39. Sowan Ibu

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hai, Deers! Jangan lupa beri jejak cintanya biar cerita nggak tenggelam.

💕💕💕

Padmini hanya menunduk saat sarapan bersama Haryo. Dia tidak berani menatap mata Haryo yang tak bereaksi apapun. Padahal Padmini yakin semalam pasti Haryo mendatangi kamarnya.

Haryo berdeham, memecah sunyi. "Diajeng …." Lelaki itu mengelap mulut dengan serbet putih lalu meletakkan kain itu ke sebelah kanan piringnya.

Padmini terkesiap. Dia mendongak, dan menjawab, "Dalem, Kangmas."

"Nanti kita berangkat ke rumah Wunut, ya? Sowan Ibu. Tapi jangan kaget kalau gubuknya sederhana."

Gara-gara kejadian tadi pagi, Padmini melupakan ajakan Haryo pergi di dusun Wunut di desa Tulung. Tempat di mana ibu suaminya berasal. "Nggih (Ya), Kangmas."

“Oh, ya, siapkan baju ganti serta kain yang kamu kenakan semalam. Kita akan menginap malam ini di sana.” Haryo berkata dengan sangat cepat. Dia memalingkan wajah yang bersemburat kemerahan.

Padmini mengerjap. Walau kata-kata suaminya begitu cepat, tapi masih bisa ditangkap dengan jelas. Ternyata benar Haryo yang datang ke kamarnya. Mendapati wajah merona Haryo, Padmini tersenyum simpul. Tidak biasanya sang suami menampakkan ekspresi malu seperti itu. Namun, kenapa Haryo semalam tidak menjamahnya?

Tak ingin kesiangan berangkat, maka Padmini buru-buru menghabiskan makanannya. Dengan bersenandung kecil dia segera mengemasi bajunya dan baju Haryo serta tak lupa membawa barang yang dipesan sang suami karena mereka akan bermalam di gubug yang berada di depan umbul manten.

Menjelang pukul sembilan, Haryo dan Padmini berangkat ke Wunut dengan menggunakan bendi yang dikemudikan oleh Lik Darto. Padmini duduk menyamping bersama Haryo di depannya. Sepanjang perjalanan, mereka melalui lahan tebu, gubuk-gubuk sederhana beratap rumbai, dan persawahan yang sudah menguning. Di sisi kiri dan kanan, orang-orang yang berjalan kaki disengat sinar matahari sejenak berhenti dan menghaturkan hormat pada sang pemimpin distrik. Seperti raja kecil di daerah itu, Haryo begitu dihormati.

Tarikan bibir Padmini terus terurai. Wajahnya secerah mentari yang masih condong di sebelah timur. Walau sinarnya mulai terik membakar kulit, tapi tak bisa menguapkan kebahagiaan Padmini yang bisa keluar rumah sejauh ini. Bersama Haryo pula.

"Diajeng, kamu sebegitu gembiranya bisa keluar rumah?" tanya Haryo yang mengamati ekspresi sang istri.

"Iya, Kangmas. Biasanya Ni keluar ndak sampai keluar desa. Sekarang bisa melihat-lihat daerah Pengging … Sawit …."

Alis Haryo mengerut. "Biasanya? Kamu keluar rumah?"

"Nd … ndak, Kangmas. Waktu itu Ni jalan ke pasar."

Mulut Haryo membulat dengan kepala mengangguk berulang. Dia mengulurkan tangan dan menyibak anak rambut Padmini yang dipermainkan angin ke belakang telinga. "Jangan pergi tanpa Kangmas. Mengerti?"

Padmini menjawab dengan senyuman seraya mengangguk pelan.

Setengah jam kemudian, bendi mereka tiba di sebuah makam kecil di dusun Wunut. Kampung itu berada sekitar 9 km dari Bendan. Begitu memastikan kereta kuda berhenti, Haryo meloncat turun, hingga menciptakan bunyi gemericak kerikil yang terinjak. Sementara itu. Lik Darto masih sibuk mencari dingklik untuk pijakan, di bawah jok kereta.

"Ayo!" Haryo mengulurkan tangan.

Masih di tempatnya duduk, Padmini menunduk, melihat ke bawah kereta tapi tak mendapati dingklik yang menjadi pijakan turun. Melihat wanita muda itu kebingungan, Haryo justru meraih tangan istrinya. "Ayo, turun! Kangmas bantu."

Bagaimana caranya Haryo membantu kalau jarik yang Padmini pakai membatasi langkahnya? Dengan ada pijakan, wanita itu bisa lebih mudah turun.

"Tunggu dingkliknya dulu—"

"Tenang. Ada Kangmas. Ayo!" potong Haryo. Senyuman manis lelaki itu membuat Padmini mengerjap. Seperti sebuah rapalan mantra, wanita itu bangkit sambil membungkuk untuk menghindari atap dokar. Sementara itu, kedua tangannya dipegangi Haryo.

Namun, yang membuat mata bulat berbulu lentik Padmini semakin melebar, saat tangan Haryo beralih di bawah ketiaknya begitu dia berada di tepian belakang dokar lalu mengangkatnya persis seperti seorang ayah hendak menggendong anak kecil. Terang saja, wanita itu seketika memekik keras. Dia tak siap dengan gerakan tiba-tiba Haryo. Begitu kakinya mendarat di tanah berkerikil, tubuh mereka saling berimpit.

"Kangmas!" Padmini memukul dada Haryo dengan manja. Padmini menghadiahi Haryo dengan pelototan tapi laki-laki itu terkekeh senang.

Bila orang tahu sikap Padmini saat itu, pasti dia akan dicap wanita tak tahu adat. Durhaka. Tidak menghormati suami. Tapi, yang terjadi hanyalah spontanitas Padmini karena Haryo telah membuatnya terkejut.

"Kamu ringan sekali, Diajeng. Kamu harus banyak makan sepertinya."

Mulut Padmini maju ke depan beberapa senti. Dia lalu menarik badannya sambil memberikan kerlingan tajam pada Haryo saat mendengar tawa Lik Darto. "Kangmas ini! Ni malu … ada Lik Darto."

"Kenapa harus malu? Kita sudah sah." Haryo membungkuk dan menyetarakan mulutnya di samping telinga Padmini. Embusan napasnya kala berbisik, membuat kuduk Padmini meremang. "Diajeng, kamu ndak lupa memasukkan kain yang kamu pakai tadi malam, kan? Rupanya kamu sekarang pintar menggoda suami. Nanti malam, jangan keras-keras mendesahnya, karena sentong Lik Darto ada di sebelah."

Pipi Padmini sontak memerah. Wajahnya memanas. Haryo selalu saja senang menggodanya.

"Ayo, kita sowan Ibu!" Haryo tertawa kecil melihat reaksi menggemaskan Padmini. Dia yakin malam ini akan menjadi malam panjang karena semalam dia tak tega membangunkan Padmini. Melihat Padmini berpenampilan seksi seperti itu, tak dimungkiri mampu membangunkan naluri purbanya. Dan, semalaman dia menahan diri, Haryo yakin harus menuntaskannya malam ini, di ranjang tempat romo dan ibunya memadu kasih setiap minggu.

Haryo kemudian menggandeng Padmini masuk ke pemakaman dusun. Mereka menuju ke sebuah gundukan tanah yang tampak bersih tanpa rumput.  Pohon kamboja yang sedang bermekaran berada di samping makam seolah ingin ingin menaungi raga beku yang tergolek di pelukan pertiwi.

Setiba di samping makam dengan pancang kayu bertulis Marsinah dalam aksara Jawa, Padmini ikut duduk berjongkok di sisi Haryo. Setelah berdoa dan menabur bunga, Haryo mengelus pusara yang sudah lusuh dimakan cuaca.

"Bu, ini Haryo. Maaf baru membawa istri saya kemari. Kenalkan, Bu, nama istri saya Padmini. Dia perempuan yang pernah saya ceritakan dulu. Gadis yang menorehkan tanda di perut yang beberapa tahun kemudian tumbuh menjadi gadis cantik yang menggetarkan hati saya." Haryo menatap Padmini sendu. "Ayo, Diajeng, kamu sapa Ibu."

"Sugeng siang (Selamat siang), Ibu. Dalem (Saya) Ni. Istri Kangmas Haryo. Terima kasih telah melahirkan Kangmas sehingga saya sekarang mempunyai sandaran." Mata Padmini berkaca. Nisan itu perlahan terlihat kabur. Dia teringat pada ibu kandungnya. Seorang penari bedhaya yang konon katanya sangat dicintai Romo Tirto. Namun, ibunya mengembuskan napas terakhir saat berjuang melahirkannya sehingga demi bisa memberikan keluarga utuh, Romo Tirto mengambil gadis bangsawan agar bisa menjadi figur ibu bagi Padmini.

"Diajeng, kamu ndak malu dengan masa lalu Kangmas? Kangmas hanya anak gundik."

Padmini menyeka matanya dengan sapu tangan yang terselip di kemben. Sambil menggeleng, dia berkata, "Manusia ndak akan tahu di mana dia akan dilahirkan. Dan, sebagai perempuan, Yu Marsinah pun ndak bisa menyuarakan jeritan hatinya ketika Romo ndak bisa memberi gelar garwa padanya. Wanita … wani  ditata (berani ditata). Ya, kami hanya seorang yang harus mau diatur laki-laki. Maka dari itu, Kangmas harus bangga mempunyai Ibu seperti Yu Marsinah. Dia diusir … tapi karena cintanya pada sang putra, dia ingin memberi masa depan layak."

"Diajeng …." Suara berat Haryo bergetar. Dia menengadah untuk mencegah air matanya tumpah. Setelah menghela napas panjang agar menetralkan perasaan yang bergemuruh, Haryo kemudian bangkit. "Ayo, Diajeng, kita jalan-jalan."

Haryo kembali mengulurkan tangannya. Padmini mendongak dengan lengkungan bibir lebar hingga matanya menyipit dan menyambut uluran tangan itu, seperti dulu saat dia menerima lamaran Haryo. Walau dengan syarat, Haryo tetap ingin menikahinya dan tetap ingin memperistrinya. Dan, sekarang gandengan tangan laki-laki dewasa itu selalu mendatangkan desir bahagia di hati Padmini.

Dengan sekali tarikan napas, tubuh Padmini terangkat. Sekali lagi mereka berjalan dengan jemari saling bertaut. Setelah memberi tahu Lik Darto agar pulang lebih dulu, mereka melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki diiringi suara merdu Haryo yang melantunkan tembang.

Dada Padmini kembang kempis merasakan kebahagiaan sederhana yang Haryo berikan. Gandengan tangan sang garwa yang dimeriahkan tembang merdu dan cuitan burung serta tarian dedaunan ketika angin berembus menjadi paket lengkap hari yang cerah ini. Setapak demi setapak, walau berkerikil dan harus diterpa terik matahari, tak menyusutkan rasa gembira yang membuat senyumnya tak lekang.

"Diajeng, untuk pembicaraan semalam jangan terlalu dipikirkan." Haryo lalu memulai topik pembicaraan.

"Kangmas, apa hak Ni melarang?"

Langkah Haryo terhenti. Dia memutar tubuh menghadap sang istri. "Kamu ndak cemburu kalau Kangmas dengan perempuan lain?"

"Cemburu? Apa boleh?" Alis Padmini mengernyit. "Kalau pun cemburu, ndak akan mengubah situasi bukan?"

"Kenapa kamu ndak seperti biasanya?" Haryo membungkuk, berusaha menyelisik bola mata hitam kelam.

"Kata Ibu Kemuning, menjadi garwa padmi itu ndak mudah. Pil pahit kehidupan harus ditelan mentah-mentah sehingga bisa menguatkan. Ni mau menjadi perempuan kuat, luwes, anggun, dan cekatan untuk mendukung Kangmas. Semua sudah tersurat dalam serat Jawa warisan leluhur. Menjadi perempuan itu harus bisa menjadi wadon, wanita, estri, kanca wingking, dan garwa. Semua untuk menyenangkan suami." Ada kilat teduh dalam sorot Padmini saat mengatakan itu.

Entah kenapa, Haryo merasa tercabik mendengar jawaban Padmini. Seolah dia tidak dicinta karena Padmini tidak cemburu bila dia bersama Mirah. Apakah semua yang Padmini lakukan hanya sekedar tanggung jawab seperti yang tertulis dalam serat-serat Jawa? Bukan karena niat dari hati yang mencintai?

Seketika Haryo teringat. Hanya dia yang mengatakan cinta. Sementara telinganya belum pernah menangkap ungkapan cinta dari sang istri.

Apakah Padmini betul mencintainya? Namun, harga diri Haryo terlalu tinggi untuk menanyakan pada wanita muda itu.

***
Malam ini, seperti permintaan Haryo, Padmini sudah menunggu sang suami di kamar dengan mengenakan kain yang memperlihatkan lekuk tubuhnya. Saat masuk dan melihat istrinya duduk bersimpuh di atas ranjang dengan rambut menjuntai di punggung, Haryo hanya bisa meneguk ludah.

"Ayu …." Suara Haryo bergetar saat hasratnya mulai terbakar.

Pipi Padmini memerah. Dia sebenarnya sangat malu menggunakan kain ini. Hanya saja, saat melihat bibir Haryo yang tertarik lebar dengan sorot berbinar itu, Padmini merasa menjadi garwa yang dipuja.

Haryo duduk perlahan. Tangannya terulur mengelus lembut pipi dan bibir sang istri. Malam ini dia akan bersabar. Membiarkan sang istri menikmati nafkah batin yang akan dia berikan. Dia kemudian menggeser posisi duduknya lebih dekat dan merengkuh istri yang selama ini bisa memberikan pelayanan terbaik di dapur, sumur, dan kasur.

'Kangmas …." panggil Padmini dengan suara serak khasnya setelah pergumulan mereka. Dia berbaring dengan berbantalkan bahu Haryo sambil memeluk perut polos sang lelaki.

Haryo berdeham. Dia mengusap lembut kepala Padmini, seraya mengecup pelipis yang basah karena peluh.

“Dengar-dengar di desa kita sedang marak kasus perkecuan. Pasti kasus ini menyita tenaga dan pikiran Kangmas sehingga semalam Kangmas terlambat tidur?”

“Dari mana kamu tahu, Diajeng?” tanya Haryo menatap wajah Padmini yang mendongak. Selama ini dia tidak pernah menceritakan kasus kecu yang memang semakin sering terjadi.

“Kebetulan tadi pagi sebelum berangkat ada tukang ikan ke rumah. Katanya semua terjadi karena orang-orang kecewa sama kepemimpinan Kangmas. Apa karena suap itu?”

Telinga Haryo yang awalnya menangkap suara jangkrik yang mengerik di malam hari, seketika berdenging. Seharusnya dia sudah paham dengan ciri khas istrinya yang selalu ingin tahu.

Tak mendapati reaksi Haryo, Padmini akhirnya tersadar. “Maaf, Kangmas. Ni bukannya ingin mencampuri urusan laki-laki. Tapi, Ni khawatir dengan Kangmas. Akhir-akhir ini Kangmas terlihat banyak pikiran dan lelah.”

Embusan napas kasar keluar dari hidung mancung Haryo. Memang, menikahi Padmini harus menerima fakta bahwa wanita itu dididik untuk menyampaikan pendapatnya. Sementara di keluarganya, selain garwa padmi, semua perempuan lebih banyak bungkam.

“Diajeng, Kangmas sudah bilang, jangan keluar rumah!” kata Haryo dengan penekanan.

“Ni ndak keluar rumah, Kangmas. Ni hanya menemui tukang ikan itu di pringgitan.”

Haryo mendengkus. Dia harus bisa bersabar bila Padmini sudah mulai mendebatnya. Dan, jawabannya selalu masuk akal. “Iya. Kangmas tahu. Besok lagi biar Mbok Akik yang menemui tukang ikan, atau siapapun.”

“Kangmas, kenapa Ni seolah dipingit? Bahkan parahnya Ni ndak boleh ketemu orang. Apa yang sebenarnya Kangmas takutkan?”

“Diajeng, kamu dengar sendiri bukan, di luar sana banyak kasus perkecuan. Dan kamu juga tahu salah satu alasannya.” Haryo membuang napas. Dia mengubah posisi berbaringnya miring menghadap Padmini dan menatap sang istri dengan intens. “Sebenarnya Kangmas ndak ingin kamu tahu kekurangan Kangmas dalam memimpin distrik ini. Kangmas berbuat seperti ini karena takut kamu kenapa-napa. Kangmas … Kangmas ndak sebaik yang kamu kira.”

Padmini mengeratkan pelukannya pada Haryo. “Kangmas tenang saja. Ni akan baik-baik saja. Hanya saja, Ni berpesan supaya Kangmas menggunakan nurani Kangmas, alih-alih ambisi yang menyesatkan. Ni takut … kejadian seperti Romo Tirto terulang lagi.”

Nyatanya ucapan Padmini tidak terbukti. Dua hari setelah kepulangan mereka dari Wunut, pada saat Haryo sedang mengecek salah satu embung yang akan digunakan untuk irigasi, Supri mendatanginya dengan tergopoh.

"Ada apa, Pri?" tanya Haryo keheranan melihat wajah Supri dengan napas satu-satu dan kehilangan ronanya.

"Ini … ini, Ndoro." Tangan Supri bergetar mengulurkan selembar kertas.

Alis Haryo mengerut ketika menerima kertas lusuh itu. Setelah membuka dan membaca rangkaian kata yang tertoreh dengan tinta yang agak luntur, mata Haryo seketika membeliak.

💕Dee_ane💕

Promo dulu ah ...
Mampir di ceritaku "Hold My Hand" buat kalian yang sukak cerita romance zaman now.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro