Episode - 32: Sentralisasi [END]

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

          
"Gua ..."

Suara gema Dhani langsung dipotong Obi, "Ngomongnya nanti aja, Dhan. Mau fisik kita kembali seperti semula nggak?"

"Ya jelas mau dong." Dhani menjawab dengan sekali tarik napas.

"Ya udah mukanya nggak usah bingung gitu, Dhan."

Dhani masih menebarkan pandangan pada ruangan serba putih yang seakan tidak ada ujungnya. Baru bergerak selangkah, Obi sudah menarik tangan Dhani. "Ih apaan sih, Bi. Aku, kan, mau lihat-lihat?" protes Dhani.

"Nanti kalau tersesat gimana, bingung mau balik pusing ntar. Udah kakek-kakek juga," balas Obi dengan gerutuan.

Dhani dengan wajah cemberutnya berjalan sedikit menjauh dari Obi. Lelaki tua itu menggerakkan mulutnya ke berbagai arah. Gerakannya seakan mengucapkan sumpah serapah atas kekesalannya. Padahal dia cuma ingin berjalan-jalan sejenak. Dhani melirik Obi yang sudah memejamkan mata dan mengatupkan tangannya.

"Idih sok serius amat, belum tentu ngefek," gerutu Dhani skeptis. Namun, pada akhirnya Ia mengikuti gerakan Obi tadi.

Obi menajamkan konsentrasi sembari menaikkan sedikit katupan tangannya menuju dada. Dia sudah merasakan Dhani mengikuti gerakannya. Lelaki itu mengikuti gerakan yang sempat diperagakan Badrian hingga sepercik cahaya kuning keluar dari apitan telapak tangan. Cahaya itu makin lama makin besar, begitu juga dengan kedua tangan Obi dan Dhani yang terbuka lebar.

Suara keduanya lalu menggema. "Kembalikan jiwa yang tertukar ini ke tubuh kami masing-masing sesuai momen yang kami alami saat ini. Permainan pun sudah berakhir ... satukanlah dunia ini agar tetap tentram walau badai terus menghadang."

Warna kuning keemasan dalam jam saku Obi perlahan muncul seluruhnya. Batu Palamea mengeluarkan asap hijau yang menambah warna dalam percikan cahaya tersebut. Obi dan Dhani saling berhadapan, lalu melempar cahaya tersebut, membiarkannya menghisap tubuh keduanya selama beberapa menit.

Cahaya kuning tersebut memudar, menyisakan dua manusia dengan mata terpejam. Obi membuka matanya terlebih dahulu, memeriksa seluruh tubuhnya. Terakhir, Ia meraba bagian belakang pundaknya, merasakan tekstur tanda lahirnya. Hal yang sama juga dilakukan oleh Dhani, seluruh tubuhya tidak mudah encok dan bikin demam seperti tahun-tahun sebelumnya.

Dhani menatap dirinya di cermin sekitar. "Eh buset, kerutan wajah gue berkurang," komentarnya sambil mengusap dagu.

Jam saku Obi kembali ke warna semula, yaitu emas. Kondisinya bahkan jauh lebih rapi dan bersih. Pemutar waktunya sudah berjalan dengan normal. Obi memasukkannya lagi dibalik kemejanya.

"Bi, lihat deh, ya ampun gue menua dengan anggun," Dhani mengoyak dan mencubit pipinya.

Obi merapalkan kata sabar sebanyak mungkin. Lebih baik Ia tidak menanggapi karena sudah waktunya untuk keluar dari ruang transisi. Obi tidak sabar untuk menghabiskan waktu bersama keluarganya dengan normal. Jemarinya masih berusaha menggapai tekstur riak air pintu gerbang, namun tidak ditemukannya sama sekali.

"Selamat ... kalian telah berhasil menyelesaikan permainan ini dengan baik."

Obi dan Dhani saling memandang dalam diam. Mereka menerka siapa gerangan suara lembut nan manis tersebut? Karena tidak mungkin ada seorang lagi yang masuk ke sini.

"Ah, kemunculan saya sepertinya terlalu mengejutkan kalian," suara itu kembali muncul.

Cahaya putih menyilaukan mata mereka. Namun, dibalik itu semua, suara perempuan itu menampilkan wujudnya. Dhani tidak berkedip sama sekali ketika menelisik penampilan perempuan itu dari ujung rambut hingga mata kaki. Sedangkan Obi juga terpana tapi lebih menundukkan kepala sebagai tanda hormat.

Gaun putihnya yang sampai selutut berkibar mengikuti langkahnya. Ketukan sepatu hak tinggi yang berwarna putih mengisi suara. Terakhir mahkota putih yang menghiasi rambut coklatnya yang disanggul tinggi makin mengukuhkan kecantikannya yang abadi.

"Saya Putri Bulan." Perempuan itu memperkenalkan diri dengan cara menaruh tangannya yang berhias aksesori warna perak di dadanya. Pejaman matanya bahkan tidak melunturkan kecantikannya.

Obi dan Dhani membalasnya dengan hal serupa, lagi-lagi tanpa suara.

"Saya ke sini hanya menyampaikan satu dua hal saja, sekaligus mengantarkan kalian keluar dari sini," Putri Bulan membuka pembicaraan,

"Dongeng Rana kenyataan rupanya," gumam Obi.

"Yang dijelaskan oleh kekasihmu itu memang bukan dongeng. Itu cerita nyata. Kakek buyut kalian itu akrab denganku, makanya saya mempercayakan batu-batu padanya dengan keturunannya," Putri Bulan menanggapi perkataan Obi sembari tangannya memercikkan cahaya putih, "Empat batu yang menjadi pintu gerbang ini memang milikku dan ketiga kakakku. Baiklah, cukup basa-basinya, sekarang saya mau memberi kalian pesan." Putri Bulan memajukan dua jemari sebagai isyarat Obi dan Dhani untuk mendekat.

"Pandora memang anonim yang hebat. Tidak salah dia mengirimkan bala bantuan untuk membantu menyelesaikan drama keluarga yang hampir buntu ini," puji Putri Bulan ketika Ia berbisik tepat di telinga Obi, "Dan kamu anak yang cerdas. Kamu jaga batu-batuku dengan baik. Berikan batu putihku kembali serta batu svadisthana dan batu Manakara pada tiga sahabatmu itu. Mereka jauh lebih membutuhkannya dari pada kamu. Oh, tenang saja, batu Palamea memang milikmu."

Putri Bulan beralih pada Dhani. "Jaga keluargamu baik-baik. ," bisiknya.

"Baiklah ...," Putri Bulan kembali pada posisi semula, "Sekarang saatnya kalian kembali ke masa kalian. Jangan lupa, jaga amanahku dengan baik."

Tangan Putri Bulan mengeluarkan gemercik cahaya putih lalu mengarahkan pada Obi dan Dhani yang sedang memejamkan mata, terserap di dalamnya. Dalam waktu lima detik, mereka berdua telah lenyap di hadapan sang Putri.

"Semoga berhasil ...." Putri Bulan melambaikan tangan pelan.

*

Di luar pintu portal, para orang tua dan Rana masih menutup mulut. Bau anyir yang berasal dari tubuh Badri yang telentang. Lastri melangkah mundur, menghindar diri sebisa mungkin. Sekarang tersisa Rana, Risjaf dan Eko.

"Ko, gelangnya, cabut, sekarang." Suara Risjaf terdengar seperti perintah bukan ajakan.

Eko bergeming.

"Ko ...," Risjaf tidak sabar. Dia mengguncang kedua bahu Eko kencang.

Eko malah berjalan mundur. Dia masih tidak sanggup melihat Bapaknya yang terbujur kaku dengan pisau belati menancap dada kirinya, apalagi sekujur tubuhnya bergetar dan dari bibirnya mengeluarkan busa putih. Bau anyir itu semakin menyengat tatkala cairan merah yang keluar dari punggung Badri menyebar ke segala arah.

"Tapi ... tapi ...," tubuh Eko bergetar.

"Ko, cuma kamu yang bisa. Bapak sudah pergi, tetapi ada yang menahannya. Tolong, Ko ....," Risjaf memegang bahu Eko, "Ini saatnya kita melepaskan."

"Pakai ini, Om." Rana menyodorkan sarung tangan karet putih pada Eko.

Eko menatap Risjaf dan Rana satu persatu. Perlahan, dengan perasaan ragu dia menerima pemberian Rana. Eko sedang memasang sarung tangannya ketika Rana berbicara, "Teman-teman dari tim ambulans dan polsek sebentar lagi datang. Begitu Om sudah menghancurkan gelangnya, susul kami segera, ya?"

Eko tersenyum ragu tetapi kepalanya tetap mengangguk.

"Lu pasti bisa, Ko." Risjaf menepuk pelan bahu Adiknya sebelum berpamitan.

Ketika punggung Rana dan Risjaf menghilang, Eko perlahan melangkah maju, sambil merapalkan kata aku bisa. Kepingan-kepingan masa kecil kembali menghiasi memorinya, tetapi Ia tak gentar. Kakinya yang dibalut sepatu sandal melewati cairan merah, lalu berhenti di samping kiri tubuh Badrian.

Eko berjongkok, menahan napas. Ia mengeluarkan pisau serbaguna di balik saku celananya. Tangan kiri Eko menahan pergelangan tangan Badri, sedangkan tangan kanannya berusaha memutus tali gelang. Berhasil, tali gelangnya putus dan sudah berada dalam genggaman tangan. Lelaki itu berdiri dan beringsut menjauh untuk mengambil oksigen sebanyak-banyaknya.

Badri menoleh sangat pelan pada putranya, melempar senyum lebar nan sinis.

Eko menghela napas, lelaki itu duduk bersila dan mengeluarkan bagian pisau untuk memotong tali yang merekatkan batu-batu. Setelah terputus sempurna, keberanian Eko makin terpupuk dan keluar satu persatu. "Selamat tinggal ... Bapak," desisnya.

Dengan palu kecil, lelaki berusia lebih dari limapuluh tahun tersebut menggunakan bagian palu mini dari pisau serbagunanya. Batu sedimen itu hancur satu persatu meninggalkan serpihan. Reaksinya adalah kejang-kejang Badri yang berkurang. Tiba di batu terakhir, Eko makin bersemangat menghancurkannya hingga titik terakhir serpihan.

Badri benar-benar menghembuskan napas terakhir.

Saat itulah Eko berlari ke toilet, membersihkan noda merah di sepatu sandalnya sesampainya di salah satu bilik. Air matanya tanpa sadar tumpah perlahan-lahan ketika menggosok bagian tapaknya dengan sabun yang tersedia. Hasilnya tidak terlalu bersih. Namun, Eko sudah benar-benar kehilangan tenaga untuk melakukan apa pun saat ini.

Bala bantuan yang terdiri dari polsek dan ambulans telah tiba. Beberapa personil mereka ada yang memotret, ada yang mengambil beberapa sampel dan membawa barang bukti. Eko berjalan ke arah tim medis untuk minta diobati ulang. Salah satu polisi mendekatinya untuk keterangan saksi, dan Eko menjawab sejujurnya tanpa ada yang ditutupi sama sekali. Diam-diam mata Eko mengawasi polisi itu agar tidak melihat ke arah alas kaki.

Lastri menyusul beberapa saat kemudian ke tim medis, mengajaknya berbincang hal-hal ringan setelah salah seorang polisi itu pergi.

Sementara itu, di daerah Menteng yang merupakan tempat tinggal Badrian. Rana melewati beberapa ruangan yang sangat luas nan lebar seperti ruang televisi dan ruang makan yang panjang. Semua perabotan didominasi kayu jati warna coklat tua. Ruang semedi terletak di lantai basement rumah ini.

"Di mana tempat semedinya, Om?" tanya Rana mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Bau amis bercampur wangi bunga-bunga mendominasi.

"Di sana," tunjuk Risjaf ke sebelah kanan yaitu area panggung kecil.

PRANG!

PRANG!

Rana memecahkan kendi dan gelas. Risjaf menyiram cairan entah apa setelah membuang bunga-bunga untuk menetralkan bau wangi, lalu menghancurkan lidi dupa. Puas menghancurkan seluruh barang-barang di sini, mereka berjalan ke luar. Risjaf tiba-tiba menahan langkah Rana di ambang pintu.

"Tunggu, Dek. Kita lupa sesuatu."

Rana mengangkat alis. "Cepetan, Om,. Aku ditungguin temenku soale."

"Nggak lama, kok. Ayo!" ajak Risjaf. Rana mengikuti langkah Bapak-bapak seumuran Ayah kakak sepupunya ini menuju dapur. Ternyata Ia mengeluarkan satu jerigen cairan yang baunya sangat Rana kenal.

"Ini bensin solar apa pertalite, Om?" tanya Rana menebak.

"Solar," jawab Risjaf pendek. "Oh, ya. Masih ada satu jerigen lagi di lemari sebelah kalau mau."

"Beres, Om." Rana membuka lemari yang dimaksud.

Risjaf dan Rana kembali ke ruang semedi lalu menyiram seluruh ruangan dengan minyak diesel. Baunya--yang jauh lebih menyengat--menguasai ruangan. Selesai menyiram, mereka berdua kembali ke posisi ambang pintu.

"Selamat tinggal ... Bapak." Risjaf mengeluarkan korek api dari saku kemeja, menyalakannya, lalu melemparkannya ke sembarang arah.

Kobaran warna merah dengan cepat menjalar ke ruangan. Risjaf buru-buru menarik lengan Rana. Sesampainya di luar rumah elite Badri, kobaran jago merah sudah menyebar di ruangan bawah. Beruntung Risjaf sudah memperingatkan para pelayan dan penjaga rumah untuk segera ke luar rumah sehingga tidak menimbulkan korban jiwa.

Ponsel Rana bergetar di saku celana. Tanpa melihat siapa penelepon, Ia mengangkatnya. "Ada apa, Om?"

"Ini Lastri," jawab suara lembut nan tegas di sana.

Rasa cemas melingkupi wanita itu. "Om Eko baik-baik saja? Dia nggak dituduh macam-macam sama rekanku? Kalau iya, aku bakal pites semuanya satu-satu." Ia mengepalkan tangannya.

"Om kamu baik-baik saja, dia minta pulang ke apartment temannya Obi mau istirahat. Dek Ran, kamu bisa kembali ke monumen? Saya mau bicara sama kamu."

"Bisa, bisa. Saya segera ke sana."

"Baik saya tunggu ya, Dek."

Rana memutus sambungan. "Om, saya kembali ke monumen dulu. Bu Lastri sepertinya minta ditemani."

"Mau bareng?" tawar Om Risjaf, "Kebetulan daerah kantor saya lumayan dekat dari Monumen."

Rana menggeleng. "Nggak, Om. Saya pesan OjekRide saja." Rana mengutak-atik ponselnya sejenak. "Mari, Om."

Risjaf membalas dengan anggukan, sambil mengamati punggung Rana yang berjalan menjauh dari rumah elite Badri yang masih dilahap si jago merah. Risjaf mengeluarkan ponsel dan menghubungi pemadam kebakaran terdekat, lalu memasuki mobilnya.

*

"Dek, duduk sini." Lastri menepuk kursi taman di sebelahnya. Rana menuruti keinginan wanita kembaran beda generasinya tersebut.

"Tumben Ibu ngajak saya ke sini. Ibu nggak ikut ke klinik, kah?" Rana membuka pembicaraan terlebih dahulu.

Lastri tersenyum simpul, membiarkan semilir angin tipis menerpa wajahnya sebelum berbicara, "Pertama, panggil saya Lastri, saya masih belum tua-tua banget. Kedua, kamu mau tau kenapa kita mukanya sama tapi nggak ada hubungan saudara sama sekali?" Ia mengabaikan pertanyaan basa-basi Rana.

Rana mengendikkan bahu.

Area Monumen Pancasila Sakti yang tadinya ramai dan heboh dengan lalu lalang polisi dan medis kini menjadi sepi. Lastri memang belum sempat pulang karena menunggu kedatangan suaminya. Sebentar senyum, sebentar bibirnya nggak melengkung. Menghela napas, Ia menjawab, "Karena kita adalah bagian dari sumpah serapahnya Dhani, Dek."

"Ha?" Rana rasanya ingin tertawa, "Sumpah gimana sih, Las?"

Lastri menoleh ke lawan bicara. "Waktu aku hamil Benny dulu, dia pernah marah banget sama Eko," Lastri menahan senyum karena muka marahnya Dhani jatuhnya lucu, "Dia sampai bilang kalau Eko punya anak nanti bakalan mirip dengannya sampai seakar-akarnya, walau jalan hidupnya berbeda sekali pun."

Rana mencerna semuanya satu persatu. Sampai pada satu titik dia berkata, "Tuhan mendengar semua doanya Mas Dhani rupanya."

"Bukan itu aja ...," ujar Lastri, "Aku rasa ini masih ada hubungannya dengan titik persatuan. Dhani pernah cerita juga kalau dia sempat bermimpi ketemu Om Hendrawan."

Rana mendekat, ini pembahasan menarik. "Kira-kira seperti apa mimpinya? Apakah lebih menarik dari mimpi ketemu beruang laut?"

Lastri kontan menyembur tawanya, walau ritmenya halus. "Menurut Dhani, Om Hendrawan itu pernah mengalami titik persatuan juga. Beliau berharap kalau Dhani semua keturunan keluarga Prasetja baik-baik saja dan jauhkan dari aura negatif, begitu."

Rana merengangkan tangannya ke atas, menimbulkan bunyi krik pada pinggang dan lengan. "Tapi aku cinta sama Kak Bi beneran tulus, kok. Bukan karena efek dari titik persatuan ini atau apalah jenisnya itu."

"Aku tahu kok," Lastri tersenyum mengelus bahu Rana, "Terlihat kok dari caramu mendekatinya. Kalian pokoknya harus saling kompromi, banyak-banyak terbuka. Biar makin mengenal satu sama lain juga." Rana mendengarkan semua penjelasan itu seperti mendapat petuah dari Ibunya.

Angin segar sepertinya lagi senang memeluk Rana di saat cuaca Jakarta yang panas dan lebih banyak memproduksi keringat. "Jelas dong, Las. Aku sama Kak Bi memang lagi saling mengenal lebih dalam sebelum melanjutkan ke jenjang berikutnya."

"Aku suka banget sama kepercayaan dirimu, Dek." Lastri memang benar-benar takjub. "Semoga semuanya terkabul, ya, sayang."

"Hoho itu sangat pasti dong, Las." Rana mengangkat alis naik turun dengan cepat.

Sebuah cahaya sangat besar berpendar menyinari mereka berdua. Rana dan Lastri buru-buru menutup mata. "Duh ini cahaya gangguin aja. Nggak atau aja ini mata sensitif, rawan berasap tau," gerutu Rana.

BRUK!

"Aw, kepala gue," rintih seseorang memegang kepalanya karena kepalanya terkena gundukan tanah yang dilapisi rumput hijau, "Salah pendaratan abis sialan," gerutunya.

Lelaki satunya, yang melakukan pendaratan mulus sudah duduk terlebih dahulu. "Makanya, Dhan, pas di lorong ajaib jangan kebanyakan gaya."  Ia membantu Dhani duduk dengan baik dan benar.

Rana dan Lastri yang mendengar percakapan tersebut langsung berjalan menuju posisi Dhani dan Obi yang berbeda dua kursi. Lastri dan Dhani saling berpelukan satu sama lain, Obi dan Rana saling menggandeng kedua tangan masing-masing seraya menatap mesra.

Genggaman tangan Rana menguat. "Semua sudah berakhir, Kak Bi." Rana juga senang karena Obi sudah kembali ke tubuhnya dengan semula. Lelaki itu menunjukkan pundaknya yang ada tanda lahir. Apalagi mukanya disesuaikan dengan momen saat ini, sehingga badan Obi tetap badan berumur duapuluh tujuh tahun.

"Iya, Dek," Obi menjawab mantap, "Keluargaku akhirnya bisa bersatu lagi dengan tenang. Tidak ada intervensi apapun."

Rana menatap Obi lekat-lekat. "Semoga kita juga bisa bersatu."

Obi malah tersenyum dan mengangguk. "Aamiin aamiin."

Tangan mereka kemudian saling bertaut di sela-sela jari.

Sementara itu, Dhani dan Lastri masih berpelukan erat. Tanpa kata, hanya mereka yang dapat merasakan gejolak hati yang selalu ditunggu-tunggu sejak lama. Dhani melepas pelukan tanpa memisahkan tangannya dari pinggang Lastri. "Apakah rencana kita akan terlaksana?" bisik Dhani.

"Kalau tidak ada halangan, tiga bulan dari sekarang kita bisa berangkat," jawab Lastri dengan bisikan juga.

Tiga bulan kemudian ...

Sejak kematian Badri, situasi keluarga Prasetja makin damai dan tidak mengalami gangguan aneh dan ajaib dengan model apa pun. Mereka kadang suka saling menghubungi satu sama lain, entah itu bertukar kabar atau berdiskusi. Keluarga adalah tempat di mana sentral dari segala hal, walau berbeda-beda.

Keluarga Eko sudah berkumpul kembali ke Surabaya. Obi sedang menyelesaikan disertasi sekaligus mempersiapkan beberapa hal sebelum kembali ke New York. Nina sedang fokus sekolah, sesekali menceritakan tentang kehidupan sekolahnya dengan tenang. Eko sebentar lagi akan menjadi senior manager di perusahaannya, dan Diana yang sebentar lagi akan naik pangkat menjadi lector kepala.

Begitu juga dengan keluarga Risjaf, istri mau pun anak mereka sudah semakin dekat dari hari ke hari.

Situasi berbeda tampak dari keluarga Dhani ...

Pelataran bandara Soekarno-Hatta terminal 3 hari ini dilalui oleh banyak orang yang keluar masuk membawa barang. Benny membantu mendorong trolli bermuatan koper Dhani dan Lastri. Nisa sendiri berbincang hal-hal ringan dengan Lastri, sesekali Dhani menimpali. Nisa sedikit menahan ringisan ketika dua sejoli ini asyik membicarakan tentang hubungan Obi dan Rana. Nisa sudah sering meyakinkan diri agar bisa menerima hubungan mereka berdua. Namun, perasaaannya masih suka berkata lain.

"Semua sudah siap, Pak?" tanya Benny saat di depan pintu keberangkatan.

"Siap dong," jawab Dhani semangat.

"Bu," Benny memegang kedua tangan Lastri, "Ibu beneran nih menetap di Amsterdam? Nggak akan balik lagi?"

Lastri mengelus rambut hitam legam nan tebal milik Benny. Ia mengangguk, "Kamu diajakin ke Belanda nggak mau. Padahal Ibu sama Bapak memang sudah menyusun rencana kepergian ini jika bertemu kamu. Kita akan menjadi keluarga utuh di sana," ujarnya menggoda.

"Kan, Benny nggak bisa ninggalin kerjaan di Indonesia, Bu." Benny berkata sedih.

"Sudah, nggak apa-apa, kok. Nanti, kan, Benny bisa nyusul kalau lagi nggak padat kerjaan atau bisa video call," balas Lastri tenang.

"Ah masa cuma gara-gara kerjaan?" Dhani tersenyum jail dan memberi kode pada Nisa yang tersenyum malu-malu. Benny menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"Kan ... kan ketahuan deh," goda Dhani, "Nggak usah malu-malu gitu, Nak."

Nisa malah terkesiap. "Ben ... jadi ..."

"Buruan ngomong dah. Nanti keburu ilang lagi." Dhani menepuk bahu Benny lalu tertawa lebar. "Yuk, sayang, nanti kita terlambat," ajaknya pada Lastri.

Lastri membisikkan sesuatu pada Nisa. "Semoga kamu beruntung di manapun dan kapan pun, Dek. Benny anak yang baik, kalau kalian memang benar-benar jodoh pasti dipermudah kok."

"Terima kasih, Tante." Nisa memeluk ibu kandung Benny, sungguh erat dan hangat. Wanita itu menyalami dua sejoli itu, diikuti Benny.

Punggung Lastri dan Dhani menghilang dibalik pintu keberangkatan. Nisa dan Benny berjalan pelan meninggalkan pelataran Bandara.

"Jadi bener, Mas Ben ... cinta sama saya?" Nisa membuka suara pada suasana hening di tengah keramaian ini.

Benny tidak langsung menjawab. "Apa yang dikatakan Bapak tadi ... ya ... betul, Dek." Lelaki itu mengangguk perlahan.

Obrolan berlanjut setelah selesai menyeberang jalan ke area parkir mobil. "Saya tidak akan memaksa kamu untuk menerima cinta saya, Dek. Saya tahu masih ada sisa rasa dengan Obi di hatimu." Benny menahan sesak, walau ada kelegaan di sana.

"Maaf, Mas," cicit Nisa.

Melihat mata Nisa yang berkaca-kaca, Benny buru-buru menjawab. "Hei, hei, Dek. Kamu ... nggak usah menangis begitu. Saya nggak apa-apa, kok, seriusan." Jemari Benny perlahan menghapus air mata Nisa.

"Saya yang jahat sama Mas," aku Nisa, "Saya menyakiti perasaan Mas."

Jemari Benny menyingkirkan anak rambut Nisa yang mengganggu penglihatan wanita itu. "Saya juga sedih, Nis. Tapi, ya, pada kenyataannya seperti ini, kan. Lebih baik, saya mendekati kamu lagi ketika kamu benar-benar sudah berdamai dengan dirimu sendiri, dari pada kita nanti ujung-ujungnya saling menyakiti." Benny melempar senyum tertulus yang Ia punya.

Bibir Nisa menyunggingkan senyum tipis. "Terima kasih, Mas."

Benny dan Nisa menaiki kendaraan menuju apartment Nira. Mereka berdua harus kembali ke Surabaya besok karena pekerjaan menanti. Nisa melirik Benny yang menyetir dalam diam. Mulai sekarang, Nisa akan membiarkan semua seperti air yang mengalir dan lebih fokus pada pekerjaan dan program spesialisnya.

"Aku harus bisa berdamai dengan diriku, pasti bisa," gumam Nisa pada dirinya sendiri.

TAMAT

•••

A/N:
Ya Tuhan akhirnya yaaaaa cerita ini ... duh. Eh masih ada epilog sih wkwk. Stay tune for the epilog ya gaes.

3000++ words
Happy Reading!!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro