Bab 8 | Perasaan Asing Yang Membuncah

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sudah hampir tiga jam gadis itu menunduk lesu di depan gerbang. Hatinya bergemuruh. Wajah ayah, ibu serta kakaknya sudah terbayang jelas di pelupuk mata. Ia sudah tak sabar ingin melepas rindu. Filistin mengangkat wajah. Netra birunya sontak berbinar melihat sosok pria tinggi berkaus putih di ujung jalan. Wajah rupawan yang sangat tak asing baginya. Ia lekas berdiri, lalu berlari menghampiri lelaki itu yang kini ikut berlari untuk mengikis jarak di antara mereka.

"KAKAK ...! Kakaaaak!"

"Filin!"

Tubuh mungil Filistin tenggelam dalam rengkuhan tubuh kekar Al Quds. Keduanya meringis. Air mata yang semula Al Quds tahan-tahan kini berjatuhan banyak. Begitupun dengan tangis Filistin yang kembali pecah.

Al melepas pelukan, memegang kedua bahu sang adik dan mengintainya dari ujung kepala hingga kaki dengan seksama. Hatinya gerimis melihat Filistin semakin kurus dan wajahnya pucat.

"Kau baik-baik saja bukan? Apakah ada bagian tubuhmu yang terluka? A--apa ada tentara yang telah menyentuh adikku?"

Filistin menggeleng. Ia tersenyum haru saat Al menyeka laju air mata di pipinya. Lidahnya masih kelu, terlalu bahagia bisa kembali bersitatap dengan sepasang iris cokelat terang milik Al Quds.

"Alhamdulillah! Allah telah menjaga dan melindungimu dengan baik. Allah Maha Besar. Aku sangat merindukanmu. Kami sangat merindukanmu, Filin. Kakak tidak akan membiarkan mereka menangkapmu lagi. Tidak akan!"

Al menarik tubuh mungil Filistin dan memeluknya sangat erat. Dadanya bergetar. Sungguh ia sangat mengkhawatirkan adik bungsunya. Ia melepas pelukan, menatap lekat iris biru yang sangat jernih itu, lalu memberi kecupan singkat di kedua pipi Filistin. Hingga bibir penuh kemerahannya menemui pelipis sang adik. Cukup lama ia mengecupnya di sana sebagai bentuk rasa syukur.

Dari kejauhan sekitar lima meter, Bert menyaksikan semuanya. Kedua tangannya mengepal kuat. Bibir tipis merahnya mendesis melihat dua makhluk beda jenis kelamin itu masih bermesraan di pinggir jalan.

"Gadis Muslim apa dia ini? Dia sangat berbeda dengan Aisyah. Aku tidak menyangka. Bisa-bisanya gadis kecil itu bermesraan di depan umum. Tidak tahu malu."

Amit yang semula fokus menyaksikan momen manis pertemuan Filistin dan lelaki itu menoleh pada Bert. Bibirnya berkedut, hingga lengkingan tawanya pecah melihat wajah putih Bert kian memerah di bawah terik mentari siang itu.

"Kenapa tertawa? Ada yang lucu ha?"

Bert membuang napas kasar. Ia benci dengan perasaan aneh yang kini membuncah di dadanya, hawa panas menjalar.

"Kau sangat aneh dan lucu." Amit kembali terbahak. "Maksudku sikapmu, kau seperti orang yang sedang terbakar api cemburu."

"Cemburu? Siapa yang cemburu?! Aku hanya bilang, mereka tidak tahu malu dan sangat menjijikkan!" tegasnya dengan nada sewot, rahangnya mengeras.

"Hah, baiklah jika tidak mau mengaku." Amit menggeleng, lalu kembali mengintai obyek yang semula mencuri atensinya. "Menurutku mereka justru terlihat sangat romantis. Seperti adegan-adegan dalam drama Korea." Senyum Amit melebar. "Aku tidak menyangka jika kekasihnya yang akan menjemput. Kukira gadis itu tadi menelepon orang tuanya."

Bert mengunci mulut. Ekor mata tajamnya melirik wajah menyebalkan Amit sekilas, lalu kembali melempar pandang pada Filistin dan pemuda tinggi bersyal kotak-kotak hitam putih di lehernya itu.

Bert menahan napas. Entah kenapa ia merasa kecewa pada suatu hal yang tidak jelas. Ia tidak mengerti dan benci dengan gelisah yang menguasai hatinya saat ini. Perwira Israel itu sudah susah payah untuk membebaskan Filistin. Ia bahkan tak tanggung-tanggung membayar kepala kepolisian Israel di penjara Kiryat Arba agar mau membebaskan gadis itu dari hukuman. Tetapi apa yang ia lihat saat ini, justru sebuah pemandangan yang sangat membuatnya mual.

"Filin, kenapa wajahmu sangat pucat seperti ini? Apa kau sakit?"

Al Quds menautkan kedua alis hitamnya sambil memegangi kening dan kedua pipi Filistin yang panas.

"Aku hanya demam, Kakak. Nanti juga sembuh."

Al menghela napas. "Ayo, kita pulang. Ayah, Ibu dan Asima sudah menungumu. Nanti aku akan membelikanmu obat."

Filistin mengangguk antusias. Ia merangkul leher Al Quds ketika lelaki jangkung itu berjongkok, memintanya untuk naik. Al membawa tubuh Filistin dalam gendongannya dan berjalan gontai meninggalkan gerbang penjara itu. Senyum Filistin semakin mengembang saat tubuhnya mulai mengudara di atas punggung Al Quds yang kokoh dan menjulang.

"Kakak, kau ke sini naik apa?"

"Kakak meminjam mobil milik Tuan Omar di pasar."

"Di mana kau memarkirkan mobilnya? Apakah jauh? Jika jauh biarkan aku berjalan kaki saja."

"Tidak jauh, hanya di ujung gang. Biar Kakak menggendongmu saja. Kau pasti kelelahan."

Al menyeka sudut matanya yang kembali menitikkan bening. Hatinya terpukul karena tubuh Filistin sangat enteng. Pasti gadis itu kekurangan makan saat ditahan.

Filistin menengok ke belakang. Netra birunya menjelajahi setiap inci gedung penjara bertembok batu putih dan beratap datar itu. Ia menghela napas panjang. Di sana menyimpan banyak kenangan pahit.

Di sana masih ada Hala dan para tahanan Palestina yang ingin dibebaskan. Di sana ia bertemu untuk pertama kalinya dengan Bert, pria pertama yang membuat jantungnya berdebar. Pria pertama yang mengenalkannya dengan rasa rindu. Betapa ia ingin berjumpa dengan Bert lagi, namun sepertinya tidak mungkin.

Kedua matanya memicing kala melihat dua lelaki berseragam perwira Israel yang baru saja keluar dari sebuah gedung tua, tak jauh dari gerbang. Ia yakin jika salah satu tentara itu adalah lelaki yang tadi meminjamkan ponselnya dan lelaki tinggi di sebelahnya .... Filistin melebarkan mata.

Bert! Apakah itu kau? J--jadi apakah tentara itu adalah suruhanmu? Apa dia temanmu?  Apa kau yang telah membantu membebaskanku? Sudah kuduga.

Kedua netra birunya berbinar. Ia mengulum senyum, tak kuasa menahan euphoria yang menyergap tiba-tiba. Hatinya berbunga bisa melihat Bert lagi. Masih dengan lengkungan indah di bibirnya, gadis itu melambaikan tangan pada dua tentara yang kini berhenti di samping sebuah mobil jeep berwarna silver.

Di seberang sana Amit melebarkan senyum sambil mengangkat tangan kanannya tinggi-tingi, membalas lambaian Filistin.

"Ya, Tuhan, Bert! Lihatlah! Filistin sepertinya melihat kita!"

"Hei, bodoh! Apa yang sedang kau lakukan?" tanya Bert garang.

"Menyapa gadis itu. Lihat dia terus menoleh pada kita!"

Bert menahan napas. Bibirnya semakin menipis, ia melempar tatapan tajam pada tentara bodoh di sampingnya.

"Turunkan tanganmu!"

"Apa?"

"Turunkan tanganmu!"

"Hah ... baiklah." Amit mengerucutkan bibir, lalu berdeham dan merapikan seragam perwiranya.

Bert mendesis. Ia melempar tatapan tajam pada Filistin, lalu menarik pintu mobil, lantas segera memasukinya dan duduk di kursi kemudi. Ia menyalakan mesin mobil, dan segera menancap gas melaju dengan kecepatan di atas rata-rata membelah jalanan aspal berliku di sepanjang jalan pemukiman Kiryat Arba.

Mobilnya masih melaju kencang. Tatapannya lurus ke depan. Masih banyak operasi militer yang harus ia dan tim sedivisinya ekseskusi di Jalur Gaza.

"Gadis itu sangat merepotkan. Buang-buang waktu saja." Bert memukul stir mobil dengan kencang.

Amit menoleh sekilas, masih dengan ponsel pintar di tangannya yang sedari tadi ia mainkan. Lebih tepatnya, sedari tadi ia sibuk mengecek barangkali ada notifikasi masuk di platfrom online tempatnya  menulis selama ini.

"Bert."

"Hmm."

"Tadi aku sudah membantumu dan sekarang kau harus membantuku mencari solusi."

"Solusi?" tanya Bert tanpa menoleh. Keningnya berkerut.

Netra hitam sersan Amit berbinar. Belahan di dagunya semakin kentara ketika ia mengulas senyum.

"Iya, solusi. Aku heran mengapa tidak banyak yang mau membaca ceritaku. Bahkan sampai sekarang followers-ku tidak bertambah sama sekali. Tidak ada kemajuan padahal aku sudah berusaha menulis sebuah cerita yang berbeda. Apa kau memiliki solusi?"

Bert mendesah pelan. "Mungkin saja ceritamu tidak bermutu. Itu sebabnya sepi pembaca."

"Haish, entahlah. Lalu apa kau memiliki ide? Genre apa yang harus kutulis?"

"Berhenti menulis, itu adalah saran terbaikku."

"Kau gila?" Amit melebarkan mata. "Aku bisa mati jika tidak menulis."

"Kalau begitu mati saja. Itu lebih baik!" tegas Bert dengan wajah tenang, menatap lurus jalanan di depannya. Sebuah truk besar melaju kencang dari arah berlawanan, Bert mengurangi kecepatan mobilnya.

Amit berdecak kesal, menjambaki rambut hitamnya yang pendek. "Aku menyesal telah bertanya padamu. Dari dulu sama saja. Tidak bisa memberi solusi."

"Sudah tahu masih bertanya."

Bert menggeleng. Ia melirik Amit sekilas sambil menahan tawa karena ekspresi konyol yang melumuri wajah putih temannya itu.

****

"Kakak."

"Iya."

"Rambutmu sudah semakin panjang. Aku jadi ingin mengepangnya."

"Kalau begitu kepanglah."

"Tidak bisa sekarang, aku tidak memiliki tali. Nanti saja di rumah."

Al Quds mengulas senyum saat tangan mungil Filistin memainkan rambut ikalnya yang melambai-lambai tertiup angin hingga jatuh menutupi separuh wajahnya.

Mereka berdua duduk di belakang sebuah mobil bak pengangkut sayur. Paman Ali yang mengendarai mobil. Terdapat satu keranjang berisi daun pisang dan beberapa buah pisang matang yang tergeletak di sana. Beberapa helai sayuran hijau yang telah layu dan serpihan tanah pun berserakan di permukaan mobil bak hitam itu.
 
Hamparan perbukitan hijau dan perkebunan buah zaitun membentang luas di kanan dan kiri di sepanjang jalanan kota Hebron, Tepi Barat, Palestina, negeri yang hingga detik ini masih terjajah. Betapa subur dan indahnya negeri Palestina, negeri kelahiran para nabi yang diberkati andai saja para pemukim ilegal itu tidak merebutnya.

Tembok-tembok beton yang menjulang dan pagar-pagar berkawat besi di setiap perbatasan jalan membuat hati Al Quds meringis, nyeri tak terkira. Kedua tangannya mengepal kuat. Demi Sang Khalik, ia tak rela Tepi Barat direbut hampir keseluruhan wilayahnya oleh otoritas Israel dan membuat warga Palestina di Tepi Barat semakin tersisihkan dan terlunta.

"Kakak, apa aku boleh memakan pisang itu?"

Filistin membuat punggungnya menegak. Al Quds mengusap wajah, menyelipkan anak rambutnya ke daun telinga. Lalu mengulas senyum manis memamerkan gigi gingsulnya.

"Makanlah, itu pisang yang terjatuh."

"Tetapi memangnya boleh? Kita belum meminta izin."

Al Quds melebarkan senyumnya. Ia merogoh saku celana jeans yang ia pakai, meraih ponsel dan segera mengetikkan pesan pada tuan Omar, majikannya di pasar. Tak lama ponsel hitamnya pun bergetar, sebuah pesan dari tuan Omar tampak di layar.

Masya Allah, makanlah pisang itu, Nak. Kalau tidak salah, di kursi kemudi ada kantung plastik berisi kurma dan roti, berikan juga itu untuk adikmu. Air mineral ada di dashboard mobil, ambillah, Al. Halal.

"Alhamdulillah, Allah Maha Pemurah."

Kedua netra Al berbinar. Tadinya ia hanya berniat meminta izin setelah Filistin mengingatkannya. Namun Sang Khalik justru memberinya lebih dari sekadar pisang yang ia minta.

Al mengambil satu pisang, lalu segera mengupasnya dan menyodorkannya ke mulut Filistin.

"Makanlah, Kakak sudah mendapat izin dari Tuan Omar. Nanti Kakak akan mengambil air dan juga roti untukmu."

Filistin mengangguk cepat, merapal doa dan segera memakan pisang itu dengan khidmat dan penuh rasa syukur. Bibirnya tak lelah meramu senyum sambil menikmati pemandangan hijau yang membentang. Semilir angin yang sejuk membelai kerudung abu-abunya yang panjang.

****

😊 Alhamdulillah update.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro