Bab 7 | Apakah Ini Mimpi?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Waktu bergulir sangat lama bagi Filistin. Ia melalui hari-harinya dengan penuh perjuangan dan kesabaran. Filistin telah melewati ulang tahun, ramadhan dan Idul Fitri tahun ini di balik jeruji besi. Sudah genap tiga bulan ia mendekam di sana.

Sepasang iris birunya tampak kosong, menatap besi-besi yang menjulang dan sangat kokoh itu. Biasanya jam pagi seperti ini ia tengah mengerjakan tugas-tugas dari gurunya. Ia rindu bau buku di perpustakaan. Pasti ia sudah banyak ketinggalan pelajaran di sekolah.

Gadis itu duduk bersandar pada tembok berlumut sambil memeluk kedua lututnya. Ia menggigil, lalu terisak tanpa suara. Lengkungan hitam di bawah garis matanya sangat kentara. Pipi tirusnya semakin tipis dan bibirnya pucat mengering. Sudah dua hari ia tidak enak badan dan demam. Filistin menangkup wajah. Dia tidak ingin mati di penjara dengan sia-sia. Tak lelah bibir tipisnya melangitkan dzikir serta doa-doa. Ia yakin Tuhan Maha Mendengar, hanya saja mungkin doanya belum dapat dikabulkan. Filistin harus tetap bersabar.

"Filistin, ayo, makan buburnya."

Filistin tersentak dari lamunan saat Hala mengusap tangannya. Sejak tadi dia mengabaikan semangkuk bubur yang tergeletak di lantai. Ia menatap bubur itu sekilas, lalu beralih menatap netra kelabu Hala dengan sendu.

"Aku tidak berselera makan. Mulutku pahit."

"Aku mengerti, tapi kau harus tetap makan agar bisa sembuh. Bukankah kau ingin sembuh?"

Filistin mengangguk lemah.

"Kalau begitu, ayo, makanlah. Aku akan menyuapimu."

Hala mengulas senyum manis memamerkan gigi kelincinya. Ia meraih bubur itu, lalu mulai menyuapi Filistin dengan telaten.

Hati Filistin menghangat. Hala sangat baik dan lembut padanya layaknya seorang kakak. Hala mengingatkannya pada Al Quds dan Asima yang juga sering memanjakannya. Ia mengunyah bubur itu pelan-pelan. Meskipun dingin, pahit dan hambar, Filistin harus memakannya. Netra sayunya mengedar ke setiap penjuru sel. Tahanan anak-anak dan para wanita paruh baya tampak sedang melamun. Sebagian dari mereka ada yang mogok makan karena ingin dibebaskan. Sedangkan Maryam dan sebagian tahanan lain baru saja dibebaskan dua hari yang lalu. Lalu entah kapan dirinya, Hala dan tahanan lain akan dibebaskan? Filistin sangat merindukan keluarganya.

Pintu besi berderit nyaring, disusul dengan dua orang sipir Israel berwajah garang yang memasuki sel. Mereka berdiri tegak dengan tatapan mengintimidasi, mengedar ke setiap sudut ruangan pengap itu.

"Filistin! Hari ini kau dibebaskan!"

Filistin berhenti mengunyah. Bola mata birunya membesar, ia menatap Hala yang juga tengah melebarkan matanya. Apakah barusan dia tidak salah mendengar? Filistin masih membeku di tempatnya.

"Cepat ganti pakaianmu! Kami beri waktu hanya lima menit!"

"Aku bebas!" seru Filistin tak percaya. Dia menatap Hala dengan mata berkaca-kaca. Sebulir bening bahkan sudah menggantung di sudut matanya. "Ha--Hala, aku bebas! Alhamdulillah." Filistin terisak.

"Alhamdulillah, akhirnya doamu dikabulkan. Sekarang cepat tukar pakaianmu. Jangan membuat mereka marah." Hala tesenyum penuh haru. Sepasang netra kelabunya berair.

Filistin mengangguk antusias. Ia berlari dengan tersuruk-suruk menuju kamar mandi di belakang sel. Tubuhnya yang semula lemas kini seperti mendapat asupan energi, mendadak sangat semangat. Tak lama ia sudah menukar baju tahanan dengan bajunya yang dulu ia pakai saat ditangkap. Kaus lebar biru berlengan panjang dan celana jeans hitam. Ia mengayunkan langkanya dengan gontai menghampiri Hala dan para tahanan lain untuk berpamitan. Hatinya menjadi tidak enak sebab hanya ia yang dibebaskan hari ini.

"Hala maafkan aku. Maafkan aku." Filistin memeluk Hala dengan sangat erat. Air matanya berjatuhan banyak. "Maafkan aku, karena aku terbebas lebih dulu."

"Tidak, Filin. Kenapa harus meminta maaf? Ini adalah keberuntunganmu. Cepat pergilah." Hala tersenyum manis sambil berurai air mata, menatap teduhnya wajah Filistin. Ia menciumi pipi Filistin dengan hati bergemuruh. "Jaga dirimu baik-baik dan jangan sampai kau kembali lagi ke sini."

Filistin mengangguk cepat. "Aku akan sangat merindukanmu. Terima kasih sudah menjagaku selama aku di sini. Apa suatu hari nanti kita bisa bertemu lagi?"

"Insya Allah, jika diberi umur panjang dan kesempatan. Kita pasti bertemu." Hala menyeka air matanya yang enggan berhenti mengalir. Perasaanya saat ini campur aduk. Ia senang akhirnya Filistin dibebaskan. Kini hanya tinggal dirinya bersama tahanan lain yang harus lebih sabar lagi menunggu untuk dibebaskan.

"Cepat! Cepat! Kau sangat lamban!"

Filistin memekik saat salah satu sipir penjara menarik lengannya dengan sangat kasar hingga pelukannya dengan Hala terlepas.

Kedua tangan gadis Palestina itu saling menggengam erat hingga benar-benar terlepas seiring tubuh Filistin yang sangat cepat ditarik, menjauh dari Hala. Gadis berhijab hitam itu tergugu sambil membekap mulut saat kepala Filistin terus menoleh padanya sambil diseret-seret. Semua tahanan di sana pun ikut meneteskan air mata, antara haru dan sedih. Mereka juga teringat akan nasib mereka yang entah kapan bisa menghirup udara di luar sana seperti Filistin.

"Apa Hala bisa ikut bebas bersamaku? Aku mohon bebaskan dia juga! Bebaskan saudara-saudaraku yang lain juga! Aku mohon!"

"Diam! Kau sangat banyak bicara. Masih beruntung kau kami bebaskan, ha! Apa kau ingin mendekam di sel selamanya?"

"Ti--tidak mau!" Filistin tergugu.

"Kalau begitu diamlah dan jangan banyak bicara!"

Kedua kakinya kelekahan mengimbangi langkah lebar dua sipir yang tengah mengamit kedua tangannya itu. Mereka berjalan menelusuri lorong gelap yang sangat panjang.

Ya Rabb, alhamdulillah. Aku sangat bersyukur pada-Mu. Engkau Maha Besar dan Maha Penyayang. Kami tidak sanggup menanggung ujian ini tanpa bantuan dari-Mu. Aku mohon bebaskan Hala dan saudara-saudaraku yang lain. Aku memohon padamu dengan setulus hati, Ya Rabb. Amiin ... ya Rabbal alamiin.

****

Setelah melewati beberapa pemeriksaan terakhir, akhirnya Filistin sudah resmi dibebaskan. Saat ini ia tengah berada di depan gerbang penjara. Ia mengedarkan pandangan ke sekitar. Tampak beberapa kendaraan kepolisian Israel yang hilir-mudik memasuki gerbang. Beberapa pria berseragam polisi Israel pun tampak mondar-mandir di sana.

Embusan angin sejuk menerpa wajahnya. Hati Filistin berbunga. Matahari pagi itu sangat cerah dengan gumpalan awan putih tebal di sekitar langit biru yang megah. Ia masih setengah tidak percaya bisa melihat dunia luar dan menghirup udara segar lagi seperti sekarang.

"Ya Allah, apa ini mimpi?"

Filistin bergumam. Ia mengusap kedua pipinya yang kaku akibat air mata yang telah mengering. Dia berjalan menghampiri sebuah batu besar di dekat sebuah pos. Ia mendaratkan bokongnya dan berselonjor di sana. Sekarang ia tidak tahu bagaimana caranya untuk pulang ke rumah.

Sepasang netra birunya melebar saat tiba-tiba seorang tentara Israel jangkung menghampirinya. Tubuhnya bergetar melihat senjata laras panjang yang ditenteng lelaki itu. Meskipun wajahnya tidak terlihat garang seperti sipir penjara bawah tanah, tetap saja ia merasa trauma.

"Apa kau ingin menghubungi keluargamu?" tanya tentara itu.

Filistin menautkan kedua alisnya. Lalu segera berdiri, ia masih tertegun dengan pertanyaan tentara itu. Apakah mungkin ia hanya salah mendengar? Filistin tidak menyahut.

"Ck! Kenapa kau justru melamun seperti itu?" Lelaki pemilik dagu terbelah dua itu terkekeh pelan. "Ambil ini, dan cepat hubungi keluargamu. Waktumu hanya lima menit! Aku buang air kecil dulu."

Filistin ternganga. Ia tetap bergeming saat tentara asing itu memberikan ponselnya padanya.

"Kau bisa memakainya tidak?"

Filistin tergagap. "Ah, i--iya, aku bisa. Kakakku juga memiliki ponsel, aku sering meminjamnya."

"Apa kau ingat nomernya?"

"Iya, tentu saja." Filistin mengangguk.

"Kalau begitu cepat hubungi keluargamu. Waktuku tidak banyak."

Filistin memutus kontak mata dengan iris hitam milik tentara itu. Keningnya masih dipenuhi lipatan kecil. Ia menatap punggung tentara Israel tersebut yang berjalan cepat menuju semak-semak di samping kiri gerbang. Entah kenapa tentara itu sangat baik padanya hingga mau meminjamkan ponsel, tapi Filistin tidak mau ambil pusing. Ia menghela napas, lalu tangannya bergulir menggeser layar kaca ponsel itu dan menekan beberapa angka yang ia ingat.

Sudah dua kali ia menelepon Al Quds, namun juga tidak tersambung. Filistin berdecak kesal dan memanggil ulang sekali lagi dan sekarang terhubung.

"Asalamu'alaikum. Hallo."

"Wa--wa'alaikumsalam! Kakak! Kakak ini aku!" teriak Filistin. Ia tak kuasa menahan haru kala mendengar suara sang kakak setelah sekian lama. Air matanya sesaat tumpah.

"Fi--Filin? Apakah ini dirimu?"

"Iya, Kakak! Ini aku! Aku sudah dibebaskan!"

"Ka--kau serius! Alhamdulillah! Allahu Akbar! Ba--bagaimana keadaanmu?"

"Aku baik-baik saja, Kakak! Kakak, aku tidak bisa lama-lama meneleponmu! Cepat jemput aku sekarang! Di Penjara Pemukiman Kiryat Arba! Kau tahu tempatnya, bukan?"

"Iya, Kakak tahu! Kakak tahu!"

"Cepat, Kakak! Aku menunggumu! Aku takut!"

"Kakak akan segera ke sana! Ya sudah, kau jangan ke mana-mana. Tetap di sana sampai Kakak datang, mengerti?"

Filistin mengangguk cepat. "Iya, Kakak! Asalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam.''

Filistin menghela napas lega. Ia mengucap syukur sebanyak-banyaknya. Dia membersihkan layar ponsel menggunakan tangannya. Lalu menatap tentara Israel yang kini sedang berjalan menghampirinya.

"Sudah menelepon keluargamu?"

Filistin mengangguk. "Terima kasih banyak. Tetapi kenapa kau sangat baik padaku?"

"Itu karena aku ingin berbuat baik. Memangnya tidak boleh?"

"Bukannya tidak boleh, tapi ini aneh."

"Sudahlah, yang penting kau sudah dibebaskan. Seharusnya kau senang."

"Tentu saja aku sangat senang dan bersyukur. Tapi ...."

Filistin mengernyit melihat tentara itu tersenyum ramah padanya sambil memasukkan ponsel miliknya ke saku celana seragam hijau tua yang ia pakai.
Baru kali ini ia melihat ada tentara yang murah senyum seperti itu.

"Aku pergi. Semoga keluargamu cepat datang menjemput," ujar tentara itu lalu melenggang pergi begitu saja meninggalkan Filistin.

Gadis berhijab abu-bau itu tertegun, masih membeku di tempat. Ia menghela napas lega sekali lagi. Mungkin Allah memang mengirimkan bantuannya melalui tentara itu.

"Bert? Apakah ini ada hubungannya denganmu? Apa kau yang membantu membebaskanku?"

Filistin baru kepikiran. Tetapi entahlah, bahu gadis itu merosot. Sejak kejadian malam itu dan tragedi sapu tangan biru penuh ingus, Bert tidak pernah datang lagi ke penjara untuk menemuinya. Lelaki itu bahkan sangat marah padanya. Mana mungkin Bert yang menolongnya, Filistin menggeleng. Tapi entah kenapa tiba-tiba ia teringat pada wajah  rupawan Bert yang dingin.

"Kau di mana, Bert?" tanyanya pada semilir angin. Ia kembali duduk di batu besar dan kembali melonjorkan kedua kakinya. Tenggorokannya sangat kering, ia dahaga.

Filistin sudah tidak sabar ingin segera berjumpa dengan keluarga tercintanya. Banyak sekali cerita yang ingin ia bagi tentang pengalamannya di penjara.

"Kakak, cepat datanglah. Aku rindu."

****

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro