Episode - 31: Titik Persatuan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Badri yang masih menguasai tubuh Risjaf memutar tangannya hingga seberkas cahaya hitam keluar. Tangannya terulur ke arah empat batu itu dan mereka bersinar kembali. Badri berjalan melewati musuh-musuhnya yang sudah jatuh terduduk, diikuti titik persatuan (sebutannya pada empat batu) yang melayang di atasnya. Langkahnya berhenti di belakang posisi Obi dan Dhani.

Portal besar resmi dibuka kembali.

Badri menendang ulu hati mereka satu persatu. Tubuh Obi dan Dhani terhuyung ke samping kiri dan kanannya.

"Keparat kau, Om. Keluar dari tubuh Risjaf," umpat Dhani sambil berusaha berdiri dan menghentikan aksi Badri berikutnya.

Badri langsung menghempaskan tubuh Dhani dengan tangannya. Lastri cepat-cepat menangkap tubuh suaminya yang kesakitan di bagian punggung.

Obi sendiri masih bersusah payah untuk berdiri, sayang tubuhnya masih terlalu lemah.

Badri menempelkan tangannya lagi di portal. Belum suaranya menggema mantra pembuka, ada suara yang sangat dibencinya muncul. "Pak, tolong hentikan semua ini."

Badri tersenyum mengejek tanpa melihat lawan bicaranya. "Masih belum menyerah juga kamu, ya, Ko? Harusnya kamu mati dari dulu, urgh." Badri memukul satu tangannya ke dinding portal.

Eko berjalan maju dan berhenti di belakang Bapaknya. "Apa yang membuat Bapak benci sama Eko? Eko capek Pak, Eko capek bertanya-tanya terus selama hidup limapuluh tahun lebih di dunia. Akhiri semua ini, Pak. Kita bisa memulai hidup baru, bahkan jauh lebih baik dari sebelumnya."

Kemauan emosional lagi-lagi menguasai Badri. Ia mengutuk dirinya sendiri, mengapa sulit sekali melawan rasa ini? Badri seketika menyesal karena mengabulkan keinginan terakhir Istrinya agar jangan membunuh Eko dalam keadaan apa pun.

"Nggak sulit kok, Pak. Semua dimulai dari diri kita dahulu." Eko memecah keheningan sambil mengulurkan tangan ke depan.

Badri membutuhkan waktu beberapa detik sebelum bersuara, "Ibumu ...," napas Badri terengah-engah, "Ibumu selalu saja muncul di benakku. Seakan dia memarahiku telak di depan mukaku. Setiap jemariku berhasil membuat napasmu menipis, dia muncul dan tangannya ... yang seakan sudah berada di leherku," Badri berbalik badan, "Sakit rasanya, Ko ... sakit ... beban ini sudah terlalu berat kupikul sendiri." Suara Badri menjadi serak dan tercekat.

Langkah Eko semakin dekat, dan Ia mengelus pelan kedua bahu Badri.

"Pak jangan Pak," Obi berteriak.

Eko tidak mengindahkan hal tersebut. "Sudahlah, Pak, jangan bersedih. Eko dan Ibu sudah memaafkan Bapak, kok. Tapi, Eko hanya minta satu. Tolong keluar dari tubuh Bang Risjaf."

"Aku ... aku ...," wajah sendu Badri mendadak berubah menjadi senyum sinis, "Kamu pikir, aku menerima maafmu begitu saja, ha?!" desisnya. Tidak ada lagi suara muram nan sendu seperti beberapa menit yang lalu. Badri mencengkram bahu Eko sangat kuat, menimbulkan nyeri di tubuh-tubuhnya yang dulu menjadi sasaran amuk.

Jeritan lolos dari bibir Eko.

Senyum sinis Badri semakin lebar. Cengkramannya semakin kuat. Kuku-kuku jemari Badri menusuk bekas luka di sekitar kulit Eko hingga mengeluarkan setetes cairan merah.

Tawa Badri semakin nyaring, memekakan telinga.

Rasa nyeri Eko makin sakit, membuat tubuhnya melemah. Wajah Eko memucat, bibirnya menimbulkan bercak biru di bagian bawah. Napasnya bahkan tercekat akibat asupan oksigen menipis. Mata Eko refleks menatap langit siang yang terik.

Perlahan, tubuh Eko limbung dan tersungkur di lantai keramik. Tidak ada pergerakan darinya selama beberapa detik.

"BAPAK ...," tangan Obi terentang ke depan dan menyeret tubuhnya pelan.

Badri yang melihat itu langsung menempelkan kedua telapak tangannya pada pintu portal. Sebelum memejamkan mata, dia memerintahkan sesuatu, "Sekali kamu bergerak menuju tubuh Eko, maka salah satu dari mereka akan aku tebas lehernya."

Obi tidak peduli, dia terus menyeret.

"Baik kalau masih ngeyel ...," Badri memberi kode pada anak buahnya yang menahan Nisa dan Benny.

"ARGHHH ...," Benny berteriak kesakitan. Pisaunya belum bergerak, tetapi preman itu menekan bagian tajam dan menimbulkan nyeri. Benny mencium sedikit bau anyir.

"KEPARAT KAU, OM," Dhani tidak bisa bangkit terlalu cepat. Ingin rasanya Ia mencabik preman yang sudah melukai anak kandungnya. Langkahnya tertahan oleh Lastri. Bibir wanita itu menggumam jangan.

Jeritan Benny makin keras dan makin merasa pisau itu bergerak sedikit demi sedikit. Lastri menahan tangisnya sebisa mungkin.

Dhani menatap Obi, "Bi, stop, Bi. Tolong," suaranya melirih tapi masih terdengar keras.

Mendengar suara Dhani yang memohon, Obi menuruti sarannya. Lelaki itu berusaha berdiri, dan berhasil walau gerakan langkahnya sempoyongan. Bukannya tetap pada posisi, dia malah menuju posisi Badri.

Badri langsung memejamkan mata lalu menggemakan suaranya. Ia mengatupkan kedua tangan. "Masukkanlah jiwaku ke dalam portal, tunjukkan momen waktu dimana aku bersama istriku karena aku ingin mengatakan satu hal kepadanya ... satukanlah dunia ini agar tetap tentram walau badai terus menghadang."

Jiwa Badri perlahan melepaskan diri dari tubuh Risjaf seiring terbukanya pintu portal.

Nggak akan aku biarkan kamu menang, Kek, batin Obi.

Tubuh Risjaf langsung terhuyung lemah, sebuah pertanda bahwa jiwa Badri sudah lepas dan masuk ke dalam portal. Badri melupakan satu fakta, bahwa ada tubuh lain yang bisa lolos ke dalam portal besar karena lelaki tua itu lupa membuat mantra pelindung.

*

Dengingan di telinga Rana, perlahan menghilang. Dengungan yang melemahkan pergerakannya. Rana mengerjapkan matanya berkali-kali, lalu memutar jarinya di lubang telinga untuk memastikan suara itu memang benar-benar lenyap.

"Ugh ...," Risjaf mendudukkan badan. Kepalanya terasa pening.

Rana yang mendengar dengan jelas langsung mendekati Risjaf sembari memegang pinggangnya yang nyeri. "Pelan-pelan, Om," tutur Rana sambil melingkarkan lengan Risjaf di bahunya.

Lastri yang melihatnya langsung membantu Rana membopong Risjaf. Mereka berdua mendudukkan lelaki itu di bawah pohon rindang. Berikutnya, dua wanita itu membantu memapah tubuh Eko yang lemah, walau berat, tapi tidak menurunkan semangat dua wanita beda generasi tersebut.

Rana menangkap derap langkah kaki yang tak jauh dari belakang. Dengan cekatan Ia langsung mengeluarkan pistol dari kantong pinggangnya menggunakan tangannya yang bebas. Dua peluru berhasil menembus paha pemilik derap tersebut ketika Rana menoleh sekilas. Ternyata ada satu preman lagi yang berjalan dengan mata nyalang. Sayangnya kali ini tidak ada muntahan peluru dari pistol Rana. Ia harus cepat-cepat melakukan sesuatu.

"Bu Lastri ...," panggil Rana pada Lastri tiba-tiba.

"Hm?"

"Tolong lanjutin bawa Om. Aku mau ke sana."

Baru Lastri mau mengeluarkan sepatah kata, Rana sudah melengos begitu saja. Dhani yang posiainya sekarang sedang mengobati Risjaf, langsung membantu Lastri membopong Eko. Napas Eko lemah sekali, semoga taman rindang membantunya menghirup oksigen sebanyak mungkin.

Rana mengisi pelurunya saat berlari menuju preman tersebut. Tanpa ba bi bu, pistol Rana menunjuk ke arah betis dan memuntahkannya. Preman kedua jatuh terduduk. Rana menjulurkan lidah ketika melewati mereka, "Makanya, pinter dikit kalau mau nyerang. Mampus lu!" ejek Rana diiringi tawa berderai.

Terdengar erangan Nisa dan Benny di telinga Rana serta suara derap langkah mereka yang seperti diseret paksa. Suara tersebut berasal dari area dekat patung diorama penculikan dan penyiksaan pahlawan revolusi. Letaknya agak sedikit jauh dari area monumen, dan lebih membuat bulu kuduk wanita itu berdiri. Suara preman itu berat dan keras, membuat Nisa dan Benny ketakutan.

Rana tetap melangkah pelan sembari mengacungkan pistol. "Rasain lu," gumamnya.

DOR!

DOR!

Kedua preman itu terjatuh sambil memegangi betis mereka yang mengeluarkan tetesan cairan merah lalu meraung keras. Otomatis juga, Benny dan Nisa terbebas dari cengkraman preman menakutkan tersebut. Jenis-jenis hewan di kebun binatang disebutkan secara lancar dari bibir kedua preman tersebut.

Nisa dan Benny merasakan kedua tangan mereka yang bebas. Nisa meluruskan tangan selama beberapa detik, sementara Benny mengangkat kedua tangannya ke atas.

"Waktu kalian nggak banyak di sini," Rana berucap serius, membuat mereka berdua seakan kembali ke realita. Rana memegang satu tangan masing-masing, "Kalian keluar dari sini, pergi ke polsek terdekat dan laporkan apa yang terjadi. Aku butuh bantuan tambahan. Melawan Aki-Aki bau tanah butuh energi lebih besar dari ini."

"Oke," Benny bersuara terlebih dahulu.

"Semoga kamu baik-baik saja, Ran." Nisa langsung memeluk Rana dengan erat. Walau Rana hampir kehabisan napas, Nisa tidak peduli. Wanita itu menggumam terima kasih berkali-kali. Rana membalas pelukan mantan saingannya tersebut.

"Eh maaf, Ran," Nisa langsung melepas pelukan.

"Cepatlah pergi," seru Rana dengan tangan melambai.

Baru mereka berdua berlari beberapa langkah, Rana menahan mereka dengan suara, "Jangan lupa ke klinik terdekat. Lehermu wajib ditolong, Mas."

Benny dan Nisa mengacungkan jempol mereka lalu melanjutkan langkah mereka hingga menghilang di balik area pintu keluar Monumen. Dari kejauhan, Rana bisa menangkap adanya kilat mata yang bersinar di antara keduanya.

*

Semua yang dilihat Obi adalah serba putih, Ia bisa melihat pantulan dirinya dari sisi mana pun. Obi mengatur napas sejenak karena dia lelah mengejar jiwa Badri yang melayang terus menghilang tiba-tiba. Obi tidak mau menyerah, dia harus mencegah Kakeknya mengubah waktu.

Obi melanjutkan langkahnya yang cepat, berulang-ulang tanpa sekali pun berhenti.

"Ya Tuhan, ini nggak ada ujungnya sama sekali," gumamnya ketika Ia sadar bahwa rasanya seperti lari di tempat. Obi mengeluarkan jam sakunya yang telah rusak dari balik pakaian. Dahi laki-laki itu mengernyit, "Harusnya ketika portal besar aktif, ini juga aktif walau udah beda kekuatan."

Pantas saja dia berada di sini, Obi berada di area transisi.

Saat itulah mata Obi menangkap satu titik kecil, membuat semangatnya makin membara. Prediksinya tidak salah, karena jiwa Badrian berada di situ. Di depannya terdapat gerbang ajaib yang menampakkan situasi pasangan suami istri yang sedang berbicara empat mata di kamar, sang istri sedang mengelus perutnya yang buncit.

Bentuk mata dan senyum itu sangat mirip dengan Bapak. Ini pasti momen yang dimaksud Kakek,  batin Obi.

Jiwa Badri bergerak turun, kakinya seolah menginjak tanah. Lelaki tua itu menghirup oksigen sebanyak mungkin sambil memejamkan mata dan mengatupkan kedua tangannya. Tangannya membentuk silang sebanyak enampuluh derajat, dan mengeluarkan sepercik cahaya dalam apitannya. Jiwa yang tadinya seperti bayangan perlahan menampakkan wujud aslinya sedikit demi sedikit.

Badri tertawa ketika Ia mengelus tangan dan perutnya. Merasakan tekstur kulitnya kembali, lalu menggosoknya pelan. "Baiklah, ini saatnya masuk ...,"

Entah ada kekuatan dari mana, Obi tiba-tiba mencengkram bagian belakang kemeja Badri lalu menjatuhkannya.

*

Sementara itu, kondisi Dhani yang jauh lebih baik dari beberapa menit yang lalu berjalan menghampiri Eko. Bahu Eko yang tadi berdarah sudah dibalut dengan plester berukuran jumbo. Dhani bisa mendengar deru napasnya yang teratur, sedetik kemudian Eko melenguh.

"Ko ...," Dhani membantu Eko bersandar di batang pohon.

Mata Eko mengerjap, pandangannya yang buram perlahan menjadi terang. Langit biru, rumput dan pohon rindang, dan monumen besar di depannya. Eko menoleh ke sebelah kiri. Terdapat Risjaf yang sedang berbincang dengan Lastri dengan berbisik-bisik, telinganya menangkap kata 'bunuh' dan 'hancurkan tempat semedi'.

"Ko ..., lu nggak apa-apa, kan?"

Suara Dhani berhasil mengalihkan tatapan Eko. "Sudah berapa lama aku tertidur?" tanya Eko dengan suara lemah. Tidak menjawab pertanyaan Dhani.

"Entahlah," Dhani mengangkat bahu, "Sudah yang penting lu masih hidup aja gua sama Lastri udah seneng."

Eko meneguk air mineral botol pemberian Dhani. Rasa segar mengalir di sekujur tubuhnya. Sekarang giliran dia yang bingung, mengapa kakak sepupunya mendadak akrab begini? Padahal dahulu tidak begini.

Ah, mungkin Mas Dhani memang baik, cuma terlalu jaga citra diri di hadapanku, pikir Eko.

"Gua bukannya sok akrab sama lu. Tapi gua aslinya emang kayak gini," Dhani seolah bisa membaca pikiran Eko, "Gua ...," mulut Dhani mendadak kering. Ingatan peristiwa naas itu kembali, membuatnya mengutuk diri sendiri.

Eko menanti jawaban Dhani.

Lastri yang asik berdiskusi tentang dunia bisnis dengan Risjaf melirik pergerakan suaminya dengan ekor mata. Senyum sangat tipis tersungging dari bibir ranumnya.

Dhani menyerap oksigen sebanyak-banyaknya, persetan dengan perutnya yang seperti ditonjok pakai kayu. Sekarang atau tidak sama sekali? "Gua ... gua entah kenapa ...," Dhani menelan ludah, "... ngeliat lu tuh bikin gua inget sama tragedy naas saat lu masih kecil."

"Masa kecil? Memangnya aku kenapa, Mas?" Eko kini ikutan bingung.

"Iya, entah lu sadar atau kagak waktu itu. Liat kejadian itu, hati gua sesak banget. Nggak hanya sesak, otomatis bagian itu terekam ke dalam memori sehingga setiap ketemu lu gua refleks bersikap seperti itu."

Eko berusaha mencerna perkataan kakak sepupunya. Lagi-lagi Ia gagal dan menggelengkan kepalanya. "Aku masih bingung, Mas. Salahku apa dengan Om Hendrawan hingga beliau tewas?"

Dhani tersenyum sedih, "Begini, lu tau, kan, semua sumber rasa kepanasan lu itu?"

Eko mengangguk mantap.

"Lu kagak salah apa-apa kok, Ko," Dhani kemudian menceritakan kronologi bayangan malam naas terakhir Bapaknya serinci-rincinya tanpa tambahan cerita lain. Eko langsung terkesiap, sinar matanya redup. Eko benar-benar bersalah, tapi bibirnya terkunci.

Dhani menepuk bahu Eko. "Tapi gua sadar, buat apa kesal terus menerus? Toh, kematian Bokap bikin gua sadar kalau hidup ini cuma sementara. Kita harus manfaatin waktu sebaik-baiknya. Duh kenapa omongan gua jadi sok bijak gini?" Dhani nyengir selebar-lebarnya, menampakkan kerutan di daerah mata dan garis senyum yang jelas.

"Tetap saja aku salah, Mas," rasa bersalah Eko masih belum hilang, "Aku ... minta maaf sebesar-besarnya, telah membuat keluarga Mas sengsara selama ini," Ia mencium punggung tangan Dhani dan tenggelam di dalamnya lalu merapalkan maaf berkali-kali. "Maafkan Bapak juga, Mas." Punggung tangan Dhani mulai sedikit basah sehingga buru-buru Ia melepaskan tangannya dari Eko.

"Santailah, Ko. Istilahnya anak muda zaman sekarang itu apa ... selow. Iya, selow. Gua udah maafin lu dari lama, begitu juga dengan diri gua sendiri," jawab Dhani sembari mengedipkan salah satu matanya.

Eko tersenyum lega seakan salah satu beban terberat dalam hidupnya terangkat begitu saja. Mata Eko mendadak melebar, dia teringat sesuatu. "Aku baru ingat, Mas. Kelemahan kekuatan Bapak."

"Apa?" Dhani antusias sekaligus penasaran.

"Gelang Bapak ... iya .... Kalau gelang itu terlepas dari tangan Bapak. Maka dia tidak akan bisa melawan sama sekali," jawab Eko.

Risjaf yang di sebelahnya tiba-tiba menyambung pembicaraan, "Kenapa nggak kepikiran dari dulu sih? Nyesel aku baru sadar sekarang. Pantes aja dari dulu barang itu nempel melulu di tangan Bapak kayak perangko sama surat. Tahu dari mana kamu, Dek?"

"Bapak sering banget ngomong gelang-gelang ketika aku disiksa," Eko menjawab pertanyaan Risjaf, "Memuji gelang tersebut seakan itu adalah teman abadinya. Beliau juga bilang, bahwa tidak bisa hidup tanpa gelang tersebut." Eko membayangkan gelang kain Badri yang dihiasi empat manik batu sedimen warna-warni.

"Tapi percuma ...," Lastri ikut-ikutan nyambung, "Sekarang Badri sudah berada di dalam portal. Pasti sedang melaksanakan keinginannya. Kita tunggu saja dia keluar dari portal. Tunggu, ngomong-ngomong Obi di mana ya?"

Tepat saat itu, cahaya besar menyilaukan mata mereka berempat, membuatnya mendekati sumber tersebut. Rana yang barusan datang langsung mengambil posisi di samping Eko. Pintu besar itu mengeluarkan sosok besar dengan tubuh lebam dan banyak sabetan pisau. Sosok itu seperti berada di antara hidup dan mati.

Semuanya menutup mulut ketika mengetahui sosok tersebut.

Satu jam sebelum kejadian tadi ...

Sekuat-kuatnya Obi mendorong Badrian sampai terjatuh, dia tidak memiliki ilmu bela diri mumpuni seperti tiga sahabatnya. Terbesit sedikit penyesalan mengapa Ia tidak mengiyakan ajakan Tio berlatih krav maga di gym terdekat waktu masih kuliah di New York?

Saat ini, Obi melawan Badri sebisa mungkin. Fisik Badri memang sudah utuh, itu berarti kekuatannya makin dahsyat. Pria tua itu tidak henti-hentinya menghalau semua serangan Obi dari berbagai sisi. Sebaliknya, Ia menendang tulang rusuk, memukul perut, dan memukul dagu. Terakhir, lelaki itu menekel kaki Obi hingga Ia jatuh menimbulkan debuman keras.

Semua tubuh Obi terasa hancur. Dia sungguh yakin, pasti ada bagian tulangnya yang patah. Jam saku dan pisau pemberian Satya terjatuh.

"Masih tidak menyerah juga kamu rupanya," Badrian tersenyum puas sambil menggosokkan tangan.

Obi berjalan terseok-seok, mengabaikan kalimat Badrian. Tangannya berusaha meraih pisau belati. Sebelum mencapai pisau belati dengan jarak beberapa senti meter, Badrian menginjak pergelangan tangan Obi dengan kakinya yang masih beralas sepatu boots. Teriakan Obi makin melolong.

"Benda yang menarik," Badri mengambil pisau belati, lalu meraba bagian ujung tajam pisau bermotif ombak dengan jemarinya, "Bapakmu yang kere itu nggak mungkin sanggup membeli pisau mahal ini, kan?" Obi melolong lagi akibat injakannya makin kuat.

"Itu ...," Obi berusaha menjawab, "Urgh ... bukan punyamu, Kek."

"Apa yang sudah ada di tanganku adalah milikku, anak muda?!" Badri tersinggung.

Badri memasukkan pisau belati itu di lipatan kemejanya, melepaskan injakannya, dan melaksanakan kembali ritualnya yang tertunda. Kali ini, matanya terpejam sangat kuat akibat gerbang waktu di depannya silih berganti bagaikan film yang di fast forward dengan kecepatan dua kali.

Sambil memegang pinggang kanannya yang nyeri, Obi akhirnya bisa menggapai jam sakunya. Obi mengandalkan keseimbangan kakinya untuk bisa berdiri tegak. Senyumnya mengembang karena Badri kesulitan menembus gerbang waktu.

"Walau ... kamu bisa mengembalikan kekuatan dari titik persatuan. Tetapi kamu lupa ... satu ... hal," suara Obi menggema hingga membuat Badri menoleh dengan tatapan murka.

"Ini." Obi memamerkan jam saku sambil mengayunkannya, "Ini adalah alat pengendalinya. Tanpa ini, kamu nggak bakal bisa masuk ke gerbang waktu. Selain ... pengendali, alat ini juga menentukan ... waktu di mana kamu ... bisa bertahan di dalam gerbang waktu."

Badri menggrtakkan giginya, Ia mengeluarkan belati tadi. Serangan itu kembali dimulai. Obi mengandalkan matanya untuk melihat pergerakan belatinya Badri, sehingga Ia bisa menghindar dari todongan pisau. Pisau belati itu mengenai kedua lengannya, tetapi Badri masih tidak bisa menggapai jam saku. Itulah yang membuat Obi tetap santai walau terluka.

Hal ini membangkitkan energi Obi. "Percuma, Kek. Alat ini sudah rusak, Kakek dan aku tidak bisa keluar dari sini," ejeknya sambil menghindar ke kanan ketika Badri mengarahkan pisaunya ke sisi kiri lelaki itu.

Rasa semangat Obi makin meninggi walau Badri masih belum berhenti menyerangnya. "Keserakahan tidak akan pernah menentramkanmu, Kek."

"Tau apa kamu anak muda, ha?!" Badri menodong pisau belatinya tepat di wajah Obi pada saat berhenti.

"Keserakahan Kakeklah yang membuat kami semua sengsara. Buat apa Kakek membunuh Kakek Hendrawan? Buat apa penderitaan Bapak yang menahun itu bisa terjadi? Apa Kakek tidak mau keabadian yang tenang ketika waktunya tiba? Kumohon, berhentilah, maafkanlah dirimu sendiri," pinta Obi.

Kilat mata Badri makin redup, menandakan bahwa Ia ragu. Todongan pisaunya perlahan turun. "Aku ...," lirihnya. Serangan berhenti sejenak.

Emosi Badri mendadak tersulut ketika bayangan Hendrawan muncul di depan Obi. "Keparat, kau, Hen," umpatnya. Kali ini, serangan Badri makin bertubi-tubi.

Serangan itu membuat Obi jatuh telentang. Badrian menindih tubuh Obi dengan posisi belati yang siap menikam dada kiri. Obi menahannya sebisa mungkin dengan kedua tangannya.

"Mati ... kau, keparat, Hen." Badri mendorong belati itu lebih kuat. Ujung belati sudah menyentuh dada kiri Obi.

Obi memejamkan mata, merapalkan doa dan keyakinan tinggi. Dia merasa sudah berhasil menarik tangan Badri. " ... satukanlah dunia ini agar tetap tentram walau badai terus menghadang." Suaranya menggema berkali-kali hingga merasa ujung pisaunya menjauh. Sekarang posisi pisau belatinya berada di tengah-tengah.

Gerbang waktu di hadapan mereka menunjukkan sebuah gambar yang berhenti.

Saat itu juga tarikan tangan Obi melemah.

Hal ajaib berikutnya adalah belatinya berbalik menodong ke Badri sendiri.

Pria tua itu berdiri dan berlari ke sana kemari untuk menghalau tangannya dari tusukan belati. Tepat ketika sampai di gerbang waktu, pisau belati berhasil tertancap di dada kiri Badri. Tangan pria tua itu baru bisa bebas dari benda tajam berukuran kecil tersebut.

Badri terjatuh dalam gerbang waktu.

Obi memeriksa jam sakunya, setengah bagian jam saku berubah warna menjadi kuning. Ia berjalan lemah di hadapan gerbang waktu, dan tanpa sadar tangannya keluar dan menggapai tangan Dhani lalu menyeretnya masuk.

Gerbang waktu tertutup sempurna, menyisakan dua orang doopelganger di tengah kesunyian ruang transisi.

Bersambung

•••

A/N:
Episode depan Fix tamat gaessss. YEAYYYYY YA TUHAN AKHIRNYA.

3000++ words
Happy reading!!

Rana lagi songong mode on waktu liburan hahaha

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro