup Bapak gua aja yang mengalami hal begini, Lu jangan, Ton," raung lelaki itu.

"Dhan, mending kamu telepon polisi saja," ujar Obi. Lebih baik Dhani dijauhkan daripada amarahnya makin jadi.

Dhani akhirnya kembali ke dalam rumah bersama Lastri, meninggalkan Obi dengan beberapa orang di sekitarnya. Dia sungguh penasaran dengan metode pembunuhan yang digunakan. "Ini modelnya kayak penyiksaan bertubi-tubi, sama seperti yang dialami Om Hendrawan waktu itu. Tetapi penyiksaannya jauh lebih parah dan tidak terburu-buru," gumamnya pada diri sendiri. Lelaki itu mengusap dagu, "Pembunuhan ini seperti peringatan karena kalau waktu pembunuhanya sudah lama, pasti mereka tidak akan repot untuk membuangnya kesini. Aku sangat yakin ini pasti ancaman."

Matanya menangkap secarik kertas di selipan pakaian Tono. Ia mengambil dan perlahan membacanya.

Aku menemukan kalian dan jangan harap bisa lari dariku.

Berikan empat batu itu padaku jika kalian ingin hidup tentram.

*

Malam hari di suatu lapangan luas, OKTOBER 1981.

Hembusan angin menerpa tubuh Lastri ketika berjalan memasuki lapangan. Efek ketakutannya tadi pagi masih terasa hingga sekarang. Ketakutannya bukan tanpa alasan, mayat Tono yang dilihatnya merupakan suatu peringatan. Dia tidak  memberitahu siapa pun soal kedatangannya kemari.

Langkah Lastri berhenti ketika melihat sosok tubuh yang angkuh sedang berkacak pingang.

Sosok itu melangkah lebih maju, "Masih saja kamu memberanikan diri untuk datang, Lastri? Punya nyawa berapa kamu?" seringai dari bibirnya terangkat.

"Om Badri, apa Om masih belum menyerah juga untuk batu-batu tidak penting itu?" Lastri berucap tanpa basa-basi.

"TIDAK PENTING KATAMU," pekik Badri, "Kamu tau, Lastri? Kekuatanku bisa meningkat, dan perusahaanku bisa menjadi makin kredibel dimata pemerintah." Jaraknya dengan Lastri kini hampir tak ada sekat. Lastri bisa melihat jelas tatapan murka Badri.

Wanita itu tetap tenang seperti biasa, "Bukannya Om harusnya lebih bekerja keras, ya?"

"BAH ...," Badri membelakangi Lastri, "Kerja keras saja tidak cukup, anak muda. Bisnisku terlihat sukses, tapi dibaliknya, Presiden belum sepenuhnya mengapresiasi perusahaanku. Padahal aku sudah menghilangkan jejak 'Prasetya', atau pun bau-bau keluarga kalian dihidupku. Tapi tetap saja Presiden masih tidak percaya akan sepak terjang perusahaanku ini."

"Maka dari itu, Om membunuh Bapaknya Dhani?" sambung Lastri. Ia mengepal tangannya.

Badri membalikkan badan dan tersenyum gembira. "Jawaban yang sungguh cerdas, Lastri." Dalam hati, Bapak berkumis itu mengagumi kecerdasan Lastri.

"Presiden semakin berkuasa, Om. Kalau mau lebih maju usahanya, bukan pakai kekuatan magis solusinya ...,"

"DIAM KAMU, anak muda." Badri langsung mencekik leher Lastri, membuat tenggorokannya terasa kaku. Badri mengendurkan cekikannya, tetapi tangannya masih memegang leher Lastri. "Jangan ... pernah ... menceramahi saya, Lastri!" desisnya.

Badri membiarkan Lastri mengambil napas sejenak, wanita itu merasakan tusukan di leher belakangnya. Rasa sakit itu menjalar hingga ke bagian bekas lukanya di perut. Lastri menahannya sebisa mungkin, namun lagi-lagi percuma karena apa yang dilihatnya adalah hitam putih. Saat itulah Badri melepas cengkramannya dari leher Lastri.

Badri menyeringai senang, teknik hipnotis barunya berhasil. Dia melihat bola mata Lastri yang memutih di satu sisi, cukup untuk mengosongkan pikirannya. Lelaki itu berbisik, "Aku memaafkan perbuatanmu ketika ternyata kamu malah memberikan batu sinar bulan pada Dhani. Aku juga sungguh berterima kasih karena telah menjadi mata-mata untuk Eko di Surabaya."

Lastri mengangguk sangat pelan.

"Sekarang, kekuatan hipnotis ini akan muncul ketika aksimu dimulai. Ambil kembali batu-batuku, Lastri. Dan jangan gagal kali ini," perintah Badri.

"Baik ... Om."

*

Dua hari kemudian.

Obi menaruh mangkok besar yang berisi sop ayam ketika mendengar suara gerudukan. Dari arah suaranya, itu berasal dari kamar. "Heran, perasaan tadi udah aku tutup pintunya," gumamnya.

Sesampainya di kamar, dia terkejut karena ada Lastri dan kamarnya yang sudah berantakan. Baju-baju yang berserakan, buku-buku yang berserakan. Obi membiarkan Lastri melakukan pekerjaannya hingga dia berkata, "Lastri ...," panggilnya.

Lastri menghentikan aksi membongkar laci di lemarinya Obi. Bahunya bergetar. Obi mendekati punggung Lastri, "Lastri, apa yang kamu lakukan di ...?" kata-katanya terputus karena Lastri sudah berbalik dan mencengkram leher Obi. Wanita itu mendorong Obi kuat-kuat hingga ke tembok.

Napas Obi berkurang sedikit demi sedikit. Tetapi,  matanya masih bisa menangkap mata Lastri yang kosong. "Las ..., La ... s," lirih Obi.

"Dimana?" tanya Lastri kaku, napasnya memburu, "Dimana kamu letakkan barangku?" Mata wanita melebar, gemertak giginya saling beradu. Pandangan Obi mengabur. Kaki Obi terangkat pelan, tenaga Lastri sungguh kuat. Kakinya yang bebas mengambil kesempatan untuk menginjak kaki Lastri sangat kuat. Berhasil, Obi bisa lolos walau cuma sementara.

Mereka beradu kejar-kejaran, Obi menghalangi Lastri dengan melempar barang-barang yang ada. Lastri menghindar, meskipun ada salah satu barang mengenai lengannya. Obi tetap berjalan menuju tempat tidur yang ditempati Bu Tini, lalu memasukkan tangannya ke dalam kasur lapuk.

"Mencari ini?" Obi menunjukkan empat batu warna-warni dihadapan Lastri. Wanita itu langsung bereaksi, dia semakin beringas mengejar Obi. Lelaki itu juga tidak tinggal diam, dia melompati kasur dan berlari keluar kamar. Adegan kejar-kejaran terjadi, tidak peduli dengan tatapan heran pembantu rumah.

Langkah mereka berhenti di depan rumah.

Jalan raya masih sepi, tidak banyak kendaraan berlalu-lalang karena masih pagi. Obi mengeluarkan dua batu berlian dari kantong celana kainnya. "Aku sudah menduga dari awal akan seluruh keanehan kamu selama ini, Las."

Belum ada reaksi lanjutan dari Lastri.

"Kamu yang  memberi batu sinar bulan dengan tiba-tiba, lalu kemudian rumah Dhani diserang oleh orang tak dikenal. Mata kamu yang tak pernah lepas dari penyatuan ke empat batu ini," Obi menatap empat batu tersebut, "Hingga ... kematian Tono dan pesan di kertas serta tingkat ketakutan kamu yang sangat tinggi."

Diamnya Lastri membuat Obi mengeluarkan kesimpulan, "Komplotan Om Badri, kan, yang membunuh Tono? Semua ini dilakukan tidak hanya untuk benda ini, tapi juga menarik perhatian Presiden yang sedang gencar-gencarnya memberantas kejahatan, kan?"

"ARGHHHH ..." Lastri menutup telinganya yang tiba-tiba sakit. "ARGHHH ... Ke ... Keparat kamu," umpatnya dengan suara melirih. Bola matanya mulai kembali ke posisi normal.

Obi melihat Dhani yang berjalan dari jauh. Pantas saja kekuatan hipnotisnya menghilang. Apalagi aku menyembunyikan batu-batu ini lagi, batin lelaki itu.

"Sayang ...," Dhani langsung membantu Lastri yang kesakitan. "Kamu kenapa? Kok bisa sakit begini?" tanya Dhani, suaranya menjadi panik.

Sayangnya, itu hanya terjadi sedetik ketika Obi mengeluarkan lagi empat batu itu lagi dari kantongnya. Mata Lastri kembali mengosong, dia memukul Dhani hingga pingsan. "Sekarang, giliran kamu," ucapnya sembari berjalan mendekat ke arah Obi.

Obi berjalan mundur, sedikit demi sedikit. Kemudian, Ia berlari sekuat tenaganya. Sebetulnya dia tidak tega meninggalkan Omnya, tetapi saat ini dia tidak memiliki pilihan lain. Tenaga Lastri sungguh kuat, bahkan langkahnya semakin dekat.

Obi melihat kembali kalung jam sakunya. Cuma ini satu-satunya pilihan, batinnya. Dia membuka penutup jam saku, melihat pergerakan waktu yang menandakan bahwa energinya menipis. Lelaki itu dengan mantap memutar tuas, sembari membayangkan waktu mana yang akan dituju.

Semburat cahaya merambat ke tubuh Obi, menghisapnya ke dalam cahaya tersebut.

*

Monumen Pancasila Sakti, November 1981.

Sebuah lapangan luas dengan hamparan rumput hijau dan pohon yang menjulang tinggi menyambut pandangan Obi. Empat batu-batunya masih aman sentosa. Namun, bukan hanya itu saja, ternyata bayangan Obi datang kemari adalah momen dimana dia melihat Lastri dan Dhani yang berada di ambang kematian. Momen yang Obi lihat di cermin ruang baca Babeh waktu itu.

Perbedaannya adalah, Obi datang satu jam sebelum kejadian. Ini kesempatannya untuk mengubah waktu.

Disitu sudah ada Dhani dan Lastri yang sedang duduk bersembunyi di sisi kiri monumen. Obi menghampiri mereka berdua dan berbincang sebentar.

"Gua pikir gua kagak bisa lihat Lu lagi, Bi," Dhani menghamburkan pelukannya.

"Oke, sekarang lebih baik kita pergi dari sini," tukas Obi.

"Kemana, Bi?" tanya Lastri yang masih ketakutan. Wanita itu masih dalam keadaan normal. Karena khawatir dia akan bereaksi, Obi menarik Dhani dari Lastri dan menjauh sejenak. Langkah mereka terhenti di sisi depan monumen.

Mata Dhani menangkap bercak putih di pundak Obi yang tidak tertutup kaos. "Itu apaan di pundak Lu, Bi?" tanya Dhani iseng.

Obi melirik sejenak dan langsung menutupinya dengan kaos. "Tidak apa-apa, cuma sekedar tanda lahir."

Dhani mengangguk dan mengalihkan topik, "Kita mau pergi kemana lagi? Kemana pun kita pergi, pasti Badri bakal tau"

"Dengan ini, Om. Kali ini, Om Badri tidak akan tahu." Obi mengeluarkan empat batu.

"Mentang-mentang Gua Om Lu di masa depan, kagak usah napa panggil Om disini. Gua belum tua-tua amat," protes Dhani yang disambut senyum kecil Obi.

Bias cahaya dari batu Manakara dan batu Palamea bersinar terang ketika disatukan di tanah oleh Obi. "Dhan, kita akan pergi melewati portal yang dibuka dari cermin sekitar sini."

"Whoaaa," Dhani berdecak kagum, "Jadi, Lu keluar masuk selama ini, pakai batu ginian doang?"

Obi mengangguk, "Tapi medianya cermin yang di ruang baca Kakek Hendrawan."

Wajah Dhani langsung murung ketika nama Babehnya disebut. Obi langsung menepuk bahu Pamannya tersebut, "Jangan sedih, Om. Biarkan Kakek tenang di alam sana." Cahaya bias keluar lagi dari batu Svadisthana dan batu Sinar Bulan. Obi lalu mengeluarkan jam saku dari balik lehernya, membiarkan energinya batu-batu itu terserap ke dalam jam saku.

Seberkas bias cahaya dari kalung jam saku Obi mengarah kepada bagian batu marmer dan membentuk sebuah pintu besar. Sementara itu, empat batu tersebut melayang, menstabilkan pintu portalnya.

"Dhan, ayo bilang ke Lastri kita harus pergi dari sini," ajak Obi.

Bias cahaya itu memudar tiba-tiba meredup, dan mereka terkejut karena Lastri mengambil salah satu batu, yaitu batu Sinar Bulan.

"Lastri ...," Obi berdiri dan menghampiri Lastri yang berjalan mundur, "Ayo kembalikan! Kalau tidak, kita tidak bisa pergi dari sini."

Obi mengikuti pergerakan Lastri hingga sisi depan, saat itulah dia melihat Badri dan empat pengawalnya yang menunggu. Lastri menghentikan langkahnya dan memberikan batu sinar Bulan. "Terima kasih, Lastri, sudah menjadi mata-mata saya selama ini," pujinya sambil mengacak kepalanya dengan lembut.

Badri tertawa lebar, "Kalian tidak akan bisa pergi dari sini."

Dhani mengepal tangan, "Berani-beraninya Lu, Om. Kurang apa selama ini Lu menghina kita semua? Dan sekarang, Lu memanfaatkan Lastri," serunya marah dan mulai maju satu langkah.

Obi yang mengetahui momen awal pertumpahan darah langsung menghentikan gerakan Dhani. "Lepasin, Bi," Dhani bergerak sekuat tenaga. Tetapi Obi makin menahan kedua lengan Dhani.

"Dhan, jangan gegabah! Lastri itu kena hipnotisnya Badri selama ini. Dan Om kamu itu bermain licik, ketika ada kamu dia tidak mengendalikan Lastri. Baru jika kamu pergi, dia beringas," bisik Obi, "Biar aku yang menangani ini." Ia melepaskan lengannya yang mencengkram Dhani. Obi bersyukur dia bisa melihat kilat mata Dhani yang sudah tenang.

Obi berjalan maju ke hadapan Badri dan Lastri, "Om mungkin dapat salah satunya. Tapi tiga batu lain itu masih ada di aku."

"Eh, anak muda yang ngakunya kembaran Dhani. Gua tahu, Lu mau mancing Gua kan, agar bisa ngelepasin Lastri." Badri mengangkat alisnya.

Obi menggeleng, "Justru aku mau beri Om penawaran. Kalau Om melepaskan kekuatan Om dari tubuh Lastri. Maka empat batu yang ada disana jadi milik Om seutuhnya."

Badri menimang sebentar. Tawaran menarik, bahkan tidak harus pakai pertumpahan darah segala. Apalagi anak muda ini sungguh mirip dengan Eko versi muda. "Baik, kalau begitu anak muda. Serahkan batu-batu lainnya dan gua akan melepaskan energi Gua dari tubuh Lastri."

Badri memencet bekas luka di perut Lastri. Wanita itu berteriak dengan kencang, detik selanjutnya Lastri merasa beban tubuhnya terangkat. Detik selanjutnya, Lastri menyeringai dan mengeluarkan alat perekam dari kantong pakaianya. "Terima kasih Om Badri, selamat menikmati penjara," ujarnya, kemudian menendang perut Badri sekuat tenaga. Ternyata selama ini Lastri selalu merekam setiap kejadian selama dihipnotis.

Lastri berlari dan melempar alat perekamnya ke arah Dhani. Lelaki itu menangkapnya dan mereka berdua berlari bersama ke arah pintu cahaya.

"KEPARAT KALIAN ... Pengawal, tangkap mereka," perintah Badri. Bapak tua itu mengumpat kepada diri sendiri. Obi langsung memukul bahu dan menendang perut Badri.

Badri menyerang Obi dari berbagai sisi mulai dari perut, ulu hati, hingga kak, langsung membuat lelaki itu tersungkur. Badan Obi yang remuk dan bibirnya yang berdarah  tidak menghalanginya dalam menjegal kaki Badri, saat itulah Batu Sinar Bulan terlepas dari genggamannya. Dengan langkah tertatih Obi mengambilnya dan berlari sekuat tenaga hingga ke pintu portal.

Sementara itu, Lastri melawan para pengawal Badri, begitu juga dengan Dhani. Pintu portal semakin bersinar dengan kehadiran Obi, dan Badri berjalan pincang menuju mereka sembari mengumpat.

Setelah berhasil melumpuhkan pengawal, Lastri menjegal kaki dan memukul wajah Badri. Badri tetap berdiri, dan membalas serangan Lastri. Setidaknya hal ini cukup memeri Obi dan Dhani waktu cukup. Pintu portal itu bersinar terang kembali.

Posisi Dhani dan Obi berada di belakang pintu. Tenaga Lastri yang lemah memudahkan Badri untuk membuatnya pingsan dengan sekali pukulan di perut.

"HAHAHAHAHA ...," Badri sudah berhadapan dengan Dhani dan Obi yang menghalangi pintu portal. "Kalian nggak bakal bisa menghalangiku untuk mendapatkan batu-batu itu."

Diam-diam, Obi menaruh sesuatu ke dalam saku celana Dhani tanpa disadarinya, tujuannya untuk sekedar berjaga-jaga.

Badri masih tak bisa meraih batu-batu itu karena pintu portalnya belum tertutup. "Kalian ... kalian harus mati." Bapak tua itu menyerang Obi dan Dhani secara bergantian. Mereka berdua tidak tinggal diam, Dhani menyerang terlebih dahulu, "Ini buat Lastri," Ia memukul wajah Badri, tetapi efek pukulannya hanya sebentar karena Badri membalasnya dengan tendangan di perut Dhani.

Salah satu dari mereka bangkit dan menghalangi pintu portal. Tetapi Badri dengan mudahnya mendorong orang itu ke dalam pintu portal.

"Selamat tinggal ...," Badri melambaikan tangan pada orang tersebut. Tepat saat pintu portal tertutup. Empat batu itu terjatuh, dan Badri langsung menangkapnya dan menyimpannya di saku celananya.

"Begini, kan, enak. Aku nggak perlu susah-susah merebutnya. Terima kasih." Badri meninggalkan dua manusia yang tidak sadarkan diri sembari tertawa jahat.

Bersambung

•••

A/N:
Sebentar lagi PROLOG REPUTASI UP. Tunggu aja yaaaa!!
3100++ kata
Happy Reading!!

Om Badri zaman muda hahaha.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro