Bab 10 | Pesan Misterius

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Bert duduk di barisan kursi paling depan di sebuah aula besar berinterior megah milik Israel Defense Force, di Markas Besar Tel Aviv. Siang ini tengah diadakan sebuah rapat penting yang dihadiri oleh perdana menteri, menteri pertahanan Israel, kepala kepolisian Shin Bet dan beberapa personel dari perwakilan setiap unit IDF. Mulai dari Unit Sayetet, Batalion Caracal, Unit Golani, Unit Mista'arvim, Unit Sayeret Matkal dan unit-unit lainnya yang tampak sudah memenuhi semua kursi dalam aula.

Bendera berlatar putih dengan dua garis horisontal biru di atas dan bawah yang terdapat gambar bintang daud berwarna biru di tengahnya berkibar di setiap penjuru ruangan. Sejuknya pendingin ruangan melingkupi gedung tertutup tersebut.

Tatapan netra hijau Bert lurus ke depan di mana Letnan Jenderal, Aviv Kochavi sedang berpidato di atas podium. Di belakangnya berdiri Mayor Jenderal Itai Veruv dan jenderal-jenderal dari setiap unit, termasuk Jenderal Bolgen yang berdiri gagah di sana.

"Saya ingin semua Unit mengirim personelnya untuk melakukan operasi jauh di luar perbatasan negara. Setiap unit harus menyiapkan sejumlah rencana operasional. Agresi Sayap Militer HAMAS semakin menjadi ancaman besar untuk kita. Pertahanan IDF harus semakin ditingkatkan. Satu lagi yang membuatku sangat gerah, ICC ingin menyelidiki kejahatan perang yang kita lakukan terhadap Palestina. Kita harus mencari solusi agar penyelidikan itu dibatalkan sebelum tim hukum ICC mengajukan rekomendasi."

Bert berkedip mendengarkan setiap kalimat yang diucapkan oleh kepala staff IDF tersebut. Ia menghela napas, sejatinya memang otoritas Israel sering melakukan kejahatan perang dan melanggar setiap point yang telah Konvensi Janewa tetapkan. Bert pribadi mengakui hal itu dan wajar saja jika Mahkamah Pidana Internasional, atau Criminal Court Justice ( ICC ) ingin menuntut otoritas pertahanan Israel secara global. Tapi perwira Israel itu tidak ingin ambil pusing. Bahkan dia sudah sangat bosan dengan semua agresi militer yang harus dijalankan. Bert hanya tinggal menungu waktu yang tepat untik mengundurkan diri dari Unit Mista'arvim.

Berbeda dengan Bert yang sangat serius mendengarkan pidato penting itu, seorang tentara Israel yang duduk di kursi paling belakang ujung sebelah kiri justru sibuk berkutat dengan ponsel pintaranya.

Bab 9 | Sersan Bert Yang Malang

Sersan Bert sudah terlihat seperti seekor keledai. Ia duduk di pojok ruangan dengan tatapan kosong menatap jendela yang terbuka. Dinginnya angin berembus kencang dari luar. Sesekali bibirnya mengulas senyum, namun tak lama tangisnya pecah saat teringat dengan kekasihnya yang memilih untuk menikah dengan orang lain. Dia sangat ingin bunuh diri, namun sayangnya ia takut mati. Benar-benar bodoh. Cinta sudah membuatnya gila.

Oh, Sersan Bert yang malang ....

****

Semoga kalian menyukai ceritaku ☺

Sersan Amit Ben Natan

1500 kata

Amit tersenyum sumeringah. Ia baru saja berhasil menulis satu bab dalam novel terbarunya yang ia tulis di sebuah platform online. Setelah ia merevisinya berulang kali dan yakin tidak ada typo, jarinya menekan kata 'publikasikan'.

"Bodoh."

Amit mengangkat wajahnya yang semula menunduk. Kedua ujung alis tebalnya bertemu kala mendapati sosok Bert berdiri tegak sambil bersidekap, melempar tatapan dingin padanya.

"Bert, apa yang kau lakukan di sini?"

"Rapatnya sudah selesai. Kau ingin menginap di sini rupanya ha?"

Kedua netra hitamnya melebar. Ia mendadak celingukan dan benar saja, satu per satu penghuni aula mulai beranjak dari kursi dan berjalan keluar. Amit menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, lalu kembali bersitatap dengan Bert.

"Astaga! Sejak kapan? Kenapa kau tidak memberi tahuku, huh?"

"Hei, Bodoh! Sudah hampir sepuluh menit aku berdiri di sini dan memanggil namamu. Tapi rupanya kau terlalu asyik dengan duniamu sendiri." Bert menggeleng. Bibirnya mendesis. "Bisa-bisanya kau menulis di acara formal seperti ini."

Amit terkekeh pelan, ia memasukkan ponsel canggihnya ke saku lalu segera berdiri dan membenahi celana perwiranya yang sedikit melorot.

"Kau tidak akan mengerti, Bert. Seorang penulis jika mendapat ide harus secepatnya ditulis agar tidak kabur idenya. Karena mana mungkin aku mengingat ide itu ketika tidak langsung mengetiknya. Ide itu seperti kupu-kupu, Bert. Mudah datang dan pergi!" tegas Amit sembari mengencangkan sabuk hitamnya.

Bert malas merespons dan hanya melempar tatapan dinginnya pada tentara yang hobi menulis itu. Kedua tangannya kini tenggelam pada saku celana.

"Ayo, kita pulang."

Amit nerangkul bahu Bert dan dua tentara tinggi itu pun melenggang pergi meninggalkan ruangan yang sangat luas tersebut. Mereka terus berjalan menapaki lantai marmer yang mengkilat dan sangat bersih hingga keduanya sampai di depan sebuah elevator. Baru saja mereka hendak memasukinya, sebuah seruan akrab menginterupsi.

"Sersan Bert."

Bert dan Amit menoleh. Mereka tersenyum ramah pada jenderal Bolgen yang tengah berjalan gagah menghampiri mereka.

"Begini, besok malam putriku Alina akan merayakan pesta ulang tahunnya. Aku sangat berharap jika kau berkenan untuk hadir."

Amit dan Bert bersitatap sejenak. Bert dan Amit sedikit terkejut mendengarnya.

"Wahh ... apakah ini sebuah undangan istimewa?" Amit tersenyum lebar memamerkan belahan dagunya.

"Anggap saja begitu." Jenderal Bolgen mengulas senyum. Netra cokelat tajamnya mengintai wajah Bert. "Bagaimana, Sersan Bert? Apa kau bersedia untuk datang?"

Bert diam sejenak. Sebenarnya dia sangat malas menghadiri sebuah pesta seperti itu. Tetapi tidak enak juga jika menolak undangan jenderal Bolgen secara langsung seperti ini. Ia berdeham.

"Apakah Amit juga diundang?"

"Tidak." Jenderal Bolgen tersenyum. "Tetapi jika kau ingin mengajaknya, tentu saja tidak dilarang."

"Kalau begitu, aku akan datang bersama Amit, Jenderal."

"Aku tunggu kedatangan kalian."

Jendral Bolgen menghela napas lega. Senyumnya semakin melebar dan netra cokelat terangnya berbinar. Ia menepuk-nepuk pelan bahu kokoh Bert sebelum ia melenggang pergi.

"Sssst."

Bert menoleh saat Amit menyenggol sikunya.

"Menurut kabar yang beredar, putri bungsu Jenderal Bolgen, Alina, memiliki paras yang sangat cantik dan bertubuh seksi." Amit menyeringai sambil mengisyaratkan tubuh Alina dengan kedua tangannya yang membetuk sebuah biola. "Bukankah wanita seperti itu yang kau ingin jadikan istri ha? Ini adalah kesempatan emas untukmu!"

"Kesempatan emas?" Bert mengangkat satu alis tebalnya, lalu melempar tatapan tajam pada Amit.

"Haisssh! Kau ini terlalu lugu, Bung. Dengar, aku memiliki firasat jika Jenderal Bolgen ingin menjodohkanmu dengan Alina. Kau sangat beruntung!"

Pletaaak!

"Aiisssh! Sakit, hei! Kau tidak punya perasaan!"

"Sudah kubilang jangan memancing emosiku dan berhenti berasumsi konyol seperti tadi."

"Siapa yang konyol? Aku sangat yakin jika Jenderal Bolgen ingin menjadikanmu menantunya."

Wajah putih Bert semakin memerah. Ia tidak ingin menjawab, lalu segera melangkah lebar meninggalkan tentara bodoh itu. Bert tidak suka buang-buang waktu.

"Bagaimana jika Alina bisa membuat jantungmu berdebar? Ingat janjimu, Bert!"

"Ya, tentu saja aku ingat."

"Berarti kau akan menikahinya jika dia membuat jantungmu berdebar?"

"Aku tidak tahu."

"Kenapa tidak tahu?" Amit terus melangkah lebar agar bisa mengimbangi langkah Bert.

"Kau bisa berhenti bertanya tidak?" Bert menoleh sekilas pada Amit. Tatapannya berubah berang. "Lama-lama mulutmu itu seperti mulut perempuan saja."

"Sejak kapan mulutku seperti perempuan? Aku tidak memakai lipstik." Amit merabai bibir tipisnya sembari terus melangkah gontai.

Bert menggeleng, lalu memijat pangkal hidungnya sangat keras. Ia membuang napas berat.

"Bodoh!"

****

Semburat oranye yang memesona telah menyelimuti seluruh permukaan langit Hebron. Kicauan burung saling bersahutan dengan semilir angin yang berembus sangat sejuk menelusup ke pori-pori kulit. Gemerisik dedaunan yang saling beradu silih berganti menyapa indra pendengarannya. Bert duduk di sebuah batu besar sambil memainkan ranting kering di tangannya. Sore yang sangat damai. Bibir tipis kemerahannya tersenyum manis menatap hamparan rumput dan tanaman liar hijau serta bunga-bunga berwarna kuning yang membentang luas di hadapannya. Saat ini ia berada di sebuah bukit, di desa Bait Kahel dekat pagar pembatas di mana ia menjatuhkan dompetnya saat itu. Bert sangat ingat, dulu sepulang dari Jalur Gaza ia mampir ke sana untuk membuang air kecil.

Entah apa yang membawa langkahnya hingga menyambangi tempat ini. Padahal ia baru saja pulang beroperasi dari Jalur Gaza. Gurat lelah melumuri wajah tegasnya. Bahkan seragam tentara hijaunya pun sudah sangat lusuh bercampur peluh dan tanah kering.

Ponselnya bergetar pertanda sebuah pesan masuk. Ia menghela napas, membuang ranting tersebut ke sembarang arah, lalu merogoh saku celananya untuk mengambil benda pipih itu. Terdapat tiga notifikasi pesan dari nomor yang sama muncul di layar. Bert berdecak, lalu membuka pesan misterius dari orang yang dua hari belakangan ini mengganggu ketenangan hidupnya dengan mengiriminya pesan-pesan aneh dan konyol. Kode nomor negaranya adalah +970, kode negara Palestina. Ia sangat geram dan ingin memblokir nomor tak dikenal itu, tapi ia juga penasaran hingga mengurungkan niatnya dan memberi nama kontak untuk orang itu 'Crazy People'.

Crazy People

Selamat pagi ☺🍞☕

Selamat siang 😇

Selamat malam 🙈🍝😴

Pagi ... semoga harimu menyenangkan 😊

3 pesan belum dibaca

Crazy People

👱🌸🍦

Selamat sore

Aku tidak mengerti dengan perasaanku 💔😔😖

"Gila!"

Bert mendengus kesal sembari menendangi rumput di bawah kakinya dengan asal. Emosi meletup-letup di dadanya. Ia menekan tombol hijau untuk menelepon orang itu namun panggilannya ditolak lagi dan lagi seperti kemarin. Padahal mulutnya sudah sangat gatal ingin memaki orang gila yang sepertinya kurang kerjaan tersebut.

"Pengecut sekali kau!"

Bert mendesis. Jemari besarnya sangat cepat mengetik sebuah pesan untuk orang itu.

Siapa kau sebebarnya?
Kau tidak tahu berhadapan dengan siapa kau sekarang, huh?

Tunjukkan wajahmu, Pengecut! Aku tidak akan segan-segan untuk mengirimmu ke neraka.

Angkat teleponku!

Bert mencoba menghubungi nomor itu lagi namun sama, orang gila itu tetap menolaknya hingga membuat Bert semakin frustrasi. Ia meremas ponselnya sambil menahan napas. Rahangnya semakin mengeras.

"Rupanya orang ini benar-benar mencari mati, huh! Awas saja!"

Ponselnya kembali bergetar. Sebuah pesan masuk dari nomor yang sama.

Crazy People

Kau sangat kasar 😢

Bert mengusap wajahnya. Kesabarannya nyaris hilang. Ia sudah menanyakan pada Amit nomer yang dulu Filistin hubungi menggunakan ponselnya. Tapi temannya yang bodoh itu bilang telah menghapusnya dari jauh-jauh hari.

"Siapa kau sebenarnya?"

Bibir Bert semakin menipis. Netra hijaunya berubah nyalang. Satu pesan kembali tampak di layar, ia membacanya sambil menautkan kedua alis hitamnya yang tebal.

Crazy People

Maafkan aku jika telah mengganggumu 🍭

Bagus jika kau sadar diri. Kau memang sangat menggnggu. Siapa kau?

Crazy People

😃

Siapa kau? 😠

Crazy People

😔

🔫🔪😤

Crazy People

😭

"Astaga!"

Bert mengusap wajahnya dengan sangat kasar. Ia berdiri, lalu mengedarkan pandangan ke sekitar. Dadanya kembang kempis menahan emosi. Ponselnya berdering, panggilan masuk dari Crazy People. Dia segera mengangkatnya.

"HALLO!"

"HALLO!"

"HEI, BODOH! SIAPA KAU SEBENARNYA?"

Bert menekan ponsel itu dengan kuat di telinganya. Namun sunyi, seseorang di seberang telepon sana tidak menyahut sama sekali. Tangannya mengepal kuat, rupanya orang gila itu sedang mempermainkannya.

"Hallo!"

Suara bariton Bert kembali menggema, namun tetap hening yang ia dapat.

Di tempat lain, di belakang sebuah tenda berwarna biru, seorang gadis tengah duduk sambil memeluk anak dombanya dengan sangat erat dan gemas. Filistin menggigit bibir bawahnya. Jantungnya meletup-letup dan hatinya berbunga bisa mendengar suara Bert lagi meskipun nada suaranya sangat tinggi, bahkan kental akan emosi.

Gadis itu membekap mulut. Sesekali ia menggigiti jemari lentiknya, bingung harus berbicara apa. Dia tetap bergeming mendengarkan suara Bert yang terus memakinya di seberang sana. Kedua pipinya merona dan memanas.

"Filin! Siapa yang kau telepon?"

Suara berat Al Quds membuat punggung gadis itu menegang. Ponsel yang semula menempel di telinganya melorot hingga jatuh ke tanah. Filistin hendak memungutnya, tetapi tangan besar Al lebih cepat mengambilnya.

"Kakak ...."

Filistin berdiri, melepas anak dombanya yang kini melompat-lompat menjauh darinya.

Al menautkan kedua alisnya. Ia menempelkan ponsel miliknya di telinga. Suara lelaki di balik telepon membuat rahangnya mengeras. Ia melempar tatapan tajam pada iris biru Filistin yang kini berkaca-kaca menatapnya penuh ketakutan.

"Hallo! Hallo!" Suara Bert terus menggema.

Al Quds menipiskan bibir. Ia mematikan sambungan telepon, lalu menggenggam ponsel itu dengan sangat erat dan mengapungkannya di hadapan wajah Filistin yang sedang menunduk dalam.

"Siapa lelaki ini?"

Filistin menggeleng dan terus menunduk.

"Tatap mata Kakak dan jawab siapa lelaki ini?" Al Quds mencoba meredam emosinya. Ia mengatur embusan napas.

"Sejak kapan kau berani berbohong seperti ini, Filin? Sejak kapan kau berbohong pada Kakak ha? Filin!"

Al Quds mengusap wajah. Ia memegang bahu sang adik dan memaksanya untuk mendongak hingga tatapan mereka kini saling beradu.

"Kau bilang ingin menelpon Reda untuk mendiskusikan tugas sekolah ha? Lalu siapa lelaki ini? Kenapa kau berbohong!? Siapa yang mengajarimu berbohong! Jawab!"

Filistin menggigit bibir. Sekujur tubuhnya gemetar. Tidak pernah ia melihat netra cokelat terang milik Al Quds penuh amarah seperti saat ini ketika menatapnya. Netra birunya sudah dipenuhi bening. Ia berkedip dan menumpahkan bening itu hingga kini berarak-arak menuruni kedua pipinya yang tirus. Filistin tersedu-sedu kala cengkeraman tangan besar Al Quds semakin menguat di dagunya. Ia terpaksa terus mendongak.

"Siapa lelaki ini? Jawab Kakak."

Suara Al melembut. Demi Sang Khalik, tidak berniat ia untuk membuat Filistin menangis seperti itu. Ia hanya syok dan tidak habis pikir kenapa adiknya bisa berbohong seperti ini.

****

Lanjut lagi next bab lah ya😅 capek ngetiknya udah malam.

Voment & follow jangan lupa. Biar aku semakin semangat nulisya. 😆

Teşekkürler 💖

Oh, ya, untuk foto makanan yang Ney minta, Insya Allah besok atau di next bab, aku kasih ya. Lupa nyari tadi 😁😘

Maaf jika alurnya ngebosenin.

SCDBA 1

Aisyah & Aaron

SCDBA 2


Bert & Filistin

SCDBA 3 ( Coming soon )

Al Quds & Yael Sharon

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro