Bab 9 | Kejutan Untuk Filistin

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Jangan lupa follow, vote dan komen jika suka dengan cerita ini. Biar aku semakin semangat nulisnya. Terima kasih.

Selamat membaca.

****

"Ibuuuu! Kak Asima! Ayaaah!"

Lengkingan suara Filistin yang sangat nyaring dan khas membuat tiga orang yang semula tengah berkumpul di tengah tenda tersentak. Qasim, Laila dan Asima saling menatap sembari mengulas senyum. Mereka bergegas berdiri, lalu melangkah gontai menuju pintu tenda.

Laila menyingkap pintu tenda biru sambil membekap mulut. Lututnya gemetar, tak kuasa menahan bahagia serta haru yang membuncah dalam dadanya. Putri bungsu yang sudah sangat ia rindukan kini ada di seberang sana, berlari tersuruk-suruk menuruni anak bukit yang hijau. Sore itu angin senja bertiup kencang hingga kerudung panjang Filistin melambai-lambai.

"Filinnn!"

"Ibuuu! Ibuuu! Aku sangat merindukanmu!"

Napas Filistin terputus-putus sesampainya ia di hadapan sang ibu. Dadanya sedikit sesak akibat berlari terlalu kencang sedari tadi. Iris birunya mengunci mata biru sayu milik Laila. Ia menghambur dalam pelukan wanita bergamis hitam itu. Filistin tersenyum di sela tangisnya.

"Alhamdulillah, akhirnya kau pulang, Nak. Kau baik-baik saja, bukan?"

"Alhamdulillah, Bu. Aku baik-baik saja. Tidak terluka sedikit pun. Lihatlah."

Filistin membentangkan tangan. Senyum manisnya melebar, memamerkan deretan gigi kecil putihnya yang rapi. Lalu ia kembali memeluk Laila, mengecup kedua pipi tebal dan tangannya. Begitu pun dengan Laila, kini bergantian menciumi Filistin seraya mengucap syukur.

"Ayah! Kak Asima!"

Filistin mengalihkan pandang pada wanita bergamis ungu di samping ayahnya. Ia lantas merengkuh tubuh kakaknya dan memeluknya sangat erat. Hatinya bergemuruh kala tangis Asima yang memilukan pecah di telinga. Dapat ia rasakan tetesan air hangat merembas di pundaknya.

"Kakak, berhentilah menangis. Aku baik-baik saja. Lihat."

Filistin melepas pelukan. Ditangkupnya wajah oval milik Asima yang basah. Netra biru sang kakak terus meluruhkan bening. Gadis kecil itu menyekanya, lalu menciumi pipi Asima.

"A--aku sangat mengkhawatirkanmu. Syukurlah kau telah pulang. A--apa ada yang ... yang menyentuhmu di sel?"

Filistin menggeleng cepat. "Tidak ada. Allah telah menjagaku."

"Alhamdulillah."

Asima terisak. Ia sangat bersyukur adiknya tidak mengalami nasib buruk sepertinya dulu.

Qasim mengusap lelehan bening di pipinya. Ia mengelus punggung Asima, lalu memeluk kedua putri kesayangannya sambil merapal doa dan syukur. Hatinya bergetar atas kuasa Sang Khalik yang telah melindungi putrinya hingga bisa kembali berkumpul bersama.

Kedua kaki Filistin terpaku sejenak. Ia mematung di tempat saat Laila menarik tangannya untuk masuk ke tenda. Pedih menjalar di hatinya melihat tenda biru berukuran besar itu. Di sekeliling tenda terdapat kayu-kayu serta seng yang telah memerah. Di perjalanan, Al memang sudah menceritakan jika rumahnya telah dihancurkan. Namun tetap saja ia syok melihat tempat tinggalnya kini.

"Ayo, masuk, Ibu sudah masak banyak untukmu."

Suara berat Al membuat Filistin tersentak. Ia mengusap wajah basahnya yang layu, lalu menoleh mengintap wajah teduh Al seraya terseyum tipis.

Sesampainya di dalam, netra birunya menjelajahi setiap sudut tenda dengan seksama. Hatinya mendadak sesak. Rumahnya dulu hanya satu lantai dan sangat sederhana. Namun jika dibandingkan dengan tenda ini, tentu saja rumahnya yang dulu jauh lebih layak tinggal dan nyaman. Filistin menghela napas panjang. Ia harus ikhlas menerima cobaan ini. Filistin bersyukur keluarganya tidak ada satu pun yang dilukai oleh para tentara bejad itu.

Seusai mencuci tangan di belakang, ia langsung duduk di tanah berlapis tikar di mana beberapa menu masakan telah menantinya sedari tadi. Kedua netra birunya membesar dan berbinar melihat hidangan yang begitu banyak.

"Masya Allah, kenapa Ibu masak banyak sekali? Bukankah ini pemborosan?"

"Tidak, Sayang. Ayo, makanlah. Tadi pagi saat Al memberi kabar kepulanganmu, Ibu sengaja belanja di pasar dan membeli bahan makanan ini khusus untuk menyambutmu." Laila mengambil piring kosong milik Filistin.

"Kau jangan khawatir, lagi pula tidak setiap hari kita makan lezat seperti ini. Kau tenang saja, kakakmu baru saja gajian. Bahkan dia yang meminta ibumu untuk masak banyak seperti ini." Qasim mengelus puncak kepala Filistin dengan lembut.

Filistin melebarkan senyum. Hidungnya kembang kempis kala bahagianya membuncah di dada. Ia mengerling pada Al Quds yang duduk bersila di hadapannya.

"Kakak! Beri tahu aku berapa gajimu sekarang? Apakah sangat besar?"

"Rahasia." Al terkekeh pelan.

"Kakak! Ayo, beri tahu aku!"

Al menggeleng sambil tersenyum geli. Gigi gingsulnya terlihat sangat manis. Ia merapal doa, lalu mengambil sebuah dawali waraq dan memakannya.

Filistin mendengus. Ia tersenyum lebar saat Laila menyodorkan piringnya yang kini telah terisi penuh oleh makanan. Aroma lezat menembus cuping hidungnya.

"Jzaz mahsi, Dawali Waraq, maqlubeh, salatah, Zaituni, laban wa khiara! Ini adalah masakan Ibu yang terbaik! Aku sangat merindukannya. Sudah lama sekali aku tidak memakan ini."

Al, Asima, Laila dan Qasim tersenyum dengan mata berkaca-kaca. Mereka mengunyah makanannya pelan-pelan sembari terus mengintai gadis langsing yang tampak sangat bahagia itu.

Setelah merapal doa, Filistin segera memulai makan dengan penuh khidmat. Hatinya tiba-tiba berembun. Ia mengunyah pelan-pelan sambil berurai air mata. Daun anggur berisi daging dan nasi, ayam isi nasi daging dan salad mentimun dan tomat silih berganti memenuhi mulutnya.

"Alhamdulillah, ini sangat lezat. Aku sangat merindukan makanan ini."

Filistin tersenyum manis, meski air matanya justru berjatuhan semakin banyak. Dadanya sesak mengingat bagaimana anggota kepolisian Shin Bet di penjara pemukiman Kiyrat Arba memperlakukan para tahanan Palestina di bawah tanah. Mereka tidak pernah mendapat makanan yang layak.

Saat ini ia sudah bisa berkumpul dengan keluarganya. Filistin sudah bisa memakan makanan lezat. Lalu bagaimana dengan keadaan Hala, Maryam dan para tahanan lain di sana? Filistin berhenti mengunyah, lidahnya menjadi hambar. Ia tak bisa menikmati hidangan lezat sedangkan saudara-saudaranya di penjara pasti sangat kelaparan dan menderita.

"Filin, kau kenapa?" Al mendadak panik. Begitu pun dengan orang tuanya dan Asima.

"A--aku teringat teman-temanku yang masih ditahan! Andai saja bisa, aku ingin membagi makanna lezat ini. Mereka pasti sangat senang."

Al, Asima dan kedua orang tuanya saling menatap. Tentu saja dada mereka ikut sesak. Mereka merapal doa, bersyukur dan beristighfar sebanyak-banyaknya dalam hati.

"Jangan menangis, Sayang. Kita doakan mereka, ya. Semoga saudara-saudara kita yang lain juga bisa segera dibebaskan dan berkumpul kembali dengan keluarganya."

Filistin mengangguk pelan.

Laila beringsut menghampiri Filistin, mengusap air mata anaknya dengan punggung tangan. Kemudian bibirnya menemui pelipis Filistin dan menciumnya dengan lembut.

****

Hari Jumat yang sangat cerah. Filistin sudah sangat tidak sabar ingin masuk sekolah. Saat ini ia tengah berkutat dengan sebuah dus besar berisi buku-buku, tas sekolah dan sepatunya. Ia bersyukur karena barang-barang berharganya bisa diselamatkan dari amukan para tentara Zionis. Meskipun beberapa pensilnya ada yang patah dan sebagian jilid bukunya tersobek akibat tertindih reruntuhan material rumah.

Bibir tipis ranumnya mengembang saat retina birunya menangkap sosok Al Quds menyembul di ambang pintu.

"Filin, ayo, ikut Kakak! Kakak punya kejutan untukmu."

"Kejutan?"

Filistin menautkan kedua alisnya. Ia segera berdiri dan mengayunkan kakinya dengan lebar menghampiri Al di depan tenda.

"Tutup matamu!"

"Tapi, Kakak! Bagaimana aku bisa berjalan sambil menutup mata?"

"Kau tenang saja, Kakak akan menuntunmu."

"Oke, baiklah."

Filistin tersenyum lebar. Jantungnya berdebar-debar. Ia sangat penasaran, entah kejutan apa yang disiapkan Al Quds untuknya.

Pria yang mengenakan kaus hitam itu menarik tangan mungil Filistin dan menuntunnya ke belakang tenda dengan hati-hati. Semilir angin berembus sangat sejuk pagi itu hingga membuat rambut ikal panjangnya beterbangan.

"Sudah sampai belum?"

"Sudah! Tapi jangan dulu buka matamu, jangan mengintip. Kakak hitung sampai tiga, baru kau buka matamu, setuju?"

"Setuju!" Filistin mengangguk antusias. Senyumnya semakin mengembang. "Apa kejutannya? Kakak membuatku sangat penasaran."

"Kau lihat saja nanti, aku yakin kau akan sangat menyukainya. Bersiap-siaplah, Little Princess!" Al tersenyum tipis sembari memegangi bahu kecil Filistin. "Satu ... dua ... ti---tiga! Buka matamu."

Kedua mata Filistin yang sedari tadi merapat perlahan berkedut hingga kelopak matanya melebar pelan-pelan. Ia sontak menjerit dan mengucap syukur melihat hadiah pemberian Al Quds. Seekor anak domba putih yang diikat pada pohon Zaitun yang rindang itu.

"KAKAK! Kau membelikanku domba?" teriaknya sangat nyaring. Filistin segera menghambur memeluk tubuh tinggi Al Quds sambil berjinjit-jinjit.

Al Quds mengulas senyum manis. Ia mengusap punggung Filistin, lalu melepas pelukan.

"Ini adalah nazarku. Kakak bernazar, jika kau dibebaskan, Kakak akan memberimu domba. Bukankah kau sangat menginginkannya?"

Filistin mengangguk cepat. "Sangat! Aku sangat menginginkannya."

"Tadi subuh Kakak pergi ke pasar dan cepat-cepat membeli domba ini."

"Terima kasih banyak, Kakak! Kau sangat baik. Aku jadi ingin cepat-cepat mengembalakannya!"

Senyuman Al Quds semakin melebar. Sepasang netra cokelat terangnya berbinar dan sangat teduh. Hatinya berbunga melihat Filistin sebahagia itu. Ia duduk di sebuah batu besar dan terus mengintai sang adik dari jarak dekat. Apa pun akan ia lakulan untuk membahagiakan keluarganya. Sesungguhnya domba itu dibeli menggunakan gaji dan sisa tabungannya untuk biaya sekolah Filistin. Ia terpaksa menggunakannya sebab sudah telanjur bernazar.

"Kakak! Lihatlah domba kecil ini sangat lucu! Aku akan menamainya Walad! Bagaimana menurutmu?"

"Hmmm ... nama yang bagus dan cocok untuk domba jantan kecil itu."

Al terkekeh pelan melihat Filistin memeluk dan menciumi domba kecil itu, lalu memeluknya dengan sangat gemas. Kali ini tagan mungil sang adik meraup beberapa rumput dari keranjang dan menyuapi dombanya dengan sangat telaten.

Di seberang sana, seorang gadis berhijab merah muda berlari sangat kencang sambil mengulas senyum menghampiri Filistin dan Al Quds.

"FILIIIIIN! FILIIIN KAU SUDAH KEMBALI!"

Filistin menoleh pada sumber suara. Mulut serta matanya membola dan berbinar melihat sosok Reda, sahabat yang sudah sangat ia rindukan.

"REDAAA! REDA!"

Filistin melepas dombanya dan segera berdiri. Ia menatap lekat iris cokelat terang Reda, lalu memeluknya sangat erat dan gemas.

"Ya Allah, aku sangat merindukanmu."

"Aku juga. Syukurlah kau sudah dibebaskan."

Kedua gadis itu saling menatap dan melempar senyum. Genggaman tangan mereka semakin menguat.

Melihat itu, Al berdiri dan mengulas senyum tipis.

"Kalian bermainlah, Kakak harus kembali ke pasar. Asalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam, Kakak!" seru Filistin dan Reda serempak.

Dua gadis itu duduk di atas hamparan rumput yang hijau sambil mengelusi bulu lembut domba putih bertelinga panjang itu.

"Dombamu sangat lucu." Reda tersenyum tipis.

"Iya, namanya Walad. Kakak memberikan ini sebagai hadiah."

"Kau sangat beruntung."

"Alhamdulillah terima kasih. Kau juga membangun tenda di sekitar sini?"

Reda mengangguk. Ia menunjuk sebuah tenda berwarna abu-abu di paling ujung dekat pohon kurma.

"Tendaku di sana!"

Filistin mengulas senyum sambil mengangguk pelan. Setelah melihat punggung tegap Al semakin menjauh, Filistin mengulum senyum.

"Reda, ada banyak hal yang sangat ingin kuceritakan padamu. Mendekatlah, ini sangat rahasia. Berjanjilah untuk tidak menceritakannya pada siapa pun."

Reda mengangguk. Raut wajahnya berubah serius, ia lantas merapatkan tubuhnya dengan Filistin. Dahinya berkerut.

Mata indah dihiasi bulu mata lentiknya berkedip ketika Filistin mulai bercerita tentang seorang tentara Israel yang ia temui di pejara. Sesekali Reda terkekeh dan melebarkan mata saat mendengarkannya.

"Jadi Bert yang telah membebaskanmu?" tanyanya setelah Filistin selesai bercerita.

"Sepertinya begitu."

Senyum Filistin semakin mengembang.

"Seperti apa wajahnya? Apakah dia tampan?"

Filistin mengangguk cepat. "Sangat. Sangat tampan. Dia adalah lelaki tertampan yang pernah kutemui dalam hidup. Dia memiliki mata hijau terang yang sangaaaaat indah."

Bibir mungil Reda membola. "Kau serius?"

Filistin kembali mengangguk. Rona merah melumuri kedua pipinya yang memanas. Jantungnya berdebar saat bayangan wajah dingin tapi tampan milik Bert melintas di benaknya.

"Dia tentara yang berbeda. Dia sudah menolongku dua kali. Dia seperti Batman! Batman Bert!"

Reda terkekeh-kekeh sambil menggeleng. "Dasar! Kau ini ... Batman Bert terdengar sangat lucu dan konyol."

Tawa renyah dan senda gurau Reda dan Filistin terus saling bersahutan dengan semilir angin. Keduanya tampak sangat bahagia melepas rindu.

"Aku sudah banyak ketinggalan pelajaran."

"Kau tenang saja, aku sudah mencatatkan semua mata pelajaran untukmu."

"Masya Allah, terima kasih. Kau sahabat terbaikku."

"Kau juga, Filin!"

******

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro