38. Kegalauan Haryo

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Udah Minggu lagi. Sebelum sok sibuk, update dulu. Siapa yang menanti? Silakan kasih banyakkkk jejak biar authornya hepi.

💕💕💕💕

Haryo termenung seorang diri di ruangannya. Dia menatap kosong pada uang kertas yang dibungkus amplop putih. Bungkusan itu berulang kali membuat Haryo meneguk air liurnya sendiri. Rasa lapar akan jabatan, kehormatan, pangkat, dan hidup yang nyaman sebagai kaum priyayi yang mempunyai harta berlimpah bergejolak di dalam diri.

Peperangan baik dan buruk berkecamuk di batin Haryo. Hati nuraninya berseberangan dengan nafsu keduniawiannya. Ya, Haryo hanyalah manusia biasa. Harta dan takhta adalah dua hal yang menjadi ambisinya sejak dulu. Bila dia mempunyai uang dan kedudukan, niscaya wanita akan selalu mengikuti. Itu yang dia yakini.

Namun, ketika Padmini selalu mengingatkannya, Haryo mulai banyak berpikir. Apakah memang dia adalah pemimpin yang baik? Selama ini justru, dia senang dilayani alih-alih melayani rakyat yang dia pimpin. Tapi, walau kebijakannya pun membuat kawula alit menderita, Haryo seolah menutup mata dan telinga.

Lelaki itu masih terdiam. Batinnya semakin bergolak. Haryo, ambil uang itu! Kapan lagi kamu mendapat uang sebanyak itu? Bujukan setan itu membuat Haryo tergoda.

Suara lain kemudian menyela. Haryo, eling … Ni ndak suka kamu jadi pejabat korup! Ingat dosa! Dan, kamu bisa dihukum seperti romonya Ni.

Haryo menggigit bibir bawah. Dia meremas ujung sandaran lengan kursi seolah ingin menekan keinginannya akan kekayaan dan kekuasaan.

Dengan uang ini, jalan menuju tujuanmu menjadi Bupati Bojalali akan tercapai. Dan, masalah keuangan rumah tanggamu juga akan terselesaikan. Masa kamu melewatkan kesempatan ini?

Haryo semakin bimbang. Suara jahat itu semakin keras menggaung di telinga. Namun, pada akhirnya tangan Haryo yang bergetar terulur. Dia membungkuk, menjangkau amplop putih yang berisi uang haram tersebut. Tak mengindahkan nurani yang semakin lama tenggelam dalam gelak tawa suara setan.

***
Saat makan malam kali ini, Haryo lebih banyak diam. Ekspresinya terlihat tertekan. Walau laki-laki itu banyak pekerjaan, tetapi jarang menampilkan wajah kusut atau lelah. Raganya memang ada di rumah, tapi pikirannya melayang-layang.

Menurut hematnya, Haryo tidak perlu terjebak dengan tindakan korup itu bila mengambil Mirah sebagai istri. Soemirah … mas rara penerus usaha batik itu, mempunyai kekayaan yang setara dengan pengusaha pabrik es Tionghoa di Sala. Bila Haryo memperistri Mirah yang nantinya menjadi mbok mas'e, dia akan menjadi mas nganten yang hidup sejahtera dari kekayaan sang istri, tanpa harus menerima uang suap. Setidaknya hidupnya akan lebih mulus. Harta tak perlu dipikirkan. Takhta pun Haryo yakin akan mendapatkannya karena jaringan Mirah yang luas dapat membantu mewujudkan keinginan Ibu Kemuning.

"Kangmas, apa ada yang Kangmas risaukan? Ni amati sejak semalam, Kangmas tampak banyak pikiran." Padmini akhirnya tak bisa lagi menahan lidahnya untuk tidak bertanya. Alis yang sering bertaut dan embusan napas kasar yang sering terdengar dari mulut Haryo itu juga mengusiknya.

Haryo menghentikan kunyahan. Lamunannya buyar begitu saja. Dia tak lekas menjawab Padmini. Kalau dulu, Haryo akan meninggikan suara setiap ada orang yang bertanya di saat ada masalah di pekerjaannya. Tapi, dia sekarang hanya membisu karena didera rasa bersalah.

Bagaimana bisa dia berpikir tentang permohonan Romo Soeta? Tapi, menerima suap pun riskan bila tercium oleh orang-orang seperti Damar. Kalau tidak menjadi 'orang'-nya asisten residen, bisa jadi rekomendasi menjadi Bupati tidak ia kantongi. Dan, kalau jalan menentang Meneer Van Gaal yang dia pilih, Mirah bisa menjadi penyelamatnya karena orang tua angkat gadis itu merupakan sahabat Residen Soerakarta yang juga berteman dengan Sinuhun.

Haryo masih menatap kosong belanga tanah liat kecil berisi sayur bobor bayam dan sambal teri di sampingnya. Biasanya dia akan lahap makan gabungan dua menu ini, tapi hari ini nafsu makannya hilang, karena kenyang memikirkan keputusan yang akan dia ambil nantinya.

"Kangmas?" Kembali suara Padmini menyadarkannya.

Desahan berat terdengar kemudian. Lagi-lagi, Haryo mendengkus pelan. Dia merasa lemah sekali seolah berlindung pada wanita. Keinginannya menjadi bupati harus membuatnya memperistri seorang putri bangsawan. Haryo pun meminta Romo untuk melamarkan Padmini karena memang dia sudah jatuh cinta pada adik sepupu Damar. Dan, sekarang dia membutuhkan pengaruh Mirah agar bisa membantunya meraih keinginannya menjadi bupati, tanpa harus menjadi antek asisten residen yang korup dan menerima uang haram itu.

Memang diakui Haryo, mengambil Mirah menjadi istri merupakan jalan termudah baginya. Ibu Kemuning bahagia karena mendapat menantu kaya dan mempunyai pergaulan luas yang bisa membantu putranya mewujudkan ambisinya menjadi garwa padmi yang sempurna.

Keheningan masih melingkupi ruang makan itu. Sesekali suara tokek terdengar, seolah ingin membantu Haryo membuat keputusan untuk menentukan keputusan melalui suaranya.

Ambil uang … ambil Mirah … ambil uang … ambil Mirah ….

"Ndak papa kalau Kangmas ndak mau cerita sama Ni. Ni sadar, Ni bukan perempuan pintar seperti Mbakyu Mirah," kata Padmini lalu menyuapkan masakannya ke dalam mulut.

Haryo hampir saja tersedak saat Padmini melambungkan nama Mirah ke udara, bertepatan dengan berhentinya suara tokek keempat kalinya pada pilihan 'ambil Mirah'. Padmini seolah bisa membaca pikirannya. Apakah karena memang wanita itu sudah menjadi belahan jiwanya? Ketika tubuh bersatu, maka jiwa pun melebur menjadi satu.

"Diajeng, bagaimana pendapatmu kalau Kangmas dipaksa mengambil garwa lagi?" Entah kenapa Haryo melempar pertanyaan aneh itu.

Tangan Padmini yang terangkat, terhenti di udara. Mata bulatnya sedikit melebar dengan rahang mengerat, menghentikan gerak rahang menghaluskan makanan.

"Diajeng …?"

Senyum sendu Padmini pun akhirnya terurai lima detik kemudian. "Apa pendapat Ni penting?" Alis wanita muda kembali bergetar.

"Diajeng, Kangmas …." Haryo melipat bibir. Kalimatnya menggantung di udara.

Padmini melirik suaminya. "Apa Kangmas ingin mengambil Mbakyu Mirah sebagai selir?"

Rona wajah Haryo seketika memudar. Lagi-lagi Padmini bisa menebak siapa wanita kedua yang dicalonkan untuk mendampinginya. Haryo mengangguk.

"Kalau Kangmas berkehendak demikian, Ni mau berbuat apa?"

****

Sebagai istri yang baik, Padmini merasa harus menjadi kanca wingking yang siap mendengar dan mendukung sang kepala keluarga. Namun, saat mendengar Haryo mengemukakan topik tersebut, telinga wanita itu seketika berdenging, berusaha mengingkari apa yang dia dengar.

Mengambil garwa? Bukankah Haryo sudah berjanji akan setia? Lalu kenapa dalam beberapa hari saja ucapannya sudah berubah?

Susah payah Padmini menelan makanannya sebelum mengemukakan pendapatnya. Namun, apa hak dia bicara? Bukankah istri harus menurut pada suami agar bisa menyenangkan sang lelaki?

Padmini meremas paha kirinya berusaha tidak menunjukkan sisi cengengnya saat menjawab Haryo. Jawaban ngambang wanita itu sebenarnya sangat ditentang hati nurani.

Kalau diingat-ingat, betul kata Ibu Kemuning. Seorang wanita yang menjadi garwa padmi harus mampu menelan kepahitan. Dan, sekarang sayur bobor yang Padmini telan terasa sangat pahit ketika telinganya menangkap ucapan Haryo yang tak terduga.

Setelah membasuh tangan dan kaki sebelum tidur, Padmini bergegas masuk ke dalam sentong. Saat membuka lemari, wanita itu melihat kain yang tersusun di antara gulungan stagen. Dia lalu mengambil kain yang diberikan Yu Partini pada saat awal menikah. Obrolannya dengan selir pertama Romo Soeta itu kembali terngiang di kepala.

"Berhubung Ndoro Ayu sudah tahu siapa ibu kandung Ndoro Haryo, saya mau memberitahu kalau kain ini adalah kain milik ibu Ndoro Haryo. Ndoro Bupati menyukai saat Yu Marsinah melayaninya dengan menggunakan kain ini. Sebelum Yu Marsinah diusir, dia memberikan kain ini agar bisa saya pakai untuk menyenangkan Ndoro Bupati. Tapi menurut saya, sekarang kain ini saya berikan ke yang lebih berhak, menantunya, agar bisa menyenangkan Ndoro Haryo."

Padmini meremas kain itu. Dia tak pernah berpikir kain ini peninggalan ibu Haryo. Selama ini Padmini selalu diberikan nafkah batin yang menjadi candu baginya. Namun, dia jarang memberi pelayanan untuk sang suami, karena wanita itu lebih banyak diberi kenikmatan.

Tercetus ide untuk mencoba kain ini malam itu. Padmini lalu segera melepas satu persatu bajunya, menguak tubuh yang kini lebih berisi di bagian dada. Dia mengambil kain itu dan membebat gundukan dagingnya serta membentuk pita pada bagian depan pada sentuhan akhir. Sementara di bagian bawah, dia melakukan hal yang sama untuk menutupi bagian femininnya.

Saat mengamati bayangan lekuk tubuhnya yang tetap saja terlihat samar di bagian dada dan pangkal paha, pipi Padmini bersemburat merah. Apakah Haryo akan menyukainya? Padmini menggigit bibir sambil melepas gelungan rambutnya. Rambut yang jatuh dan tergerai di punggung itu membuat penampilannya semakin seksi dan nakal. Dia yakin, suaminya akan terkejut bila mendapati penampilannya sekarang.

Sebelum beranjak naik ke tempat tidur, Padmini tak lupa mengoleskan minyak wangi ke bagian belakang telinga, nadi pergelangan tangan, dan dada. Wangi lembut yang menggoda semerbak memenuhi senthong, menggelitik sisi kewanitaan Padmini. Ingin cepat-cepat dia merengkuh Haryo untuk memberikan kejutan itu.

Nyatanya sudah dua jam Padmini menunggu, Haryo tak kunjung membuka daun pintu kamarnya.

"Kangmas, kok lama? Apa Kangmas banyak urusan?"

Namun, Padmini tak bisa keluar senthong karena bajunya terlalu minim. Hingga akhirnya, dia memilih menunggu sambil berbaring di ranjang dengan tanpa selimut.

***

Suara ayam berkokok membuat Padmini tersentak. Matanya membuka dan bola matanya bergulir ke kanan kiri. Haryo tidak ada di ranjang. Namun, badannya kini berselubung kain.

Wanita itu menegakkan punggung. Tubuhnya masih berbalut kain tipis itu. Alisnya mengernyit. Seingatnya, Padmini tak berselimut sewaktu berbaring menanti Haryo. Lalu kenapa tiba-tiba kain tebal itu menyelubungi badannya? Parahnya, dia tak sadar telah ketiduran.

"Apa Kangmas datang dan menyelimutiku?" gumam Padmini seraya menatap selimut itu. "Kalau betul Kangmas, kenapa dia ndak tergoda saat melihatku dan mengajakku bercinta?"

Seketika Padmini menutup wajahnya. Dia menggeleng dan menendang-nendangkan kaki. Padmini malu saat membayangkan Haryo mendapatinya tertidur dengan baju seperti ini.

"Apa … Kangmas memang benar-benar ingin memperistri Mbakyu Mirah sehingga tak lagi tertarik sama aku?"

💕Dee_ane💕

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro